Digitalisasi UMKM di Indonesia

Brick
Brick — Financial API
6 min readOct 19, 2021

Sudah menjadi rahasia umum bahwa UMKM atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memainkan peranan penting dalam perekonomian di setiap negara, terutama di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan catatan jumlah UMKM yang terus bertambah di Indonesia. Hingga tahun 2019, terdapat 65,5 juta unit pelaku UMKM jauh mendominasi dari jumlah pelaku usaha besar.

Tambahan pula, besarnya jumlah pelaku UMKM juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja hingga 96.92% di tahun 2019 dengan kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto sebesar 60% di tahun yang sama.

Meski di tahun 2020 Indonesia ikut terdampak pandemi dan sektor UMKM pun mengalami anomali, UMKM tetap menjadi kunci dan pilar perekonomian bagi Indonesia. Bagaimana tidak, menurut Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menyebutkan bahwa di kuartal II tahun 2021, 22 persen UMKM berangsur pulih dan akan terus meningkat hingga periode-periode selanjutnya.

Melihat besarnya angka dan kontribusi sektor UMKM di Indonesia juga sering dikaitkan dengan digitalisasi di sektor tersebut. Agenda digitalisasi UMKM yang sejatinya sudah ada sejak tahun 2010-an, kini mengalami katalisasi di tahun 2018 hingga saat pandemi di tahun 2020.

Terlebih pandemi tahun 2020 yang mulai menyadarkan para pelaku UMKM untuk bisa beradaptasi dan berinovasi. Sehingga pada akhirnya banyak para pelaku di bidang ini mulai bertransformasi digital.

Momen transformasi ini juga menjadi peluang bagi para pelaku usaha digital termasuk fintech seperti penyedia permodalan atau P2P lending, digital payment, e-aggregator, point of sales, atau bentuk produk fintech lainnya.

Masalah Utama Pelaku UMKM dan Terbukanya Peluang Digitalisasi bagi Perusahaan Fintech

Adanya digitalisasi UMKM tidak terlepas dari adanya permasalahan yang dialami oleh sektor ini. Menurut laporan BPS melalui Profil Industri Mikro dan Kecil Tahun 2019 misalnya, pelaku UMKM menghadapi enam persoalan.

Di urutan pertama adalah bagaimana mereka menjual produknya, diikuti akses permodalan, ketersediaan bahan baku, proses pengadaan, proses transaksi, dan kemudian perhitungan keuangan. Namun jika dikerucutkan lagi, UMKM di Indonesia menghadapi tiga permasalahan utama yaitu keuangan, operasional bisnis, dan pengembangan.

Sisi Keuangan

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dari sisi keuangan, tidak banyak dari para pelaku UMKM di Indonesia yang dapat mengakses modal. Ada berbagai alasan. Pertama, akses informasi terkait pola pembiayaan.

Banyak para pelaku UMKM yang belum memahami pola pembiayaan pada masing-masing Kelompok Lapangan Usaha. Misal, bagaimana pembagian porsi permodalan. Berapakah persentase yang harus didapat dari pinjaman dan modal sendiri hingga arah alokasi pembiayaan.

Keterbatasan akses informasi juga tidak berhenti pada pola pembiayaan namun juga produk dan prosedur pinjaman bank. Banyak para pelaku UMKM di Indonesia yang belum mengetahui bahwa bank memiliki layanan pinjaman.

Alasan kedua, adalah terkait literasi keuangan para pelaku UMKM. Menurut Piter Abdullah selaku direktur Center of Reform of Economics melalui Tribunnews mengatakan bahwa kebanyakan para pelaku usaha mikro dan kecil tidak bankable.

Tidak sedikit para pengusaha mikro dan kecil yang tidak memiliki pencatatan usaha yang memadai. Masih banyak yang melakukan pencatatan keuangan secara manual sehingga menyebabkan kesalahan hitung, hilangnya bukti pembayaran, hingga tercampurnya pencatatan keuangan pribadi dengan usaha.

Akibatnya, para pelaku usaha ini tidak memiliki cukup bukti yang dijadikan sebagai sumber penjamin pinjaman. Pihak yang memberikan pinjaman pun kesulitan untuk mendapatkan informasi kondisi keuangan peminjam seperti rekam jejak penjualan, riwayat pinjaman, atau indikator keuangan lainnya.

Operasional Bisnis

Dari segi operasional bisnis, banyak para pelaku UMKM yang mengaku kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. Baik itu didasari oleh ketersediaan dan juga harga. Ditambah ketika terjadi krisis seperti pandemi atau sosial politik yang menyebabkan harga bahan baku mengalami fluktuasi.

Selain bahan baku, pelaku UMKM juga kesulitan dalam memasarkan produknya. Ya, meski saat ini sudah ada banyak platform ecommerce marketplace, banyak para pengusaha mikro dan kecil mengakui masih kesulitan untuk memasarkan produknya di sana.

Terdapat masalah-masalah baru selain hanya sekedar menggunakan teknologi e-commerce marketplace atau media sosial. Misalnya strategi pemasaran melalui konten, strategi persaingan harga dan keyword, hingga strategi optimasi in-platform melalui ads.

Kemudian terkait pengelolaan keuangan. Seperti yang sudah dibahas pada poin sebelumnya, masih banyak para pengusaha mikro dan kecil yang masih melakukan pencatatan secara manual sehingga keuangan perusahaan sering kali tidak memiliki jejak yang cenderung merugikan pengusaha itu sendiri. Contohnya, tidak tersimpannya bukti transaksi, pencatatan yang masih tercampur, hingga miskalkulasi.

Pengembangan

Banyak para pengusaha mikro dan kecil yang masih berfokus pada kelangsungan hidup bisnis dari pada pengembangan usaha. Dengan kata lain, Mereka hanya berfokus pada penjualan tingkat akhir.

Beberapa dari Mereka berpikir bahwa ketika dari segi penjualan sudah baik, maka Mereka akan melanjutkan pada tingkat operasional. Misalnya pencatatan keuangan dan transaksi berbasis digital.

Jika penjualan dan pencatatannya dikelola dengan baik, langkah selanjutnya baru Mereka memikirkan pengelolaan karyawan melalui manajemen SDM. JIka sudah melewati itu baru lah ke tahap yang berkaitan dengan aspek kewajiban terhadap pemerintahan misalnya perpajakan dan seterusnya.

Tahapan tersebut sebenarnya merupakan langkah panjang terhadap digitalisasi UMKM. itu artinya sebuah usaha harus melewati tahapan satu kemudian berlanjut ke tahapan digitalisasi selanjutnya.

Dengan kata lain, jika akses permodalan saja sebagai pondasi usaha sulit didapatkan, bagaimana Mereka mampu melewati tahapan-tahapan tersebut?

Sejauh Mana Digitalisasi UMKM di Indonesia?

UMKM di Indonesia baru menghadapi perkembangan digital dan teknologi dalam empat tahun ke belakang. Sehingga bisa dibilang, paparan teknologi terhadap para pelaku usaha masih bisa dibilang seumur jagung.

Meski begitu melalui laporan MSME Empowerment Report 2021 yang dirilis oleh DS Innovate, dari 100 sampel pelaku UMKM yang tersebar di Indonesia, ada 84% pelaku usaha yang sudah menyadari pentingnya peran teknologi digital terhadap perkembangan usaha.

Dari sekian banyak produk digital yang berkaitan dengan UMKM, produk logistik dan pembayaran digital menjadi teknologi terbanyak yang digunakan oleh para pelaku UMKM.

Dari segi logistik misalnya, Kini banyak aplikasi yang mempermudah pelaku usaha untuk memantau pergerakan barang. Dari segi supply chain, aplikasi penghubung antara distributor dan pengecer pun kini sudah terhubung dengan pelaku usaha mikro dan kecil seperti warung.

Lantas, bagaimana digitalisasi UMKM dari segi fintech?

Jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain, sektor fintech masih belum banyak memikat para pelaku UMKM terutama terkait permodalan.

Misalnya saja, hanya 6% para pengusaha mikro dan kecil yang baru menerapkan payment gateway dalam bisnis Mereka. Kemudian Point of Sales. Dimana hanya 18% pelaku usaha kecil dan mikro yang baru menggunakan layanan Point of Sales.

Layanan Point of Sales sendiri merupakan layanan dimana penggunanya mampu mengelola data transaksi penjualan secara otomatis. Hal ini pula juga mempermudah pelaku usaha untuk memantau, merekam, dan mencatat transaksi dan mampu mengurangi error atau kerugian di dalamnya.

Jika dilihat dari fungsinya, layanan Point of Sales memiliki peranan penting dalam mengefisiensikan kinerja keuangan transaksional usaha. Lantas kenapa penggunaannya masih terbilang cukup rendah? Alasannya banyak para pelaku usaha berpikir bahwa Point of Sales (POS) hanya bisa dilakukan pada usaha F&B. Padahal nyatanya, layanan POS bisa dilakukan pada jenis usaha mana pun.

Terakhir, adalah fintech permodalan atau yang saat ini lebih dikenal dengan P2P lending. Menurut laporan per November 2020 terjadi peningkatan akumulasi pinjaman online yaitu tumbuh 15,7% dari bulan November tahun 2019.

Meski terus mengalami peningkatan, nyatanya masih banyak pelaku UMKM khususnya 62% pelaku usaha mikro yang enggan melakukan pinjaman baik kepada institusi bank maupun layanan P2P lending. Hal tersebut juga dibuktikan dengan terus menurunnya porsi kredit usaha mikro yang menurun hingga 19% di bulan Juli 2021.

Peluang dan Tantangan Fintech P2P Lending Menjawab Digitalisasi UMKM Melalui Pembiayaan

Melihat dari tren nilai pinjaman online serta literasi keuangan di Indonesia yang semakin meningkat, bukan hal yang tidak mungkin bagi para pelaku fintech jika memiliki peluang yang tinggi untuk memasuki pasar pembiayaan bagi pelaku UMKM terutama pengusaha mikro.

Ditambah, Bank Indonesia mencatat terdapat 12.830 pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang layak mendapatkan pembiayaan.

Pelaku fintech P2P lending tentu harus dituntut mampu menjawab dari persentase pelaku UMKM yang belum terekspos dengan digitalisasi keuangan terutama dalam hal pembiayaan.

Hanya saja, para pelaku fintech P2P lending juga harus menghadapi beberapa tantangan. Misalnya, memiliki sistem yang terintegrasi dan komprehensif. Dengan kata lain, sebagai pelaku fintech P2P lending harus berkolaborasi juga dengan institusi bank agar memiliki layanan yang mampu memberikan kemudahan bertransaksi bagi pelaku usaha.

Selain itu, para pelaku fintech P2P lending mampu membangun kepercayaan kepada para nasabahnya. Misalnya mampu menjamin keamanan informasi peminjam atau menjamin bahwa data yang diberikan nasabah dapat digunakan semestinya.

Membangun sebuah platform fintech juga menjadi tantangan sendiri. Pelaku fintech dituntut untuk memiliki infrastruktur manajemen data keuangan yang mempermudah dalam mengidentifikasi risiko peminjam.

--

--

Brick
Brick — Financial API
0 Followers

Building the #1 financial API platform for Southeast Asia!