Book Review: ‘Utopia’ Feminisme Radikal

Ulasan Buku Feminism, Interrupted: Disrupting Power oleh Lola Olufemi; bagian dari seri Outspoken oleh Pluto Press.

Published in
5 min readApr 25, 2021

--

Feminisme sering kali salah dipahami sebagai gerakan yang hanya terbatas terhadap perjuangan guna tercapainya kesetaran gender — dalam pendekatan yang lebih radikal, keadilan gender. Selain lekat dengan seksisme, sejatinya feminisme juga tidak dapat dipisahkan dengan kapitalisme dan penindasan baik secara identitas maupun ekonomi.

Dalam Feminism, Interupted: Disrupting Power, Lola Olufemi mengantarkan kita untuk melihat sisi radikal dari feminisme. Menurutnya, feminisme sudah seharusnya melihat berbagai isu dengan menggunakan pendekatan yang lebih luas dan tidak terbatas pada individu maupun batas negara. Hal ini disebabkan oleh kaitan yang erat nan kompleks antara gerakan feminisme dan politik radikal itu sendiri.

Oleh karena itu, ia menekankan kembali bagaimana mainstream white feminismcenderung permisif terhadap sikap opresif dan eksploitatif dari kapitalisme dan (neo)liberalisme. Ini sejalan dengan pendekatan yang digunakan bell hooks dalam feminism is for everybody di mana ia berpendapat bahwa “feminisme ialah gerakan yang bertujuan untuk mengakhiri seksisme dan dominasi serta penindasan gender, perjuangan yang juga bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi (gender) dan menciptakan kesetaraan”.¹

Olufemi, dalam buku ini, mengulas berbagai isu yang menjadi bagian dari — dan atau berkaitan dengan — feminisme yang selama ini cenderung diabaikan. Ia memulai narasinya dengan menjelaskan pentingnya pemahaman terkait sejarah yang membayangi perempuan dan juga gerakan feminisme itu sendiri. Selanjutnya, ia mulai menawarkan berbagai ide radikal seperti; peran negara dalam mendorong atau menopang seksisme, ancaman transmisogyny, posisi wanita muslim dalam isu islamophobia, hingga perihal pemahaman terhadap sexual consent dan dampaknya terhadap kekerasan seksual yang dialami wanita.

Terlepas dari konflik batin yang kualami ketika membaca buku ini, aku merasa bahwa ide radikal yang ditawarkan oleh Olufemi bertujuan untuk mendorong imajinasi kita agar dapat membayangkan suatu masa depan utopis; membuka ruang imajiner baru. Ini dilakukan sebagai upaya menyela kecenderungan feminisme yang bertujuan untuk mengubah keadaan masa kini semata. Kesetaraan dianggap tidak dapat dicapai jika hanya mengandalkan kerangka hukum yang saat ini berlaku, hukum yang kerap digunakan untuk menindas mereka yang rentan. Radikalisme politik dianggap dapat merombak sistem yang ada melalui imajinasi baru tadi.

Feminisme bukan sekedar slogan politik semata, feminisme adalah sebuah gerakan yang sudah seharusnya memiliki kekuatan yang desruptif, baik terhadap sistem ataupun terhadap gerakan feminisme itu sendiri.

The Sexist State

Buku ini dimulai dengan menggambarkan bagaimana sejatinya negara memiliki peran yang sangat besar dalam menopang seksisme. Hal ini terjadi karena negara menjadi entitas yang memiliki kemampuan untuk menentukan batasan-batasan dalam hidup kita. Menetukan bagaimana kita hidup, mulai dari yang legal maupun ilegal.

Hak yang dimiliki negara cenderung tidak memiliki batas yang jelas, sebagaimana dijelaskan oleh Wendy Brown; “”despite the almost unavoidable tendency to speak of the state as an “it”, the domain we call the state is not a thing, system, or subject but a significantly unbounded terrain of powers and techniques”. Nihilnya batasan yang dimiliki untuk mengatur subjek di wilayahnya menjadi suatu ancaman karena dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menindas; seperti aturan terkait aborsi ataupun berbagai aturan pidana lainnya.

Olufemi kemudian menekankan bahwa feminism must begin with a refusal to trust that the language of rights can take us all the way — i.e do not trust how the state frame you.

Peran negara dalam menopang penindasan juga kemudian dieksplor lebih lanjut ketika Olufemi menjelaskan argumennya bahwa sebenarnya eksistensi kepolisian dan penjara sebagai instrumen penegakkan hukum bukanlah suatu yang sangat diperlukan. Ia kemudian menjelaskan bagaimana penjara sejatinya hanya merupakan salah satu bagian dari sebuah sistem eksploitatif yang mengeksploitasi individu di dalamnya.

Penjara (dan segala bentuk reformasi terhadapnya — seperti lembaga pemasyarakatan) dianggap tidak efektif untuk memperbaiki keadaan sosial yang ada. Melalui penjara, negara hanya menyediakan respons terhadap fenomena sosial yang ada, namun mengabaikan hubungan antara tindakan kriminal dengan pola kehidupan lainnya. Dengan kata lain, penjara mengaburkan pandangan bahwa kriminalitas terjadi sebagai bagian dari gejala sosial.

Consent dan Gendered Islamophobia

Consent merupakan hal yang fundamental, melaluiny lah kita dapat mengekspresikan hak kita untuk menentukan pilihan. Namun konsensi seksual — dan juga keseluruhan hubungan antara wanita dan pria — merupakan hal yang kompleks. Hal ini dikarenakan adanya jalinan rumit relasi kuasa yang menentukan cara kita berhubungan dengan orang lain. Hal ini disampaikan dengan baik dalam buku ini di mana Olufemi menjelaskan bahwa sebagai dampak relasi kuasa tadi, kita semua tidak memiliki kemampuan bahasa yang setara; Our ‘yeses’ and ‘no’s’ do not carry the same weight. Hal ini juga menjadikan konsen sebagai sesuatu yang kontekstual.

Sebagai contohnya ialah bagaimana hubungan antara wanita dan pria — terlebih di dalam budaya muslim — yang menunjukkan subversi wanita terhadap pria kemudian berdampak terhadap citra atau persepsi tertentu yang melekat kepada wanita. Persepsi tersebut umumnya hanya melihat bagaimana peran dari wanita dalam dunia patriarki; what they can to for others, intstead of see them as having and worth their own rights. Baik secara langsung ataupun tidak, hal ini menjadikan wanita muslim sebagai kelompok paling rentan di masa kini — di masa islamophobia tumbuh dan war on terror yang tak kunjung usai.

Act of Solidarity

We give and we take from one another, we become accomplices and saboteurs and disrupters on each other’s behalf.

Atas dasar kesamaan pengalaman dan perjuangan, solidaritas menjadi sebuah kata dan juga aksi yang pada dasarnya menekankan pada aksi saling bantu; melalui solidaritas gerakan feminisme dapat mengumpulkan sumber daya, legitimasi, skill, dan juga suara untuk mengalahkah ataupun keluar dari keadaan tertindas.

“It is our duty to fight for our freedom/ it is our duty to win/ we must love and support one another/ we have nothing to lose but our chains” — Assata Shakur

Gagasan yang disampaikan oleh Olufemi dalam buku ini memanglah hal yang radikal. Namun hal tersebut berasal dari akumulasi perjalanan historis dan pengalaman wanita serta kelompok rentan yang telah ditindas secara kolektif dan juga individu. Ide-ide tersebut mungkin terasa jauh, terkesan utopis untuk waktu yang dekat. Tetapi narasi yang disampaikan Olufemi mungkin memang hanya dibangun untuk para optimis, untuk kita yang percaya bahwa dunia yang berbeda dari dunia yang kita kenal saat ini, merupakan sebuah tujuan yang mungkin untuk dicapai.

References:

[1]: Bell Hooks. Feminism is for Everybody : Passionate Politics. Cambridge, MA. South End Press. 2000.

--

--