Paradoks Jevon: Efisiensi Meningkat Tajam, Kok Makin Merusak Alam?
Cukup dengan sentuhan halus pada saklar, kamarmu yang tadinya gelap akan terang seketika. Tidak perlu lagi menggesek korek dan menghirup jelaga hitam untuk mengusir gelap. William Nordhaus (1996), seorang ekonom dari Yale University, terobsesi untuk meneliti seberapa mudah manusia era ini mendapatkan akses penerangan ketimbang pendahulunya. Nordhaus punya cara cerdik untuk membandingkannya, yaitu dengan membandingkan berapa lama manusia dapat menyinari ruangan dengan “upah satu hari kerja”.
Pada era Babilonia, sekitar 4000 tahun silam, upah satu hari kerja hanya mampu menyinari ruangan selama sekitar 10 menit saja. Selama berabad-abad tidak ada perkembangan mutakhir dari teknologi penerangan hingga tahun 1800-an. Lampu terbaik pada rentang era ini adalah lampu minyak paus, yang tentunya sangat tidak ramah paus.
Dengan ditemukannya lampu minyak tanah pada abad ke-19, manusia tidak hanya menyelamatkan paus, tetapi juga menghemat hingga 30 kali lipat. Lampu minyak tanah membuat upah satu hari kerja dapat menerangi kamar selama 5 jam. Ilmuwan era tersebut menganggap minyak tanah sebagai cairan ajaib, karena dapat terbakar lebih bersih dan jauh lebih terang.
Ambisi manusia untuk mencari terang yang hemat tidak berhenti di cairan ajaib. Kebanyakan dari kita dijejali bahwa Thomas Alfa Edison adalah penemu lampu dan listrik. Memercayai Edison sebagai penemu lampu sama saja memercayai Steve Jobs sebagai penemu telepon genggam atau Elon Musk sebagai penemu mobil listrik. Keunggulan Edison adalah otak dagangnya. Dengan kelicinan berbisnisnya, Edison mampu menerangi banyak rumah untuk waktu yang lebih lama. Pada era ini upah satu hari kerja dapat menerangi kamar selama 20 ribu jam!
Dengarkan kisah lengkap manuver bisnis Edison dan sejarah penerangan di sini untuk versi 6 menit dan di sini untuk versi 20 menit.
Boros di Dunia Serba Hemat
Lonjakan efisiensi tidak hanya terjadi di lampu saja. Sejak tahun 1975, Corporate Average Fuel Economy (CAFE) mulai menerapkan standar dalam pengukuran efisiensi mobil yang diukur dalam mil per galon atau kilometer per liter.
Pada saat itu, dengan satu liter bahan bakar, rata-rata mobil hanya mampu melaju sekitar 50 kilometer saja dan memproduksi CO2 sebanyak 430 gram per kilometer. Sedangkan per tahun 2018, mobil dapat melaju 100 kilometer dengan satu liter bahan bakar dengan emisi karbon sebanyak 250 gram per kilometer.
Lonjakan efisiensi lampu dan transportasi membuat nalar kita berpikir bahwa dunia seharusnya lebih bersih hari ini ketimbang dua abad silam. Sayang sekali, fakta menunjukkan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya.
Grafik di atas menunjukkan adanya lonjakan emisi yang signifikan sejak tahun 1990 hingga tahun 2016, terutama di sektor listrik dan transportasi. Kedua aspek yang efisiensinya kini puluhan hingga ribuan kali lipat dari pendahulunya. Menariknya, kejanggalan ini telah diprediksi oleh ekonom William Jevons sejak dua abad lalu.
Lampu udah gak berasap, mobil makin irit bensin, teknologi makin efisien tapi kok emisi karbon nambah terus?
Pada tahun 1865, Jevons merilis hasil penelitiannya yang mempertanyakan anggapan umum bahwa kenaikan efisiensi mesin uap akan mengurangi konsumsi batu bara. Secara singkat, Jevons menemukan bahwa meningkatnya efisiensi mesin uap memangkas ongkos operasi, sehingga berujung pada meningkatnya permintaan. Ketika kenaikan konsumsi energi akibat kenaikan permintaan melebihi konsumsi energi yang dihemat oleh efisiensi, terjadilah sebuah paradoks yang dinamakan Jevons Paradox.
‘Tek-tok’ Sengit Soal Pantul-memantul
Jevons mengenalkan istilah rebound effect atau efek pantulan yang menandai berapa persen kenaikan permintaan konsumsi energi terhadap konsumsi energi yang dihemat. Efek pantulan 0% berarti tidak ada peningkatan permintaan sama sekali dan 100% berarti peningkatan permintaan setara dengan jumlah konsumsi yang dihemat. Ketika angka ini melampaui 100% akan terjadi backfire (bumerang) dan menjadi situasi ideal untuk Jevons Paradox.
Buy a more fuel-efficient car, drive more
Kurang lebih seperti itu gambaran singkat dari efek pantulan. Dengan membeli mobil yang hemat bahan bakar, orang akan cenderung bepergian lebih jauh atau lebih lama.
Pada tahun 2014, keponakan William Nordhaus, Ted Nordhaus, bersama kawan ekonomnya Michael Shellenberger, pernah merilis tulisan yang mewanti-wanti soal permasalahan ini. Mereka berargumen bahwa lomba lari efisiensi tidak akan mengurangi emisi karbon secara global. Bagi mereka, satu-satunya jalan ialah dengan mengganti sumber energi kotor dengan sumber energi berkelanjutan.
Kemudian Inês Azevedo, Kenneth Gillingham, David Rapson, dan Gernot Wagner terpancing untuk membalas opini dari surat kabar New York Times itu. Mereka mengakui bahwa efek pantulan memang tak terelakkan, tetapi kemungkinan terjadinya backfire sangatlah kecil. Hasil ulasan komprehensif Azevedo (2014) terhadap lebih dari 500 studi terkait efek pantulan menyatakan rentangnya berada di antara 0–60% saja, masih jauh untuk mencapai kondisi backfire yaitu 100%.
Perdebatan tidak berhenti sampai di sini. Nordhaus dan Shellenberger membalasnya dengan menunjukkan poin penting yang dilewatkan oleh Azevedo dan kawan-kawannya.
Kutipannya seperti berikut:
Recent estimates and case studies have suggested that in many energy-intensive sectors of developing economies, energy-saving technology may backfire, meaning that increased energy consumption associated with lower energy costs because of higher efficiency may in fact resuly in higher energy consumption than there would have been without those technology
Pada kutipan di atas, Nordhaus menekankan negara berkembang sebagai subjek yang paling rentan terhadap backfire. Negara berkembang belum sepenuhnya memetakan konsumsinya, sehingga peningkatan konsumsi yang signifikan karena peningkatan efisiensi masih sangat mungkin.
Perdebatan sengit ini masih berlanjut dan telah didokumentasikan dengan apik pada laman yang berjudul, Another Round on Energy Rebound.
Azevedo, Kenneth, Gillingham, Rapson, dan Wagner juga merilis paper untuk kajian yang lebih mendalam mengenai efek pantulan akibat efisiensi energi yang dapat diunduh di sini.
Indonesia, Memantul atau Melempem?
Pada era Jevons, permintaan transportasi dan konsumsi energi listrik belum sepenuhnya terpetakan. Itulah salah satu faktor yang mendorong lonjakan konsumsi setelah mendakinya efisiensi. Indonesia sebagai negara berkembang, yang justru masih punya PR untuk memastikan seluruh warganya mengonsumsi energi secara layak, masih berpotensi besar untuk terjadi pantulan yang perlu diperhatikan.
Per tahun 2019, 98.89% wilayah Indonesia telah dialiri listrik. Dengan kalkulasi singkat, sekitar 3 juta penduduk masih belum mendapatkan akses listrik. Selain itu, perlu diperhatikan juga sebarannya. Apapun sebarannya, pulau Jawa juaranya. Jawasentrisme terjadi di sektor apapun termasuk energi. Ada satu hal menarik soal ketidakmerataan infrastruktur listrik di Jawa dan daerah lainnya.
Hampir setiap tahun, selalu ada berita surplus listrik di sistem Jawa-Bali yang melimpah. Bahkan PLN perlu mengembangkan produk lain seperti power bank seukuran gerobak sampah untuk mendistribusikan kelebihan listriknya. Pada saat yang bersamaan, banyak daerah di luar pulau jawa yang selalu mendapatkan pemadaman rutin dalam waktu singkat karena minimnya infrastruktur ketenagalistrikan.
Kalau dari sumbernya saja sudah surplus, apakah usaha efisiensi warga di pulau Jawa akan sia-sia? Toh cerobong PLTU sudah terlanjur mengentuti karbon hasil pembakaran batu-bara. Lebih absurd lagi, pada tahun 2017, direktur utama PLN saat itu mengatakan, “… kalau ada AC (air conditioning) satu di rumah, tambah menjadi dua.”, terkait surplus listrik tahun 2017 yang mencapai 40%.
Lantas, Apakah Siasat Hemat Bermanfaat?
Jawabannya tentu, tetapi ia tidak boleh berdiri sendirian. Ketika efisiensi energi mengurangi intensitas konsumsi energi di bagian hilir, EBT (Energi Baru Terbarukan) harus berjalan beriringan di bagian hulu. Untuk konteks Indonesia, saya cenderung memihak tulisan Ted Nordhaus dan rekannya yang cenderung berfokus pada transisi energi bersih dari sumbernya.
Sejak tahun 2013 hingga 2018, proporsi PLT EBT cenderung stagnan. Adapun perubahan masih belum signifikan. Secara nominal, ongkos investasi EBT memang cukup tinggi. Nilai ROI atau balik modalnya pun cenderung sangat lama. Di sinilah efisiensi energi dapat bermain sebagai ‘kartu truf’ dalam transisi energi bersih.
Kurva di atas merupakan kurva ongkos pengurangan gas rumah kaca. Tinggi batang menunjukkan besar ongkos, sedangkan posisi horizontalnya menunjukkan besar potensi pengurangan emisinya. Sekilas kurva ini terlihat sangatlah kompleks, tetapi jika dilihat dengan mundur beberapa langkah, kita akan melihat gambaran besar yang cukup sederhana.
Ongkos pengurangan gas rumah kaca diukur dengan satuan Euro per ton CO₂ ekivalen. Artinya berapa Euro yang harus diinvestasikan untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar satu ton CO₂ ekivalen. Uniknya, ongkos ini dapat bernilai negatif. Alih-alih mengeluarkan biaya, beberapa hal justru dapat memberikan laba.
Potensi pengurangan gas rumah kaca diukur dengan satuan Gigaton CO₂ ekivalen per tahun. Semakin ke kanan berarti semakin besar potensi pengurangannya. Untuk memudahkan pemahaman, saya akan mengambil contoh dari data di kurva di atas.
Mengganti lampu LED (di ujung kiri kurva) ongkosnya sangat kecil, bahkan negatif yang berarti akan memberi laba. Namun potensi pengurangan emisinya pun tidak terlalu signifikan, tetapi setidaknya ada potensi pengurangan emisi. Instalasi PLT Surya (dalam kurva tertulis Solar PV), membutuhkan ongkos yang jauh lebih besar dari penggantian lampu LED, namun potensi pengurangan emisinya pun jauh lebih besar.
Menariknya lagi, kurva ini seperti terbagi ke dalam dua daerah. Daerah kiri cenderung memberikan untung tetapi potensi mitigasinya kecil hingga sedang. Sedangkan daerah kanan berpotensi paling besar untuk memitigasi emisi, tetapi butuh ongkos yang besar.
Hampir semua upaya efisiensi energi menempati daerah kiri, sedangkan EBT menempati daerah kanan. Dengan rendahnya ongkos, bahkan cenderung memberi laba, efisiensi energi dipercaya oleh para ahli sebagai pendorong mula (kickstarter) yang baik untuk transisi energi bersih ke depannya. Selain itu, dengan melihat konteks pandemi global yang membabi buta ekonomi banyak negara, efisiensi energi dapat membantu memulihkannya dengan membuka lowongan kerja yang cukup masif.
Bagaimana menurutmu, apakah siasat hemat ini cukup bermanfaat?
Merespons krisis pandemi global, IEA (International Energy Agency) merilis laporan World Energy Outlook edisi spesial berjudul Sustainable Recovery. Laporan komprehensif ini memuat rekomendasi bagi para pembuat kebijakan maupun pelaku industri sebagai rujukan untuk memulai ‘pemulihan berkelanjutan’. Laporan dapat diunduh di sini.
PR — (Pekerjaan Recovery) Masih Menumpuk
Posisi Indonesia sebagai negara berkembang cenderung memiliki potensi rebound effect yang akan mengurangi atau bahkan menghabisi penghematan dari efisiensi energi. Ditambah dengan senjangnya infrastruktur listrik di pulau Jawa dan non-Jawa yang sangat kentara, yang ditandai dengan banyaknya surplus listrik di pulau Jawa. Tentunya masalah ini baru secuil gunung es di permukaan. Banyaknya masalah, bukan berarti lantas kita menyerah.
Efisiensi energi dapat menjadi komplemen yang baik untuk mendorong pembangunan EBT dan transisi energi. Uniknya, efisiensi energi dapat dilakukan oleh siapapun. Dimulai dari skala paling kecil yaitu kita, warga biasa, hingga skala komersil, bahkan skala industri. Ia bisa dimulai darimana saja dan oleh siapa saja.
Terlebih lagi, efisiensi energi berpotensi besar untuk pemulihan pasca pandemi. Jangan sampai kita menjadi generasi yang disalahkan dalam sejarah karena tidak berbuat apapun di tengah momentum penting ini.
Indonesia butuh kamu, engineer, ilmuwan, ekonom, pembuat kebijakan, pelaku industri, dan warga biasa untuk mau capek dan kecewa bareng-bareng, demi bumi yang sehat untuk bumi itu sendiri, anak, dan cucu kita di masa depan!