Lanskap Investor Ritel di Indonesia: Faktor Pendorong Hingga Tantangan

Brick
Brick — Financial API
5 min readOct 27, 2021

Pandemi yang memukul dunia sejak tahun 2020 memunculkan anomali baru pada ekosistem kehidupan secara keseluruhan bahkan menciptakan pola dan perilaku baru. Salah satu pola baru yang paling kentara adalah meningkatkan para investor ritel.

Semenjak pandemi, jumlah investor ritel di Indonesia dari tahun-tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, investor ritel di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 125% dari 2.5 juta orang di tahun 2019 menjadi 5,8 juta di bulan Agustus tahun 2021. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyebutkan bahwa ada pertumbuhan jumlah investor ritel dari tahun ke tahun sebesar 56%.

Data-data lainnya pun juga turut menegaskan betapa melonjaknya jumlah investor ritel belakangan ini. Bank Indonesia misalnya, mencatat terdapat kenaikan jumlah transaksi secara year-on-year dari bulan November 2019 ke November 2020 sebesar 31,98%.

Dengan meningkatnya para investor ritel, hingga Agustus 2021 jumlah investor individu mendominasi 99,5% dari total investor pasar modal.

Di sisi lain, menurut laporan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Agustus 2021, berdasarkan geografi pulau Jawa masih mendominasi jumlah investor terbanyak yaitu 69.95% investor. Diikuti pulau Sumatera sebesar 16,47%, kemudian pulau Kalimantan 5,36%.

Secara demografis para investor ritel juga masih didominasi kaum pria dengan usia milenial yaitu 24–30 tahun dengan tingkat penghasilan rata-rata Rp10 juta hingga Rp100 juta per tahun.

Lantas, apa yang membuat adanya lonjakan jumlah investor ritel di Indonesia terutama di kalangan milenial saat ini?

Apa Pendorong Meningkatnya Investor Ritel?

Pertama, jika melihat dari waktu terjadinya, lonjakan para investor ritel ini dapat dilihat bahwa salah satu pendorongnya adalah adanya dampak pandemi COVID-19 yang terjadi pada sepanjang tahun 2020 hingga saat ini.

Menurut Peter Abdullah Radjalam, direktur Center of Reform Economic (CORE Indonesia) adanya pandemi yang membuat para pekerja bekerja dari rumah atau work from home memiliki waktu luang yang lebih banyak dibanding biasanya.

Orang-orang ini akhirnya memiliki waktu lebih banyak untuk mempelajari pengetahuan dasar mengenai pasar saham, misal, adanya potensi meningkatnya pasar saham saat kondisinya sedang terjatuh.

Hal tersebut juga didukung oleh banyaknya pembuat konten edukasi saham di media sosial seperti Clubhouse, YouTube, Instagram, hingga forum-forum lainnya.

Dampak dari konsumsi informasi terkait saham membuat orang-orang terpapar juga dengan algoritma yang dibuat oleh media sosial itu sendiri. Sehingga pada akhirnya membuat para pengembang aplikasi investasi saham mudah melakukan penetrasi kepada calon investor saham pemula ini.

Orang-orang pun mulai memahami bahwa melakukan investasi saham dapat dilakukan dengan modal kecil dan hal ini juga yang sering ditawarkan oleh aplikasi investasi saham belakangan ini.

Selain itu, menurut Analis Phillip Sekuritas Anugrah Zamzami Nasr, adanya pembatasan sosial akibat pandemi membuat sektor riil semakin tidak menguntungkan. Misal, aktivitas perdagangan yang semakin kecil, PHK, atau penurunan gaji. Hal ini pun yang pada akhirnya orang berlomba-lomba untuk mengadu peruntungannya melalui pasar modal.

Kedua, menjamurnya penyedia layanan aplikasi online trading. Awalnya banyak yang mengira bahwa bermain pada sektor investasi saham merupakan hal yang sulit hingga datangnya para pelaku aplikasi online trading.

Semakin banyaknya penyedia layanan aplikasi online trading atau saham seperti Ajaib, Stockbit, Pluang, Indopremier yang memberikan jawaban dan kemudahan orang-orang untuk berinvestasi.

Para pelaku aplikasi investasi seperti ini menyadari bahwa milenial memiliki potensi yang besar terhadap pertumbuhan investor ritel. Dimana Mereka menginginkan cara berinvestasi yang mudah, murah, dan cepat.

Ketiga, tren investasi saham itu sendiri yang memancing euforia dan popularitas yang berlebih. Sehingga tidak sedikit pula investor ritel yang hanya sekedar ikut-ikutan.

Misalnya apa yang terjadi di Amerika Serikat akibat meme stock pada saham Gamestop dimana nilai saham perusahaan ini mengalami lonjakan dalam waktu singkat.

Hal ini pun memicu banyak orang yang ikutan-ikutan berinvestasi saham. Ditambah adanya pengaruh dari para influencer seperti Elon Musk atau Trevor Noah dimana keduanya mencuit fenomena saham Gamestop ini.

Meski bukan karena fenomena goreng saham seperti yang terjadi pada Gamestop, fenomena ikut-ikutan investasi saham di Indonesia juga terlihat di Indonesia dimana banyak perilaku investor pemula yang melakukan herding behavior salah satunya ketika Bukalapak mulai membuka saham Mereka ke publik.

Literasi Keuangan dan Tantangan bagi Investor Ritel di Indonesia

kemudahan akses investasi saham melalui teknologi ternyata juga menjadi tantangan sendiri bagi ekosistem investor ritel di Indonesia. Bertambahnya investor ritel tidak dibarengi dengan peningkatan literasi keuangan.

Menurut laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan di Indonesia di tahun 2020 masih di angka 40% dengan literasi pasar modal hanya sebesar 5%.

Padahal jika dibandingkan dengan pertumbuhan pengguna internet dan smartphone yang mencapai 73,7% dan 58,6% di Indonesia. Dimana seharusnya kedua pertumbuhan tersebut berjalan linier.

Dampak dari literasi keuangan masyarakat yang masih rendah adalah banyak investor di Indonesia yang masih terpancing dan terjerat pada praktik investasi bodong.

Investor baru yang tidak memiliki literasi keuangan yang cukup cenderung menginginkan return yang besar dengan jangka waktu pendek. Hal ini yang menjadi mereka sebagai target empuk bagi para oknum tidak bertanggung jawab ini.

Misalnya saja apa yang ditemukan Bibit, salah satu aplikasi investasi di Indonesia. Mereka menemukan bahwa banyak grup dan akun ilegal yang mengatasnamakan Bibit menawarkan investasi jangka pendek dengan keuntungan besar. Secara mengejutkan, di dalam grup tersebut terdapat 10.000 anggota aktif.

Selain itu, masyarakat diminta untuk tetap waspada dengan melakukan riset dan memperbarui wawasan mereka terkait keberadaan lembaga teknologi keuangan sebelum melakukan investasi. Misalnya mengecek laporan lembaga teknologi keuangan legal dari OJK.

Lebih mengerucut lagi, literasi terhadap pasar modal yang masih rendah pun menjadi tantangan tersendiri pada ekosistem investor ritel. Tren ikut-ikutan atau herding behavior sebenarnya menjadi bukti bahwa tidak semua memahami mekanisme pasar saham.

Contohnya apa yang terjadi pada saat pembukaan saham Bukalapak (BUKA) di lantai bursa pada bulan Agustus 2021 yang setelah tiga hari melantai, saham Bukalapak anjlok hingga 6,76%. Sehingga banyak investor yang melakukan panic selling yang akhirnya membuat saham Bukalapak semakin anjlok.

Perilaku seperti panic buying atau panic selling yang cenderung labil ini masih menjadi jebakan bagi para investor pemula. Selain terjebak dalam euforia berlebih dan pengaruh dari media sosial, banyak para investor pemula yang melakukan investasi secara serampangan atau risk taking tanpa memperdulikan kebutuhan dasar mereka.

Menurut Analis Panin Sekuritas, William Hartanto para investor pemula cenderung melakukan investasi pada saham yang memiliki kapital yang kecil dimana nilai saham-saham tersebut sangat volatile sehingga akan sering timbul peristiwa-peristiwa panic buying tersebut.

Selain itu, Beliau juga menambahkan bawah peningkatan jumlah investor ritel juga tidak dibarengi dengan manajemen atau pengelolaan dana yang baik. Banyak para investor pemula yang rela menghabiskan seluruh dana kebutuhan dasar untuk investasi. Padahal, walau bagaimanapun kebutuhan dasar akan hidup harus tetap terpenuhi.

--

--

Brick
Brick — Financial API
0 Followers

Building the #1 financial API platform for Southeast Asia!