Andaliman: Rempah Tersembunyi di Tanah Batak
Di dataran tinggi yang mengelilingi Danau Toba, tumbuhlah sebuah rempah eksotis yang tak banyak dikenal dunia. Isolasi budaya dan sifat alamiahnya menjaganya sebagai simbol budaya masyarakat Batak.
Sakdiah Ros (45 tahun),adalah seorang perempuan Jawa yang lahir dan besar di Deliserdang, sebuah daerah yang didominasi komunitas Muslim di Sumatera Utara. Masih teringat jelas dalam ingatannya saat ia menghadiri upacara pernikahan orang Batak di Medan dua puluh tahun lalu. Yang paling mengesankan baginya adalah makanan yang disajikan.
Berasal dari dataran tinggi yang mengelilingi Danau Toba yang megah di Sumatera Utara, orang Batak memiliki berbagai masakan unik yang dianggap menjijikkan bagi sebagian besar Muslim. Orang Batak memakan tumisan daging babi dan anjing (Saksang)dan sering juga dimasak bersama darahnya (gotta). Mereka juga mengambil rumput dari dalam lambung sapi, membersihkannya, kemudian memasaknya menjadi gulai (pagit-pagit). “Jelas kakak gak bisa makan,” kata Ros.
Tentu saja, masakan ini bukanlah yang disajikan di depan Ros. Menu-menu ini khusus dibuat untuk tamu beragama Kristen. Pihak pengantin telah menyiapkan menu terpisah untuk tamu Muslim. Ros akhirnya mendapat rendang dan gulai daun ubi. Namun makanan ini sebelumnya dibawa menggunakan ember dan diberikan langsung dengan tangan. Ros berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi tamu yang sopan, tetapi “tapi rasanya bagaimana ya..agak aneh,” katanya.
Meski begitu, Sakdiah menyukai salah satu bumbu khas Batak: Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium). Di rumahnya, dia menggunakan andaliman untuk memasak “arsik”, masakan ikan khas Batak, biasanya memakai ikan mas atau nila. Arsik rasanya asam segar dan gurih pada saat bersamaan. Rasa ini jauh berbeda dengan masakan Sumatera lainnya yang menggunakan bumbu yang cukup terkenal seperti pala, kayu manis, kapulaga, ataupun adas.
“Andaliman itu wangii kalii,” kata Ros. Ia menduga bumbu tersebut digunakan oleh orang Batak untuk menetralisir amis darah dari anjing dan babi, juga rerumputan di usus sapi. Namun Kormina Sihombing (69), perempuan Batak asal Toba yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Medan, mengatakan bumbu lebih banyak digunakan untuk selera dan aroma menu. “Untuk menetralisir baunya, kami menggunakan utte jungga,” katanya, mengacu pada spesies jeruk asli dataran tinggi Toba.
Namun andaliman adalah jiwa masakan Batak. “Saya pakai andaliman untuk memasak arsik, gotta, tinombur (sambal Batak), dan naniura (ikan mentah yang dimarinasi),” kata Sihombing. Kristina Purba (33), mengatakan bahwa hampir semua orang Batak punya andaliman di dalam kulkasnya. “Apalagi musim tahun baruan begini,”katanya. Berbotol-botol andaliman disimpan di dalam botol aqua supaya awet.
Andaliman memiliki aroma seperti lemon, rasa pedas hangat, dan membuat lidah mati rasa. Orang-orang dari luar Sumatera Utara biasanya salah mengartikan rempah-rempah tersebut sebagai lada Sichuan (Zanthoxylum piperitum), kerabat terdekatnya dari Tiongkok. Tetapi tanaman Andaliman tumbuh subur secara eksklusif di dataran tinggi Toba. Varian lain tumbuh di bagian lain Asia seperti India, Vietnam, dan bahkan Serbia. Namun, menurut Sistem Plasma Tanaman Nasional AS, jenis yang dipakai di negara-negara ini biasanya digunakan sebagai obat-obatan dan bukan untuk makanan. Hanya orang Batak yang menggunakan bumbu ini di hampir semua masakan mereka. Jadi, ini juga disebut “merica Batak”.
Aroma Andaliman yang memikat tidak hanya menarik minat orang non-Batak seperti Ros, tetapi juga memikat beberapa ilmuwan untuk mempelajari rempah yang eksotis ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa itu mengandung senyawa anti-oksidan dan antimikroba. Beberapa juga mencoba mengidentifikasi senyawa kunci untuk aromanya, dengan tujuan agar suatu hari nanti bisa diekstraksi sebagai perasa alami untuk makanan. Semua ini menunjukkan bahwa andaliman memiliki prospek untuk penggunaan yang berkelanjutan (bioprospecting).
Namun satu misteri belum terungkap: andaliman tidak ditemukan di masakan lain di pulau-pulau lain di Indonesia. Aroma dan khasiat obat andaliman tak kalah dengan pala di Banda. Tapi tidak seperti pala yang mendorong eksplorasi laut orang-orang Eropa, andaliman tetap tersembunyi di dataran tinggi Toba. Para ahli mengatakan alasan kultural dan ekologis adalah penyebabnya.
Isolasi Budaya
Gambaran Andaliman sebagai simbol budaya Batak digambarkan dalam buku “The History of Sumatra” yang ditulis pada tahun 1783. Penulisnya, William Marsden, menggambarkan korespondensi pribadinya dengan seorang naturalis Inggris, Charles Miller. Miller melaporkan keberadaan Andaliman dalam masakan Batak saat berkunjung ke masyarakat Batak yang tinggal di bagian selatan Danau Toba pada tahun 1772.
“Saya tidak menemukan sesuatu yang luar biasa di sini kecuali semak berduri, yang disebut oleh penduduk asli Andalimon, wadah benih dan daunnya memiliki rasa pedas yang sangat enak, dan digunakan oleh mereka dalam kari mereka.” (Miller 1772)
Miller adalah salah satu dari sedikit orang Eropa yang pernah berinteraksi dengan orang Batak. Saat ia menulis tentang andaliman yang mengesankan, rumor kanibalisme menimbulkan ketakutan bagi sebagian besar pelaut Eropa. Samuel Munson dan Henry Liman, dua misionaris dari Amerika Serikat, dikabarkan menjadi korban kultur kanibalisme. Cerita seperti ini telah meredam keingintahuan para penjelajah untuk datang ke daratan Toba. Menurut Pulotu, Database for Pacific Religion yang dikembangkan oleh Max Planck Institute di Jerman, rumor kanibalisme dan sulitnya medan jelajah di wilayah Batak telah mengisolasi budaya mereka hingga paruh kedua abad ke-19. Mungkin inilah alasan mengapa andaliman tidak sepopuler pala di kalangan pelaut Eropa.
Saat ini, praktik kanibalisme telah lama ditinggalkan namun pun sebagian masyarakat Indonesia di Jakarta masih beranggapan orang Batak itu galak. Namun sebaliknya, orang Batak justru ramah. Saat mengatur pernikahan untuk putranya, Sihombing meminta tetangga Muslimnya untuk meminjamkan halaman depan rumahnya. Ia ingin menjamu tamu Muslim disana. Orang Batak juga terkenal dengan ikatan sosial yang kuat dan memperlakukan semua orang dengan setara, kata Ros. "Saya melihat para bos makan makanan yang sama seperti bawahan mereka," kata Ros.
Imam Ardhianto, seorang antropolog dari Universitas Indonesia, menilai perbedaan agamalah yang paling berperan melestarikan masakan Batak. Andaliman tidak terlalu populer di kalangan mayoritas orang Indonesia karena dikaitkan dengan kuliner Batak yang terkait dengan daging babi dan anjing - makanan yang dilarang oleh Islam. Ini adalah situasi yang dicontohkan oleh pengalaman Ros dalam pernikahan.
Meski Ros bisa makan arsik, agama tetap menjadi “penghalang budaya” yang menghalangi umat Islam Indonesia menggunakan Andaliman dalam masakan mereka. Ardhianto mengutip teori David Graeber “culture as a creative refusal” yang menjelaskan mengapa seringnya kontak antara dua masyarakat yang berbeda memperkuat budaya masing-masing kelompok sebagai bentuk penolakan.
Agama juga menjadi alasan mengapa masakan Batak di bagian selatan Danau Toba, tempat yang dikunjungi oleh Miller dan sebagian besar telah menjadi Muslim, telah "terdistorsi" oleh masakan kerajaan Muslim tetangga seperti Melayu dan Minang di Sumbar, kata Ardhianto.
“Kelompok yang sangat melestarikan kuliner asli Austronesia (nenek moyang manusia di bagian barat Indonesia) adalah Batak di bagian utara Danau Toba yang mayoritas beragama Kristen. Agama Kristen mengakomodir praktik kuliner nenek moyang karena tidak melarang makan babi dan anjing, ”ujarnya.
Menurut Ardhianto, faktor penting lain yang menjaga keaslian masakan Batak adalah kelembagaan budaya seperti upacara perkawinan, pemakaman, dan pertemuan budaya lainnya yang selalu melibatkan makanan. Kesempatan seperti ini masih tetap dilakukan oleh orang Batak meski sudah merantau ke kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta.
Ekologi Andaliman
Sensus Indonesia tahun 2010 mencatat bahwa jumlah populasi suku Batak melebihi 8 juta orang. Angka ini meningkatkan permintaan Andaliman untuk dimasak di berbagai acara adat. Dan sayangnya, sifat alami pohon Andaliman tidak dapat memenuhi permintaan penduduk Batak yang terus bertambah. Benedicta Lamria Siregar, ilmuwan Batak di HKBP Universitas Nommensen, mengatakan sangat sulit membudidayakan Andaliman secara luas karena kendala biologis.
Menurut penelitian Siregar, perkecambahan biji andaliman sangat sulit dan memakan waktu lama. Petani membutuhkan waktu 21-99 hari untuk berkecambah benih Andaliman, dan tentunya ini menghambat produksi massal. Hingga saat ini, petani Batak mengandalkan bibit Andaliman liar untuk membudidayakan Andaliman di pekarangan rumah. Kajian tentang karakteristik habitat andaliman juga dilakukan oleh Cicik Suriani di Universitas Medan. Suriani mendapati bahwa semak andaliman yang diamati sebagian besar tumbuh pada ketinggian yang sangat spesifik (1161-1526 m dpl).
Karakter biologis ini membatasi produksi Andaliman dan menjelaskan mengapa rempah-rempah jarang terlihat di pasar tradisional Indonesia. Hal ini pula yang membuat harga andaliman cukup mahal dibandingkan dengan bumbu masakan Indonesia lainnya. Untuk membeli satu kilogram andaliman perlu membayar Rp. 260.000. Ini sembilan kali lebih mahal dari biji ketumbar, bumbu yang umum digunakan di Indonesia.
Melihat permasalahan tersebut, Decky Junaidi, ahli botani di Kebun Raya Kerajaan Cibodas, mencoba menyelidiki faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan andaliman. Dengan melakukan percobaan di dataran tinggi Toba, ia menemukan bahwa andaliman tumbuh lebih baik di lereng yang curam (kemiringan sekitar 40o) daripada di daerah dataran terbuka (plain). “Selama survei, kami tidak menemukan Z. acanthopodium yang tumbuh secara alami di habitat dataran dan terbuka,” tulis Junaidi di jurnal Biodiversitas.
Ia lantas menjelaskan, lereng yang curam memungkinkan andaliman menerima sinar matahari yang tidak maksimal pada siang hari. ”Untuk aplikasi pertanian, perawatan naungan sampai batas tertentu diperlukan untuk membudidayakan spesies di lahan pertanian. Jadi bisa ditanam tumpang sari dengan pohon yang lebih tinggi yang bisa memberi keteduhan pada areal budidaya, ”tulisnya.
Namun temuannya hanyalah awal dari pengumpulan data ekologi untuk andaliman. Junaidi menyerukan lebih banyak studi ekologi tentang andaliman untuk mendukung konservasi dan penggunaan rempah-rempah secara berkelanjutan. Jika tidak, andaliman akan selamanya tersembunyi di dataran tinggi Toba.