TeknoDistopia: Antara Lapangan Pekerjaan, Robot dan Manusia

Andika Akbar H
The Kynikoi
Published in
9 min readDec 27, 2020

Lahir di tahun 90-an, sulit membayangkan robot dan otomasi literally mengambil alih seluruh pekerjaan manusia. I mean, duh look at this….

Honda ASIMO Falls Down Stairs

Sebagai generasi yang lahir di tahun 90-an, tentu gue familiar dengan ASIMO. Salah satu front runner otomasi yang pernah booming di saat itu dan cukup memakan perhatian publik. Di waktu yang sama, mungkin sebagian orang menganggap bahwa hal ini adalah wujud dari technological advancement, tapi disisi lain, ada juga kok yang menganggap ini lelucon. Yes, lelucon karena membuat persepsi publik menjadi campur aduk atas ketidakmampuan robot ini untuk melakukan aktivitas sederhana (tuh liat, naik tangga aja gak bisa).

Waktu berlalu, dan image dari ASIMO ini seakan-akan menjadi smokescreen bagi perkembangan teknologi yang sebenarnya. Sebuah konsesus pun telah tertanam di alam bawah sadar publik akan kemustahilan robot untuk mengambil peran manusia sebagai pekerja. Ironisnya, saat ini realita menempatkan kita di kursi terdepan turbulensi ekonomi sosial yang diakibatkan oleh teknologi. Dan satu kecemasan pun muncul “Apakah suatu hari nanti teknologi akan menggantikan manusia sebagai pekerja?”

Hari yang Tak Akan Pernah Datang

Cerita sedikit tentang perkembangan teknologi yang diam-diam nusuk dari belakang. Lulus dari Universitas, gue mendapatkan sebuah kesempatan untuk berkeja di salah satu pabrik menjadi Automation Engineer. Sederhananya, perkerjaan ini mengharuskan gue mengubah aktivitas manusia (human labour) menjadi robot/otomasi (automated), yang sayangnya banyak bagian dari pekerjaan gue berkaitan dengan pemecatan buruh atau pengurangan karyawan.

Pada saat memulai pekerjaan ini, gue gak tau apa yang harus menjadi ekspektasi kedepan. Sama hal-nya dengan kacamata publik yang ada sekarang, kita gak tau udah sebarapa jauh sih otomasi terutama Artificial Intelligence, dan Robotic yang udah benar-benar berkembang. Di dalam hati kecil, gue berharap proses untuk mengganti para buruh ke robot itu bakal sulit banget, sehingga gue gak perlu “memecat” para karyawan dan impian distopis untuk membuat pabrik yang sepenuhnya dijalankan oleh robot gak bakal terjadi.

Tapi ternyata gue salah….

Untuk membuat sistem automasi yang bisa gantiin role manusia ternyata “gampang”. Sebentar-sebentar, bukan bermaksud menyepelekan hal ini, tentu untuk membuat sebuah karya engineering di bidang automasi, kita membutuhkan kemampuan programming dan coding yang top-cer, belum lagi otak kita harus encer, karena kita harus membuat sebuah mesin yang bisa bergerak dan berpikir layaknya manusia. Sayangnya, gue gak punya kemampuan itu, dan boro-boro otak gue juga pas-pasan. Tapi surprisingly, ternyata gue gak butuh itu, karena semua teknologi yang bisa gantiin peran manusia sebagai pekerja udah tersedia di atas meja.

Emang udah sampe mana?

Diskursus pun muncul tentang kemampuan robot dan artificial intelligence yang sudah bisa menggantikan peran manusia, sudah sampe manasih teknologi ini sebenarnya?

Beberapa dari kita mungkin tetap kekeuh dan sulit mempercayai, bahwa teknologi ini tidak akan mungkin untuk menggantikan manusia. Toh, robot-robot yang sering dipamerkan dipublik juga terbatas kemampuan-nya, kita melihat dengan jelas keterbatasan teknologi ini yang mencakup hal-hal seperti emosi, kreativitas dan fleksibilitas.

Dan tidak hanya kita yang skeptis, dahulu para ahli pun juga punya pemikiran yang sama. Sebagai contoh 15 tahun lalu, peneliti ternama bernama Raj Reddy dari Cerniege Mellon University, Pitssburg, dalam penelitian nya Fifty years of progress in speech recognition, mengatakan;

“Human level speech recognition has proved to be an elusive goal because of the many sources of variability that affect speech: from stationary and dynamic noise, microphone variability, and speaker variability to variability at phonetic, prosodic, and grammatical levels.”

Basically, Raj Reddy mengatakan kalo machine speech recognition a.k.a Siri, a.k.a Alexa, a.k.a Google, gak akan bisa terwujud dan “terbukti” menjadi tujuan yang ilusif. But today, we talk with Siri almost every day and I swear to god that I feel like my phone always listening to me.

Gotta Get the Right Ads

And if you think your phone just listening to your impulsive shopping needs…

well, think again…

Emosi

Sedikit yang kita tahu, ternyata mesin-mesin intellijen ini sudah bisa menganalisa emosi manusia, bahkan berdialog dengan dialek manusia itu sendiri. Versi Apple Siri selanjutnya, akan mempunyai kemampuan untuk perlahan memasuki emosi manusia atau yang bisa disebut Emotional AI. Salah satu contoh dari mesin ini yang bikin bulu kuduk gue merinding ialah IBM Soul Machine. Seperti namanya, “Mesin yang punya Jiwa” ini bisa berkomunikasi dengan manusia layaknya mahluk hidup, bahkan mesin ini bisa menunjukan emosi dan empati ketika berdialog dengan manusia.

IBM Watson Soul Machines

Tak hanya Soul Machine, bahkan mesin lainnya seperti Google Assistant juga sudah bisa menggunakan emosi untuk berkomunikasi dengan manusia. Emosi pun sekarang bukanlah barang mewah lagi bagi AI , tapi bagaimana dengan sebuah indra yang bahkan manusia pun sulit untuk ungkapkan, kreativitas….

Kreativitas

Kreativitas mungkin menjadi ultimate holy grail untuk perkembangan Artificial Intelligence. Dan apabila kita berpikir bahwa perkembangan AI tidak progressif di bidang ini? well, guess again…you might be wrong…

Let's try to think about the most creative things that only a human can do it. Menulis? Melukis? Giving advices to people? sekali lagi AI ternyata sudah bisa melakukan hal ini. Mungkin bisa langsung di coba, kalo kalian punya deadline essay, click this link the let AI finish it for you…

Tapi, terlepas dari semua ini, gimana kalo gue bilang AI bisa melakukan suatu hal yang membutuhkan kreativitas yang sangat tinggi, yaitu..

Petak Umpet.

Sadar apa engga, kita harus akui bahwa petak umpet itu membutuhkan kemampuan kreativitas yang tinggi. Gak hanya itu, petak umpet juga membutuhkan adaptivitas dan improvisasi terus menerus dari para pemainnya, bagaimana cara menyembunyikan diri dan tentunya mencari pemain lain. Video dibawah ini adalah sebuah simulasi yang dibuat oleh Two Minute Papers, sebuah kelompok independen yang menggeluti penelitian tentang AI. Mereka membuat sebuah percobaan dimana AI mencoba belajar secara mandiri (self-learning) tentang permainan petak umpet ini.

Hasil nya, jujur gue sangat kagum, exciting dan takut di saat bersamaan. Simulasi ini yang dimainkan oleh empat pemain; 2 pencari (seekers) dan 2 pengumpat (hiders), awalnya berjalan dengan sangat mudah. Para seekers sama sekali tidak kesulitan untuk menemukan pengumpat.

Tapi, iterasi yang jumlah nya miliyaran pun terus berlangsung menambah kemampuan para pemain tersebut. Alhasil, banyak variasi-varisi yang dilakukan diluar kepala. Simulasi demi simulasi, AI terus menambah kemampuan kreatifnya untuk memenangkan permainan. Bahkan, simulasi ini terdapat momen klimaks, dimana AI sempat “merusak/hack” game ini sendiri…

Open AI Plays Hide and Seek

Garis besar yang kita dapatkan dari simulasi ini adalah, hanya tinggal menunggu waktu saja sampai AI bisa melakukan iterasi secara terus menerus untuk menggapai kemampuan manusia. Ada satu website yang dioperasikan AI untuk menghasilkan sebuah gambar tentang wajah manusia yang tidak ada di muka bumi ini (how crazy is that?!). Bagi kalian yang menganggap kemampuan kalian hanya bisa dilakukan oleh “manusia”, maka yakinlah di luar sana ada yang sedang mengerjakan algoritma untuk melakukan aktivitas tersebut.

Oke, kita udah bicara mengenai dua hal yang paling sulit untuk di imitasi oleh teknologi; Emotion and Creativity. Tapi satu yang belum dibicarakan adalah fleksibilitas, bagian yang malahan menjadi hal paling mudah untuk di mimik oleh teknologi. Alasan gue untuk menulis bagian ini di akhir, karena bagian ini yang paling terancam di ekosistem pekerjaan manusia saat ini.

Fleksibilitas

Kalau kita kembali lagi ke pabrik, kebanyakan aktivitas yang dilakukan oleh jutaan buruh merupakan pekerjaan yang repetitif. Konsekuensinya, pekerjaan mereka sangat amat mudah untuk digantikan oleh robot. Sebagai contoh, di sebuah pabrik dibutuhkan 4 orang buruh untuk mengemas sebuah produk, sekarang? Hanya di butuhkan satu buah collaborative robot yang dapat menggantikan empat orang tersebut.

Satu pengalaman yang pernah gue rasakan, mewawancarai salah satu “bos” pabrik di Jabodetabek. Beliau mengatakan, “Sebenarnya, terlepas dari keadaan sosial dan politik, kita sudah bisa membuat sebuah pabrik yang bekerja tanpa ada campur tangan buruh sebagai pekerja”. Dan sayangnya, gue setuju dengan pernyataan beliau…

Kawasaki Next Generation Robot

Di mata beberapa pengusaha, mengganti manusia ke mesin itu menghasilkan beberapa keuntungan; bekerja layaknya kuda literally 24/7, produktivitas yang konsisten, tidak mempunyai office politics, gak main tik tok, gak gossip dan berbagai macam hal lainnya.

Penilaian seperti ini menjadi tombak justifikasi para pengusaha saat ini untuk mengganti manusia ke robot, dan ini bukan salah siapa-siapa. Malahan, hal-hal seperti ini yang mungkin akan menjadi “the beginning of an end” dari gelombang robot yang akan menggerus lapangan pekerjaan manusia.

Automation Anxiety

Pertanyaan yang gue lontarkan di kepala gue, ternyata adalah sebuah bagian dari Automation Anxiety. Istilah ini digunakan untuk mengutarakan kecemasan yang ada di masyarakat tentang kemampuan teknologi yang akan menggantikan pekerjaan manusia. Dan hal ini sebenarnya udah ada dari jaman jebot ketika revolusi industri memulai sepak terjangnya.

Tapi apakah memang iya automation anxiety ini dampaknya nyata? dan apakah memang benar-benar menghilangkan pekerjaan?

Di tahun 60-an, Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy menempatkan teknologi automasi pada peringkat pertama dalam tantangan untuk membuat lapangan pekerjaan. Ketakutan publik pun nampak menjadi kenyataan, karena automasi memang betul-betul menghilangkan jutaan pekerjaan. Tercatat sebanyak 1.8 juta pekerjaan di Amerika Serikat tergantikan oleh robot. Hal-hal repetitif yang sederhana mulai dari customer service, petani, pekerja pabrik, tukang pos, teller bank perlahan mulai digantikan peran-nya oleh teknologi.

Walaupun teknologi sudah menggantikan manusia di saat itu, kecemasan publik bukannya meningkat, tapi kenyataan-nya malah larut…

Larut nya kecemasan saat itu bukan tanpa alasan, lahirnya teknologi baru ini ternyata gak secara barbar menghilangkan semua pekerjaan. Malahan di setiap minggu-nya ribuan pekerjaan baru muncul di Amerika Serikat akibat domino effect yang di timbulkan oleh revolusi industri.

Teknologi ini setidak nya membuat sebuah opportunity dalam pembuatan lapangan pekerjaan, walaupun tentu secara natural memang ada beberapa pekerjaan yang harus dikorbankan. Mudah untuk kita membayangkan pekerjaan yang akan hilang, tapi sulit sekali untuk memperkirakan pekerjaan apa yang akan datang setelahnya. Faktanya, walaupun automation anxiety masih exist sampai sekarang, data menunjukan ratio pekerjaan dan populasi terus bertambah setiap tahunnya.

Employment — Population Ratio (U.S Bureau of Labor Statistics)

Gambar diatas merupakan grafik ratio jumlah employment dan populasi dari awal revolusi industri sampai sekarang. Lepas dari resesi 2008 dan pandemi 2020, dapat dilihat bahwa jumlah pekerjaan naik secara terus menerus. Its done then, new technology created new jobs, I just waste my whole week researching about this topic.

But wait…

Apakah dengan naik-nya jumlah pekerjaan, tingkat produktivitas manusia naik juga?

Jawabannya adalah tidak.

Productivity Paradox

“If robots are taking our jobs, then why is productivity growth so slow?”

-Robert Solow

Setelah revolusi industry, banyak perusahaan mulai berinvestasi besar — besaran ke teknologi. Tentunya, dengan menggunakan ekosistem teknologi dan manusia yang bekerja secara berdampingan, mereka berharap untuk dapat menaikan produktivitas. Namun apadaya, hasil riset empiris yang dilakukan oleh para economist menunjukan hasil sebaliknya. Semenjak penetrasi teknologi di tahun 70an, data menunjukan bahwa perkembangan produktivitas malah turun.

Trends in labour productivity growth, Germany, Japan, United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and United States of America, 1955–2018 (The Conference Board)

Grafik diatas menunjukan produktivitas yang menurun di empat negara maju dunia sejak penetrasi teknologi. Penurunan ini disebut Productivity Paradox, sebuah istilah yang dicetuskan oleh Robert Solow, salah satu ekonom terkenal yang menjelaskan sebuah paradoks tentang penurunan produktivitas akibat penetrasi teknologi. Observasi ini didukung kuat dengan bukti empiris yang dilakukan sejak tahun 1970an sampai 1990, dan menunjukan hasil yang counter-intuitive­ dengan ekspektasi pemangku bisnis.

Melihat grafik diatas, apakah kita dapat menarik kesimpulan, bahwa penetrasi teknologi tidak lagi menambah pekerjaan dan hanya mengeliminasi pekerjaan existing? Ditambah lagi, riset dari 2017 McKinsey Global Institute menunjukan bahwa, 50% aktivitas kerja saat ini dapat digantikan dengan teknologi yang kita punya sekarang. Atau jangan-jangan grafik diatas bukanlah data yang valid, karena kesulitan untuk mengukur produktivitas di sektor digital dan jasa seperti google, Instagram dan sebagainya?

Unfortunately, nobody yet to know…

Hipotesis tentang teknologi mengambil alih pekerjaan manusia tanpa membuat sebuah pekerjaan baru, nampaknya makin kuat dengan data penghasilan masyarakat di berbagai strata sosial.

US Real Average Household Income By Quintile And Top 5 Percent, 1965–2015 (Census Bureau)

Grafik diatas merupakan trend dari penghasilan masyarakat dari berbagai kelas sosial sejak penetrasi teknolgi. Dari grafik ini terbukti bahwa, kue ekonomi yang dihasilkan dari kemajuan teknologi, tidak di bagi merata ke semua kalangan. Upah riil stagnan atau bahkan turun untuk mereka yang berada di kelas bawah, karena kebanyakan pekerjaan mereka di pabrik kini telah tergantikan oleh robot. Di sisi lain, kesenjangan dari orang-orang yang mempunyai kapital tinggi, semakin besar hari demi hari.

Ketidaksamarataan yang dihasilkan oleh hal ini membawa kita pada sebuah krisis standar hidup. Akses yang mudah dari kaum-kaum elitis terhadap teknologi membuat tidak berimbangnya neraca ekonomi kepada kaum kecil. Ditambah lagi, indikasi terhadap pergantian manusia ke teknologi automasi akan menjadi lebih cepat diakibatkan oleh Pandemi COVID-19, dan menjadi prioritas perusahaan-perusahaan besar kala ini.

Impak yang akan dihasilkan oleh teknologi automasi masih akan menjadi diskusi yang akan di debatkan. Teknologi kali ini akan menggantikan peran manusia untuk berfikir, sama hal nya dengan revolusi industri menggantikan otot manusia. Tentunya, dibutuhkan waktu untuk melihat the full effect dari teknologi automasi. Tapi perlu di ingat bahwa setiap revolusi teknologi membawa efek samping, layaknya revolusi industri membawa poin-poin negatif seperti perubahan iklim, pemanasan global, ketidaksamaan ekonomi, eksploitasi pekerja maupun anak dan masih banyak lagi.

Saat ini, kita mungkin sudah melihat beberapa efek rantai dari hal tersebut, mulai dari disinformasi, isu privasi, cybercrime, penggantian buruh ke robot dan lain-lain. Semenarik mungkin janji yang di bawa oleh teknologi ini, kita perlu ingat bahwa tidak ada satu hukum ekonomi manapun di dunia yang menjamin, bahwa kemajuan teknologi akan memberikan dampak berimbang ke semua orang.

--

--