Super New Zealand

“Selandia Baru sering disebut “Volcano Country”. Kota terbesar di Selandia Baru, yaitu Auckland, terletak di atas bidang vulkanik besar dengan sekitar 53 gunung berapi di sekitarnya”

Aditya Paramartha
The Hommes Times
6 min readDec 24, 2021

--

Gugus Pegunungan dan Pulau di New Zealand

Selandia Baru adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di barat daya Samudera Pasifik. Selandia memiliki nama resmi New Zealand dan disebut “Aotearoa” dalam bahasa Maori yang berarti Tanah Awan Putih Panjang. Hal tersebut juga yang menjadi alasan Selandia Baru dijuluki All White. Selandia Baru beribukota di Wellington dengan luas wilayah mencapai 267.719 km2. Selandia Baru memiliki jumlah penduduk sekitar 4.925.477 jiwa (sampai 2020), dimana penduduk Selandia Baru disebut juga Kiwis, yang berasal dari Burung Kiwi yang sekaligus menjadi maskot bagi negara tersebut. Salah satu suku terkenal di Selandia Baru adalah suku Maori yang memiliki tarian perang khas yaitu “Haka”. Mata pencaharian penduduk Selandia Baru adalah sebagai peternak, dengan komoditas utama susu dan daging.

“The Blue Lake, di Nelson Lakes National Park Selandia Baru, saat ini memegang rekor perairan paling jernih di dunia. Hebatnya ia memiliki jangkauan visibilitas hingga 80 meter.”

The Blue Lake, di Nelson Lakes National Park Selandia Baru

Secara geografis dan geologis, Selandia Baru terdiri dari dua pulau utama, dan sejumlah pulau yang lebih kecil. Pulau-pulau negara ini terletak di antara 29° LS — 53° LS, dan 165° BT — 176° BT. Selandia Baru juga terletak diatas dua lempeng tektonik besar yaitu lempeng Pasifik dan Australia. Wilayah pulau bagian utara dan sebagian dari pulau bagian selatan terletak pada lempeng Pasifik. Sedangkan sebagian wilayah pulau bagian selatan terletak pada lempeng Australia.

Akibat letaknya yang berada pada pertemuan lempeng, Selandia Baru memiliki geodinamika wilayah yang sangat aktif. Akibatnya negara tersebut banyak memiliki sumber geothermal dan beberapa gunung api aktif. Sumber-sumber geothermal tersebut menghasilkan banyak pemandian air panas dan juga dimanfaatkan sebagai pembagkit listrik oleh negara tersebut. Dampak lainnya adalah secara topografi, Selandia Baru memiliki topografi yang berliuk-liuk sehingga banyak terdapat pegunungan begitu juga palung laut. Sebagian besar wilayahnya terbentuk atas batuan sedimen berumur tua dan juga endapan alluvial sehingga subur untuk pertanian. Namun dibalik manfaat yang begitu besar tersebut, juga menyimpan banyak bahaya terjadinya bencana alam di negara tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama, Selandia Baru terletak pada lempeng tektonik yang sampai saat ini masih aktif bergerak, akibatnya negara tersebut sering mengalami Gempa Bumi. Gempa Bumi ini tidak jarang menghasilkan bencana sekunder yaitu Tsunami. Begitu pun potensi letusan gunung berapi akibat keberadaan beberapa gunung api aktif. Tidak jarang juga Selandia Baru mengalami bencana akibat siklon tropis seperti badai dan banjir.

Selandia Baru memiliki sejarah kebencanaan yang sangat panjang. Beberapa kali gempa besar terjadi dan menghancurkan wilayah Selandia Baru. Berdasarkan situs resmi Pemerintah, sejak tahun 1840 sampai sekarang, Selandia Baru sering dihantam dengan gempa berskala besar. Sedikit diantaranya adalah Gempa Hawke’s Bay yang terjadi pada tanggal 3 Februari 1931, disebut-sebut sebagai gempa paling mematikan di Selandia Baru, berkekuatan 7,8 skala Richter, menghancurkan sebagian besar Napier dan Hastings. Korban tewas adalah 256 jiwa. Terakhir Gempa Christchurch pada pukul 12.51 tanggal 22 Februari 2011, gempa berkekuatan 6,3 magnitudo yang melanda 10 km tenggara Christchurch pusat pada kedalaman hanya 5 km. Korban tewas mencapai 185 jiwa, menjadikannya bencana alam terburuk di Selandia Baru dalam hal korban jiwa sejak 1931. Selain gempa bumi, Selandia Baru juga pernah diterjang badai dan banjir besar diantaranya pada tanggal 4 Februari 1868, badai dahsyat menyapu sebagian besar negara, menghancurkan 12 kapal, termasuk Star of Tasmania dan Water Nymph di Oamaru dan menyebabkan banjir bandang. Lebih dari 40 nyawa melayang. Kemudian Dua puluh lima penambang emas kehilangan nyawa mereka saat banjir bandang mengamuk di sepanjang Sungai Shotover, timur laut Queenstown, pada 26 Juli 1863.

Beberapa bencana alam besar dan akibatnya yang mematikan tersebut sudah cukup untuk membuat pemerintah Selandia Baru belajar dan mau tidak mau mengharuskan mereka untuk selalu siap siaga dan mempunyai mitigasi bencana yang baik dalam menghadapi berbagai potensi bencana alam ini. Salah satunya adalah dengan mendirikan National Crisis Management Centre. National Crisis Management Centre (NCMN) adalah sebuah lembaga negara yang memfasilitasi pengaturan manajemen krisis Pemerintah Pusat Selandia Baru dan menawarkan pengoperasian antar-lembaga dan scalable untuk menangani segala jenis keadaan darurat. NCMC dikelola dan dipelihara dalam keadaan siaga berkelanjutan oleh National Emergency Management Agency. NCMC berlokasi di sebuah bunker bawah tanah yang sangat kokoh pada beehive atau gedung parlemen Selandia Baru. Keberadaannya memang didesain seperti ini yang bertujuan untuk perlindungan maksimum jika terjadi bencana alam berskala besar seperti gempa bumi, gunung meletus, badai dll yang berpotensi merusak dan menghasilkan kegagalan layanan pada sistem-sistem negara. Adapun fasilitasnya seperti air darurat, cadangan listrik darurat, jaringan IT mandiri, tempat tidur darurat, sampai pasokan makanan darurat. Hal ini sebagai bentuk mitigasi jika bencana mengakibatkan krisis dan kerusakan jaringan pada Selandia Baru. Maka dengan keberadaan bunker ini, setidaknya pemerintah Selandia Baru masih bisa menyampaikan informasi-informasi penting sekaligus melindungi masyarakatnya dari akibat yang ditimbulkan oleh bencana alam tersebut.

Selain membangun Bunker bawah tanah, Pemerintah Selandia Baru juga membagun sistem yang siap untuk menghadapi bencana Tsunami. Karena bagaimanapun, Selandia Baru adalah negara kepulauan yang wilayahnya memiliki pesisir pantai. Salah satu caranya adalah dengan membangun Tsunami Warning System. Tsunami Warning System di negara Selandia Baru dioperasikan oleh Ministry of Civil Defence and Emergency Management. Ministry of Civil Defence and Emergency Management (MCDEM) bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi dari pemberitahuan resmi secara nasional di Selandia Baru secara 24/7. Di Selandia Baru, terdapat 3 jenis Tsunami yang diklasifikasikan berdasarkan jaraknya yaitu :

  • Local source : Tsunami lokal yang berjarak kurang dari 1 jam waktu perjalanan dari pantai untuk mencapai daratan
  • Regional source : Tsunami yang berjarak 1 sampai 3 jam waktu perjalanan dari pantai untuk mencapai daratan
  • Distant source : Tsunami yang berjarak lebih dari 3 jam waktu perjalanan dari pantai untuk mencapai daratan

Selain dalam bentuk upaya fisik, pemerintah pusat Selandia Baru juga berusaha membangun sistem mitigasi dalam bentuk regulasi yaitu mengembangkan dan mengelola kerangka kerja undang-undang yang luas yang mendukung berbagai strategi nasional, rencana, kebijakan, kode peraturan, dan praktik yang mendukung hasil pengurangan risiko bencana yang terangkum dalam National Hazard Risk Reduction. Perundang-undangan ini meliputi Civil Defence Emergency Management Act 2002 untuk manajemen kegawatdaruratan saat bencana terjadi, Building Act 2004 and Building Code sebagai regulasi untuk pembangunan bangunan tahan gempa, Soil Conservation and Rivers Control Act 1941 sebagai regulasi dalam konservasi tanah dan sungai sebagai pencegah bencana banjir, dan Earthquake Commission Act 1993 sebagai regulasi komisi bencana gempa bumi.

Pemerintah juga menetapkan prioritas dan mendanai penelitian tentang bahaya, risiko, kerentanan dan ketahanan bencana, untuk memandu pengambilan keputusan yang tepat. Mengembangkan pemahaman yang komprehensif tentang lanskap bahaya Selandia Baru merupakan langkah penting dalam mengidentifikasi dan memprioritaskan kegiatan pengurangan risiko, di samping perencanaan kesiapan, respons, dan pemulihan

Data terbaru menunjukkan pada hari Minggu 13 November 2016, Selandia Baru dihantam gempa berkekuatan 7,2 Magnitudo. Gempa tersebut memakan korban jiwa 2 orang, angka yang sangat jauh dari Gempa Christchurch pada 22 Februari 2011, dimana gempa berkekuatan 6,3 magnitudo menewaskan korban jiwa mencapai 185 jiwa. Data tersebut bisa menunjukkan bahwa sistem mitigasi bencana yang dibangun oleh Selandia Baru semakin membaik. Berdasarkan data yang ada tersebut, semua sistem yang dibangun mulai dari bunker bawah tanah, Tsunami Warning System hingga aturan mengenai standarisasi bangunan oleh Pemerintah Selandia Baru ternyata efektif untuk mengurangi kerugian korban jiwa saat bencana alam terjadi. Hal ini karena kesolidan antara sinergi pemerintah dan masyarakatnya dalam sistem mitigasi bencananya. Sinergi ini tidak akan berjalan berhasil jika tidak ada dukungan dari masyarakatnya yang sangat patuh dalam menjalankan setiap instruksi dan aturan dalam langkah mencegah kerugian jiwa saat bencana alam terjadi. Dengan segala keberhasilannya tersebut, kira-kira bagaimana penurut pembaca jika sistem yang dibangun oleh Selandia Baru diadopsi oleh Indonesia?

Dipublish secara resmi pada The Hommes Times Volume 3 HIMA TG “TERRA” ITB.

-Aditya Paramartha

--

--

Aditya Paramartha
The Hommes Times

Manusia terlahir merdeka, lingkungan menjadikan kita terpenjara.