Kredit Gaya Hidup

Jebakan pasar bagi kelas menengah.

Ahmad Zaenudin
The Madzae

--

Elagabalus adalah seorang kaisar Romawi abad pertengahan. Seperti diceritakan Jack Turner dalam Spice: The History of A Temptation, sang kaisar dalam acara penjamuan makan sangat loyal terhadap tamu-tamunya. Ia memadukan perhiasan, apel, dan bunga, serta menyisakan makanan yang sama banyaknya dengan yang disantap tamu-tamunya. Ia senang mendengar harga makanan yang luar biasa mahal dimejanya dilebih-lebihkan, serta mengklaim makanan itu baru makanan pembuka dari perjamuan. Ia memberi makan anjingnya foie grass, menyajikan jamur truffle di wadah lada dan permata untuk ikan-ikan dan menyajikan kacang polong berlapis emas.

Tak jauh berbeda dengan sang kaisar Romawi di abad pertengahan, masyarakat Jakarta atau Batavia di abad 17 juga melakukan “ritus” demikian. Gaya hidup para pejabat kompeni Belanda yang glamor dan segala akses kemewahannya merupakan bentuk “kepongahan” tersendiri kala itu. Hendrik E. Neimeijer dalam bukunya, Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII menjelaskan bahwa dengan kondisi gaya hidup yang galmor, cenderung diikuti oleh masyarakat luas di Batavia. Kalangan pejabat kompeni yang hedonis, diikuti oleh mereka-mereka kaum eropa terpandang, maupun kaum pribumi yang cukup berada. Ironisnya, meraka yang secara finansial dikatakan “miskin” juga cenderung mengikuti pola hidup pejabat kolonial yang mewah. Sampai-sampai, pemerintahan kolonial memberlakukan kebijakan denda bagi mereka yang kedapatan “menghamburkan uang” secara sia-sia.

Salah satu kemewahan yang terjadi masa kolonial adalah kereta kuda. Lazimnya kereta kuda dikendarai oleh mereka pejabat kompeni dan bangsawan eropa kala itu. Dengan ornamen yang menghiasi kereta kuda yang menarik, kereta kuda kala itu dijadikan salah satu bentuk kebanggaan tersendiri bagi yang memakainya. Selain dikendarai secara reguler, jamak ditemui kereta kuda dijadikan kendaraan iring-iringan pengantin kala itu. Tentu dengan segala aksesnya, pejabat kolonial atau bangsawan eropa dengan mudah memiliki kereta kuda. Meskipun harus mereka tebus dengan pajak yang tak sedikit kala itu.

Selain itu, di masa Batavia abad ke 17, upacara kematian yang dianggap sebagai peristiwa duka, juga diselimuti oleh kemewahan. Kala itu, lazim bagi mereka yang sedang berduka untuk berpesta di upacara kematian sanak saudara. Bahkan, seperti diceritakan Niemeijer, pemakaman bukanlah tempat yang muram, melainkan bagian kecerian tersendiri kala itu. Dana yang besar, terpakai kala menggelar hajatan ini.

Sialnya, bukan cuma pejabat kompeni atau bangsawan eropa yang melakukan segala bentuk kemewahan. Warga merdiker (pribumi kristen) maupun warga inlander meniru gaya hidup mewah yang demikian. Tentu saja, berhutang merupakan jalan pintasnya tersendiri. Sampai-sampai pemerintahan kolonial kala itu memberikan denda bagi mereka yang kedapatan “berfoya-foya” menghamburkan uangnya.

Salah satu bentuk tradisional “ngutang” seperti yang diceritakan Ririn Darini dalam Bisnis Peminjaman Uang Informal di Pedesaan Jawa Dalam Sejarah Indonesia Masa Kolonial, adalah kesepakatan jual atau sistem “dol tinuku”, yang menunjukkan bahwa orang yang memerlukan uang untuk sejumlah pinjaman harus memberikan pernyataan di atas meterai dan biasanya dicantumkan tanda tangan kepala desa atau anggota pemerintahan desa lainnya kepada pemberi pinjaman. Kesepakatan ini menyebutkan bahwa pihak peminjam telah menjual tanah, rumah, atau sapinya kepada pihak pemberi pinjaman dengan syarat bahwa barang yang telah dijual tersebut dapat dibeli kembali dengan jumlah yang disebutkan sebagai harga jual, yang biasanya dua kali lebih besar dari jumlah uang yang dipinjamnya. Hal membeli kembali biasanya ditetapkan dalam setahun. Dengan berlalunya masa ini barang yang dijual akan menjadi hak milik pemberi pinjaman. Selain mendapatkan keuntungan 100% diputuskan pula oleh pemberi pinjaman bahwa sampai selama masanya untuk membeli kembali miliknya, dalam hal tanah diberlakukan sistem bagi hasil, sementara pada sapi dapat disewakan.

Gaya hidup memang mahal, jauh lebih mahal dibanding biaya hidup. Gengsi menjadi salah satu faktor. Selain tentu saja sejatinya kita sedang diiming-imingi para kapitalis yang memang berkepentingan untuk mengeruk pundi-pundi harta milik kita. Coba kita tengok sekeliling kita, saat pergi ke Mall misalnya. Lazim terjadi saat kita jalan di Mall, perempuan-perempuan cantik akan menghampiri kita, tentu bukan mengajak kita kencan mialnya, melainkan mengajak kita untuk ikut memiliki kartu kredit. Atau lihat juga saat kita ke pasar, lazim juga dibagikan brosur kredit kepemilikan kendaraan bermotor. Atau bagaimana pula dengan mudahnya, kita bisa melihat masyarakat golongan menengah yang sedang antre mendapatkan produk-produk baru yang harganya tak bisa dibilang murah.

Lazimnya, berhutang dilakukan saat kita terdesak dan dalam kondisi tak bisa ditawar. Seperti saya misalnya ---dan maaf bila hutang saya belum dibayar, saya pasti lunasi---. Namun, kebanyakan orang kita lebih memilih berhutang untuk mengikuti gaya hidup yang sebenarnya bukan kemampuan orang tersebut. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perekonomian Indonesia yang “konon” tumbuh besar ini ditopang oleh belanja hutan yang sangat besar. Satu barang yang diiming-imingi diskon dan cicilan ringan, ---iPhone misalnya--- akan ramai diserbu masyarakat.

Diskon adalah fenomena lain. Ia hadir dari kejelian para pengusaha melihat potensi besar dimatanya. Potensi keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan angka-angka dari diskon itu sendiri. Ia seakan mengajak kita, setidaknya untuk melihat-lihat terlebih dahulu. Lantas terbuai dengan produk yang bagus, dan bisikan manis dari SPG. Mungkin saat di rumah, kita baru sadar apa yang sebenarnya kita beli, tak benar-benar kita butuhkan. Maka hadirlah istilah “laper mata” untuk fenomena ini.

Ingat, gaya hidup kita bukan gaya hidup Ratu Atut. Memakai tas Hermes atau berkerudung scraft Luis Vittong. Ingat pula, gaya hidup kita bukan gaya hidup Wawan, istri Airin walikota Tangsel, yang memiliki banyak mobil mewah yang berjajar di garasi ---garasi KPK maksudnya--- rumahnya.

Gaya hidup yang mewah dengan pondasi hutan memang sudah memiliki sejarahnya tersendiri. Mungkin kita dilahirkan memang untuk berhutang. Dan tentu tulisan saya ini bukan untuk menyerang mereka-mereka yang bergaya hidup mewah, toh itu hidup mereka bukan saya. Saya cuma ingin menyampaikan pesan, bagi mereka-mereka yang mampu membayar kurang lebih Rp. 500.000 perbulan dari gajinya sebagai seorang buruh (katanya), namun tak mampu “mengkredit” sedikit saja nalar dan hati nurani atau bahkan ilmu pengetahuan. Jalanan bukan cuma milik Anda Bung! Ups, tapi saya tak yakin mereka membaca tulisan ini!

--

--