Permisi, Mau Kritik Linkedin
Sebagai mahasiswa yang keren, tentu saja kita harus berpikir untuk mempercantik profil di Media Sosial Linkedin. Karena setidaknya, profil itu lah yang akan dilihat sang gebetan. Kita sering merasa minder karena melihat profil Linkedin teman kita yang keren — banget gaada obat. Dan sialnya, kita baru sadar kalau nama kita terpajang telah mengunjungi profil teman tersebut. Tidak mau terlanjur malu, akhirnya kita hapus akun kita sendiri.
Hidup memang terkadang sangat miris.
Linkedin sendiri kelihatannya sudah ada sejak Tahun 2003. Linkedin resmi dimiliki oleh Microsoft di Tahun 2016 sebagai pemegang saham terbesar. Dan 2020 ini, Linkedin memiliki 706 Juta user yang ter-registrasi dari 150 Negara. Saya sendiri tahu Linkedin di tahun 2016. Namun sampai sekarang satu-satunya pengalaman yang saya banggakan di Linkedin adalah menjadi asisten dosen. Sisanya nihil.
Linkedin pada dasarnya adalah platform media sosial yang diperuntukkan untuk para profesional. Linkedin membolehkan user-nya untuk membuat profil dan berkoneksi satu sama lain. Setiap user akan memiliki feednya sendiri-sendiri. Profil user adalah fitur dasar yang “dijual” oleh Linkedin. Hampir seperti CV. Profil tersebut berisi pengalaman kerja, edukasi, riwayat organisasi, sampai kegiatan sukarela yang pernah dilakukan. Beberapa orang keren memanfaatkan fitur ini untuk seolah-olah “menjual dirinya.” Barangkali berharap ada perusahaan yang akan mengontaknya.
Kurang lebih itulah yang terjadi di Linkedin. Bisa jadi kita sudah jadi salah satu usernya. Menuliskan title: Geophysical Engineering Student. Memasukkan banyak pengalaman organisasi, dari himpunan sampai unit kampus. Menuliskan banyak keahlian yang dimiliki. Microsoft Excel, Critical Thinking, Public Speaking. Sampai-sampai mungkin kita terlalu jauh telah menjual diri sendiri. Dan mungkin tujuan kita menjadi sukarelawan juga sudah geser. Dari bergerak melalui hati, jadi bergerak untuk mempercantik profil linkedin.
Linkedin sama seperti media sosial lainnya. Kita akan menemui banyak post nirfaedah. Hal buruknya, post kurang bermanfaat itu tetap didesain untuk jadi postingan inspirasional. Entah hal itu sangat jauh dengan kehidupan nyata, atau hanya saja tidak masuk akal. Media sosal pada dasarnya memang berbahaya. Kita membuka twitter dan Instagram setiap saat. Sialnya, tidak semua hal baik akan kita dapatkan di sana. Linkedin, sebagai media sosial, tentu juga memiliki potensi untuk menjadi buruk. Atau bahkan sudah. Jika Instagram membuat kita merasa ketinggalan sesuatu, linkedin membuat kita merasa tidak memiliki sesuatu. Foto memang bisa membuat kita merasa jelek, dan tidak menarik. Namun profil linkedin bisa membuat kita merasa bodoh dan gagal. Dan lucunya, kita pasti akan memilih untuk menjadi jelek dan tidak menarik daripada menjadi bodoh dan gagal. Seandainya saja linkedin punya fitur lock account, saya tidak perlu membuat paragraf ini.
Saya tidak pernah menemukan hal yang menyenangkan dan menghibur di Linkedin. Berbeda sangat jauh dengan twitter. Semua hanya berisi cerita inspiratif, kutipan inspiratif, dan hal-hal inspiratif lainnya. Satu hal yang saya lakukan di Linkedin adalah mengunjungi profil orang yang saya kenal sampai orang yang tidak saya kenal. Dan akhirnya saya sadar bahwa waktu saya sudah terbuang sia-sia. Linkedin merupakan tempat yang pas untuk menjadi gila. Menjelajahi profil hanya untuk mengamati apa-apa yang tidak kita punya.
Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang membuat profil sangat cantik di Linkedin. Tapi Linkedin adalah tempat dimana orang-orang dapat menyeleksi kebenarannya dengan sangat ketat. Kita bisa lihat seseorang yang pernah bekerja selama 2 tahun di Gojek. Tapi kita tidak bisa lihat orang itu dipecat, atau orang itu hanya magang tanpa dibayar, atau bapaknya memang teman dari Pak Nadiem.
Pendapat subyektif: Linkedin merupakan tempat ajang pamer yang berisi para pemuja kutipan inspirational. Entah apa saya saja yang terlalu sinis. Tapi kita sudah terlanjur masuk dan membuat koneksi dengan orang-orang yang tidak akan pernah bekerja bersama kita. Barangkali cara terbaik menggunakan Linkedin adalah dengan mempercantik profil, memohon pekerjaan, lalu segera pergi dari sana. Dan berharap tidak akan pernah kembali; menjadi pengangguran.
Tentu rasanya iri ketika tahu seorang yang lebih muda memiliki pekerjaan yang lebih keren dari kita. Atau seorang yang lebih tua namun memiliki pekerjaan yang lebih keren ketika seumuran dengan kita. Atau seorang dengan titel CEO. Atau seorang yang mendapat penghargaan internasional. Atau lainnya. Atau lainnya lagi. Sampai kita berpikir bahwa kita tidak benar-benar menginginkan itu semua. Linkedin akan menjadi tempat kita, atau barangkali kamu, melihat kehidupan menakjubkan yang tidak sedang kamu jalani.
Maaf jika saya terkesan benci. Hanya saja, kita sudah lebih dewasa. Silahkan kok buat akun linkedin. Saya juga membuatnya. Karena bisa jadi memang iklim karir di dunia ini yang sedang tidak beres. Dan memang butuh perubahan radikal kearah yang lebih baik sampai kita benar-benar tidak membutuhkan linkedin.
Yogyakarta,
Daffa Dewantara