Gus Dur Diantara Islam

Marfan A.
The Enlighten
Published in
3 min readMay 4, 2021

Suasana yang serba Islam—yakni ibadat puasa—sekarang ini, menyebabkan penulis tertarik untuk mendalami pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer. Salah satu pemikir keislaman kontemporer yang menarik hati untuk penulis baca adalah Gus Dur, Presiden keempat Republik Indonesia kita ini. Mengapa Gus Dur? Saya sendiri banyak mengenal dia secara luaran atau permukaan saja, antara lain soal pluralisme, pembaharuan Islam di zaman modern ini, dll. 2 contoh tersebut yang menggerakan hati penulis untuk membeli buku beliau yang berjudul "Tuhan Tidak Perlu Dibela".

Penulis hanya berfokus pemikiran beliau tentang keislaman—disamping persoalan kebangsaan, kebudayaan, ideologi, dll. Ketika zaman sekitar tahun 1970 awal hingga 1980-an, pemikiran Islam di Indonesia mencapai titik dibilang 'kaku’, 'fundamentalis' dan Gus Dur dengan pemikiran keislaman yang melampaui zamannya mendobrak segala kekakuan tersebut.

Contohlah pada artikel "H.B Jassin" di mana H.B. Jassin menerbitkan Al-Qur’an karya terjemahannya yang berjudul 'Bacaan Mulia’. Tentu pembaca dapat mengetahui reaksi umat muslim, ya, mereka marah karena Al-Qur’an menyangkut bahasa kiasan Arab yang tinggi diterjemahkan oleh seorang H.B. Jassin, orang "yang bukan siapa-siapa", bukan lulusan ilmu tafsir bahkan lulusan agama pun. Tetapi Gus Dur membela H.B. Jassin dalam kasus ini, menurutnya, kemarahan umat muslim harusnya disalurkan dalam wadah produktif seperti diskusi, membuka diri terhadap pemikiran Islam seluruhnya agar terjadi penyegaran dalam perkembangan pemikiran keislaman. Lagipula, katanya, toh bukan hanya H.B. Jassin saja yang menafsirkan Al Qur’an, banyak orang-orang mulai menafsirkan kitab mulia itu. Dengan demikian, apakah umat muslim harus selamanya menutup diri dengan penyegaran pemikiran yang baru?

Kaum fundamentalis dan formalis agama, yang dikatakan Gus Dur, seringkali menganggap Islam sebagai satu-satunya ajaran yang mampu melawan segala isme-isme atau ideologi lain. Dalam artikel yang berjudul 'Mengapa Mereka Marah’, beliau melanjutkan, kaum fundamentalis dan formalis ingin berusaha mendirikan syari’ah ke penjuru lini kehidupan agar tercipta kehidupan sempurna dibawah naungan Tuhan. Kesempurnaan itulah yang didambakan mereka karena idealistis mereka terhadap ajaran. Dengan kesempurnaan itu pula, mereka memandang remeh terhadap perkembangan zaman dan pemikiran-pemikiran baru sehingga, kata beliau, Islam malah menutup diri terhadap kondisi zaman, menutup diri itu yang beliau sebut 'mental benteng’.

Dilain sisi Gus Dur juga melihat hal-hal kecil, seperti permasalahan toa-toa masjid yang terlalu kencang. Artikel yang berjudul ' 'Islam Kaset' dan kebisingannya' beliau menuturkan jika penggunaan toa-toa masjid terlalu kencang bahkan melebihi konser rock metal, apalagi jika toa tersebut bersuara pada malam hari—seperti ibadah Subuh. Gus Dur menuliskan bahwa dari sisi teologis kondisi manusia yang tengah tidur tidak diwajibkan untuk beribadah. Dari sisi toleransi beliau berujar tidak etis, kencangnya suara tersebut bisa saja membangunkan orang lain yang tidak beragama Islam, perempuan haid, atau anak-anak kecil. Menurutnya, Tuhan tidak perlu dibela dengan mengencangkan suara toa dengan keras, Tuhan sudah sempurna dengan ke-Maha-annya dan juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Agama diturunkan bukan untuk membela Tuhan dengan cara tidak etis, melainkan untuk sesama manusia untuk mengabdi kepada Tuhan.

Sumber Bacaan

Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela. (2018). LKiS: Yogyakarta

--

--

Marfan A.
The Enlighten

orang indonesia yang senang berkelana diluar comfort zone