Frankenstein

Alvino Kusumabrata
The Enlighten
Published in
1 min readJan 12, 2024

Millenium baru datang. Sorak-sorai gembira saling bersahutan antara satu kawan dengan kawan lain. Tak pasti kiranja kapan waktu itu akan tiba. Tak seorang pun tahu. Barang itu namanja teknologi. Nubuatnja dimanifestasikan dalam wudjud “mesin”. Untuk pertama kali, manusia bisa lebih banjak waktu istirahat.

Dekade-dekade berlalu. Pertumbuhan teknologi setjara eksponensial pun terdjadi tanpa kehendak siapa pun. Tiada jang bisa memastikan perkembangan ini. Di titik ini manusia bertanja-tanja; menembus dinding zaman dan melampaui waktu: apa jang terdjadi?

Pada 1818, novel Frankenstein karja Mary Shelley terbit. Peringatan keras — atau mungkin ringan — dari Mary. Kegemparan kemudian menjelimuti setjara luas dan kaku. Pengernyitan dahi serempak dilakukan kala membatja novel itu. “Benar, memang bahaja teknologi ini,” seru salah satu orang.

Dekade-dekade berlalu. Seruan Mary dari atas kertas masih bergema. Tidak pernah kendur. Abad ke-21 mengindjak dan memperkenalkan dirinja pada manusia. Teknologi terus tumbuh. Tiada jang bisa memastikan — lagi — perkembangan ini. AI (artificial intelligence) dikreasikan. Projeksi-projeksi liar muntjul : manusia hendak dikalahkan oleh AI pada puluhan tahun mendatang.

Orang-orang lantas kembali mengingat apa jang tersisa dalam dua abad terakhir. Anak ketjil, berumur lima tahun, menemukan buku lawas terbitan 1818. Sedikit berdebu, penuh bekas gigitan rajap. “F-rankens-tein, Ma-ry, She-lley,” edjanja terbata2.

Namun, seruan Mary dari atas kertas masih bergema — tak terbata2.

12 Djanuari, 2024.

--

--