Kisah tentang Kita: Manusia Indonesia

Dino Mozardien
The Malay Archipelago
10 min readJan 29, 2021
Bangsa Indonesia sudah beragam sejak dahulu karena migrasi dan pembauran DNA. Illustrasi oleh: Lala Stellune

Setiap diri kita pasti pernah bertanya darimana kita berasal.

Kita mendengar cerita dari orangtua, nenek, ataupun nenek buyut kita mengenai tempat-tempat yang mereka singgahi selama hidup mereka. Di mana mereka lahir, menikah, dan kemudian berpindah. Kejadian-kejadian itu menjelaskan mengapa kita berada disini. Ia turut serta menulis sejarah pribadi dan pada akhirnya membentuk identitas diri kita.

Namun, pernahkah kita bertanya apakah kita semua memiliki kisah hidup yang sama sehingga kita semua disebut manusia Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus berkunjung ke masa lalu dan melihat apa yang terjadi pada masa itu.

Tentu saja saat ini belum ada mesin waktu yang benar-benar membawa kita secara fisik ke masa lampau. Namun ilmuwan memiliki cara yang ampuh untuk setidaknya melihat apa yang terjadi di masa lalu dan melihat siapa saja yang menghuni Kepulauan Nusantara.

Mereka berkunjung ke masa lalu dengan meneliti apa yang ada di masa sekarang. Fosil, artefak, bahasa, dan susunan gen dalam tubuh kita adalah petunjuk yang digunakan para ilmuwan untuk menengok jauh ke masa lampau, jauh sebelum nenek buyut kita menghembuskan nafas pertamanya.

Orang tua kita menyimpan kisah di masa lalu yang membentuk jati diri kita. Photo by Ali Yahya on Unsplash

Sejumlah penelitian di bidang antropologi ragawi, arkeologi, dan linguistik mengatakan bahwa manusia memasuki Kepulauan kita dalam 2 gelombang besar. Sedangkan penelitian genetika populasi yang dimulai tahun 2000an mengatakan bahwa setidaknya ada 4 gelombang migrasi manusia yang mendasari keanekaragaman manusia Indonesia saat ini. Dan penelitian terbaru di bidang arkeogenetik, yaitu penelitian yang menganalisis genetika fosil manusia, mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah beragam sejak zaman es dulu (50.000 tahun yang lalu).

Memahami petunjuk-petunjuk ini bagaikan mengkaitkan kepingan puzzle dalam cerita-cerita detektif. Tak jarang petunjuk yang satu membantah petunjuk yang lain. Semua perselisihan ini tak lain untuk meletakkan kepingan yang tepat di tempat yang tepat, sampai gambaran utuh semakin terlihat jelas.

Oleh karena itu, mari kencangkan sabuk pengaman, kita akan menjelajah ke masa lalu!

Mesin waktu: antropologi ragawi, arkeologi dan linguistik.

Perjalanan mencari asal usul manusia Indonesia dimulai dari tahun 1945, tahun lahir bangsa Indonesia. Pada saat itu, Robert von Heine-Geldern antropolog dan etnolog Austria, melihat adanya kemiripan artefak-artefak peralatan batu yang ditemukan di Indonesia dengan artefak yang ada di daratan Asia Tenggara. Ia kemudian menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa Austronesia yang berasal dari daratan Yunan di China Selatan. Heine-Geldern berpendapat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia migrasi dalam dua gelombang, yaitu pada masa Neolitik (2000 SM) dan pada masa Perunggu-Besi (500 SM). Sampai sekarang, teori ini masih tertulis di buku teks sekolah.

Namun menurut P.V van Stein Callenfels, ahli prasejarah dan arkeolog Belanda di Batavia (koleksinya sekarang berada di Museum Nasional Jakarta), jauh sebelum bangsa Austronesia berpindah ke Kepulauan Nusantara 4000 tahun yang lalu, wilayah kita sudah dihuni penduduk asli yang sering dirujuk sebagai Australo-Papuan sejak 40.000 tahun yang lalu.

Berbeda dengan populasi berkarakter seperti penutur Austronesia yang berkulit sawo matang, populasi Australo-Papuan berkulit lebih gelap dengan rambut keriting. Populasi penutur Austronesia datang ke daerah barat Indonesia, membaur dengan kelompok Australo-Papuan. Hasil pembauran ini adalah Senoi di Semenanjung Melayu atau Sakai/Kubu di Riau, serta Batak dan Mentawai di Sumatra Utara. Sedangkan populasi Australo-Papuan yang migrasi ke Indonesia Timur menjadi nenek moyang orang Papua dan sebagian pulau lain disekitarnya. Teori ini disebut dengan Two-Layers Hyphotesis.

Anak-anak bermain di sebuah pantai di Papua Barat. Photo by Dino Januarsa on Unsplash

Ternyata teori ini bukan satu-satunya yang ada. Bukan sains namanya jika suatu teori tidak diuji dan dikritisi.

Pada awal 1990-an, Christy G Turner II, ahli antropologi dari Universitas Arizona di Amerika Serikat, menemukan perbedaan karakter susunan gigi pada populasi Asia daratan dan Asia Kepulauan, termasuk diantaranya populasi di Indonesia. Ia mengklasifikasikan penemuannya ke dalam dua kelompok yaitu Sundadonty dan Sinodonty. Dari sini, Turner melihat bahwa susunan gigi ‘Sundadont’ yang tersebar di populasi berkarakter Australo-Papua, masih ada di keturunan populasi Asia Tenggara. Ini membantah teori sebelumnya yang mengatakan nenek moyang Asia Tenggara saat ini adalah dari Yunnan, karena jika demikian, karakter giginya seharusnya Sinodonty. Teori ini kemudian dikenal dengan Regional Continuity atau Local Evolution.

Di saat yang sama arkeolog Peter Bellwood dari Universitas Nasional Australia, bekerjasama dengan ahli linguistik Robert Blust dari Universitas Hawai’I menggunakan perbandingan bahasa untuk meneliti asal muasal manusia di Kepulauan Asia Tenggara. Mereka mengajukan teori yang menempatkan Taiwan sebagai tanah asal bahasa proto Austronesia. Ini memberi angin segar diangkatnya kembali Two-Layer Hypothesis.

Perempuan Bali yang berkarakter Austronesia. Photo by Cok Wisnu on Unsplash

Rekonstruksi bahasa didasarkan pada kosakata terkait angka 1–10, peralatan yang digunakan untuk melaut, tanaman pangan, hewan ternak, dan hal-hal yang berkaitan dengan keseharian.

Berdasarkan hal tersebut, Blust mengusulkan ekspansi geografis dimulai dari Taiwan, sebagai lokasi bahasa-bahasa tertua Austronesia, termasuk proto Austronesia, kemudian menyebar ke Filipina, Borneo, dan Sulawesi, dan akhirnya terpisah: satu percabangan menyebar ke arah Barat (Jawa), percabangan lainnya menyebar ke arah Timur (Oceania) melalui Kepulauan Bismarck.

Terobosan Genetika Modern

Perdebatan arkeolog, linguist, dan antropolog masih terus berlangsung ketika ilmu genetika modern berkembang pesat. Ternyata bukan hanya fosil, bahasa, dan artefak peralatan batu yang bisa membawa kita ke masa lalu. DNA, susunan basa nitrogen yang berpilin di dalam tubuh kita, juga bisa menceritakan apa saja yang terjadi di masa lampau. Oleh karenanya, dalam satu dekade terakhir, penelitian genetika populasi mencoba berkontribusi terhadap sejarah asal-usul manusia Indonesia, setelah sebelumnya didominasi oleh narasi berdasarkan antropologi ragawi dan arkeo-linguistik.

Penelitian genetika di Asia Tenggara baru berkembang setelah HUGO Pan-Asian Consortium (2009) berhasil melakukan analisis genom masyarakat Asia Tenggara. Riset ini menunjukkan bahwa komponen genetik kita ternyata terkait dengan bahasa yg kita gunakan(etnolinguistik). Misalnya, sekitar 50% komponen genetik Asia Timur bisa dijumpai pada populasi Asia Tenggara. Komponen genetik yang mendominasi Aborigin Taiwan (Ami dan Atayal) juga ditemukan mendominasi Nias dan Mentawai, kedua suku memiliki struktur bahasa yang mirip. Hal ini menginspirasi dilakukannya penelitian genetika populasi Indonesia dan Asia Tenggara lebih mendalam lagi.

Herawati Sudoyo (kanan) bersama Frilasita Aisyah YP di Lembaga Eijkman Jakarta. Eijkman memiliki peran penting dalam penelitian asal-usul manusia Indonesia. Image credit: Eijkman Institute via Frilasita Aisyah YP.

Pada tahun 2010, Tatiana M Karafet, seorang ahli genetika dari Universitas Arizona, bekerjasama dengan Herawati Sudoyo, ahli biologi molekuler di Lembaga Eijkman Jakarta untuk menyusun sejarah genetika populasi Indonesia berdasarkan garis paternal , yaitu dengan meneliti gen dari kromosom Y yang hanya diwariskan melalui ayah ke anak laki-lakinya. Dia kemudian mengidentifikasi sejumlah haplogrup, relasi kekerabatan yang didasarkan pada kesamaan pola mutasi kromosom Y.

Haplogroup bisa digunakan untuk menelusuri kekerabatan (paternal/maternal) karena penanda genetik ini tidak mengalami rekombinasi ketika terjadi perkawinan atau pembauran antar populasi.

Misalnya, seorang laki-laki saat ini akan banyak memiliki mutasi kromosom Y yang sama dengan nenek moyang mereka yang hidup 100–200 generasi yang lalu. Semakin jauh di masa lalu, semakin sedikit mutasi yang sama dengan nenek moyangnya, tapi relasi kekerabatan masih ada secara garis paternal. (Misal lelaki dengan haplogroup O1a-M119 akan memiliki mutasi yang sama dengan manusia Liangdao yang hidup 8300 tahun yang lalu. Relasinya: memiliki nenek moyang yang sama yang mungkin hidup lebih dari 10000 tahun yang lalu di China Selatan)

Karafet menemukan setidaknya ada empat gelombang migrasi manusia modern di Indonesia (Homo sapiens).

1. Gelombang pertama diasumsikan terjadi sekitar 45000 tahun lalu berdasarkan sebaran garis paternal haplogroup C-RPS4Y dan K2-M526, karakter garis paternal populasi Australo-Melanesian, nenek moyang orang Papua.

2. Gelomba kedua terjadi di zaman es (sejak 35000 tahun lalu hingga berakhir 8000 tahun lalu) terjadi migrasi pemburu dari daratan Asia Tenggara, membawa garis paternal basal haplogroup O (O1a dan O1b). Asumsi ini dipengaruhi oleh kemiripan alat batu pemburu Hoabinhian dan sumatralith.

3. Gelombang ketiga ditandai dengan ekspansi penutur Austronesia sejak 5500–4000 tahun lalu, menyebarkan garis paternal haplogroup O1a1-P203 dan O1a2-M110.

4. Gelombang terakhir terjadi dalam 2500 tahun terakhir, ditandai dengan mulai masuknya garis paternal dari India dan Timur Tengah (bersamaan dengan penyebaran agama Hindu dan Islam), dan kolonialis Eropa dalam 500 tahun terakhir yang menguras kekayaan alam Nusantara.

Empat gelombang besar migrasi manusia ke Kepulauan Indonesia. Image credit: Herawati Sudoyo

Penelitian yang menganalisis jalur maternal (garis ibu) juga mendukung skenario yg sama. Pada tahun 2013, Meryanne Kustina Tumonggor, peneliti Eijkman Institute yang saat ini menjadi mahasiswa doktoral di Universitas Arizona, meneliti susunan DNA mitokondria yang diwariskan melalui jalur maternal (dari ibu ke anak-anaknya, baik laki maupun perempuan). Secara umum, hasil penelitiannya menunjukkan adanya empat gelombang migrasi.

Arkeogenetik: Cerita dari Mereka Yang Mati

Ternyata skenario empat gelombang migrasi ke Indonesia masih harus diuji lagi. Sains terus bergerak maju. Pada tahun 2018, ilmuwan mulai melihat lebih jauh ke masa lalu dengan menganalisis DNA orang-orang yang meninggal ribuan tahun yang lalu. Jejak keberadaan awal manusia di Sumatra, Borneo, Jawa, Sulawesi, NTT, Papua Nugini dan Australia, sebelum 50000 tahun lalu. Suatu masa yang saat ini belum bisa diraih penelitian antropologi ragawi dan linguistic.

Fosil manusia modern (Homo sapiens) dari zaman prasejarah menyimpan informasi DNA yang menceritakan pola migrasi dan perbauran di masa lalu. Image credit: Didier Descouens, CC BY-SA 4.0. Wikicommons

Sejak tahun 2010, ilmuwan mulai menganalisis fosil Denisovan, jenis manusia purba yang ditemukan di pegunungan Altai Siberia. Dalam analisis ini, mereka menemukan bahwa sebagian gen manusia Denisovan ditemukan di kebanyakan genom orang Papua saat ini. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sekitar 46.000 tahun yang lalu nenek moyang Australo-Papuan dan Negrito Filipina bertemu southern Denisovan di Sunda (kemungkinan besar Homo soloensis).

Kemudian pada tahun 2018, Hugh McColl, ahli genetika dan bioinformatika dari Natural History Museum of Denmark, bersama kolega menganalisis genome DNA kuno dari tulang belulang seorang pemburu-pengumpul yang meninggal 4000–8000 tahun yang lalu di daerah Cina selatan dan Vietnam. Ia juga menganalisis DNA tulang belulang petani awal dari daratan dan kepulauan Asia Tenggara dari 500–4000 tahun yang lalu.

Penelitian McColl cukup mengejutkan. Ia menunjukkan bahwa 50000 tahun yang lalu, penghuni Kepulauan Nusantara sudah beragam. Ternyata bukan hanya nenek moyang Australo-Papuan yang menghuni wilayah Kepulauan Nusantara, tapi juga nenek moyang penduduk asli Andaman, pemburu Hoabinhian di daratan Asia Tenggara, Orang Asli Semang di Semenanjung Melayu, Negrito Aeta, Agta dan Ati di Filipina. Mereka semua berada dalam kelompok yang sama, basal Eurasia Timur bagian Selatan. Seiring perjalanan waktu mereka mulai berbeda secara genetik, seperti perbedaan antara Orang Papua dan Aborigin Australia mulai terjadi sekitar 37000 tahun lalu.

Ini tidak sesuai dengan interpretasi model Two-Layer maupun Regional Continuity yang diajukan oleh penelitian antropologi dan linguistik. Kedua teori ini berasumsi bahwa nenek moyang Australo-Papuan sebagai satu-satunya penghuni Kepulauan Nusantara. Namun ternyata sejak 50000 tahun yang lalu, Kepulauan Nusantara kita (yang saat itu berupa wilayah Sundaland) sudah dihuni oleh kelompok manusia yang beranekaragam, baik secara postur maupun genetika.

Saat ini, komponen genetik populasi basal Eurasia Timur tersebut lebih banyak ditemukan di Indonesia bagian Timur, meskipun sebagian komponen ini masih dimiliki orang-orang yang lahir di Indonesia bagian Barat seperti suku Batak, Dayak Lebbo’ di Kalimantan Timur, Jawa dan Bali. Ini membuktikan tidak ada proses ‘replacement’/pengusiran ketika penutur Austronesia datang ke Kepulauan Nusantara. Yang terjadi adalah perbauran (admixture).

Ketika Last Glacial Maximum terjadi 30000 hingga 11000 tahun lalu, — yaitu suatu periode di mana permukaan laut surut hingga 120 meter sehingga menyatukan Sumatra, Jawa, dan Borneo — , semua menjadi buram. Tidak banyak yang bisa diungkap dari perspektif genetika selain masing-masing populasi menjalani garis evolusi masing-masing.

Pada periode zaman es terakhir, benua asia, pulau Sumatra, Kalimantan, dan Jawa bersatu. Memungkinakan pergerakan manusia diantara pulau-pulau tersebut. Image credit: By Maximilian Dörrbecker (Chumwa) — Self made, using this map for the background, CC BY-SA 3.0.

Hipotesis pergerakan dua arah antara daratan dan kepulauan Asia Tenggara sangat mungkin terjadi. Ini bisa menjelaskan mengapa kita berbagi komponen genetic yang sama dengan orang-orang di Asia daratan seperti Vietnam, Thailand, dan Kamboja (Austroasiatik). Mereka adalah kelompok manusia yang membawa sistem pertanian padi ke Kepulauan kita. Pada periode ini juga Australo-Papuan bertemu dengan kelompok Denisovan lain sekitar 30000–15000 tahun lalu, di sebelah timur Wallace’s Line, sehingga hanya mereka yang mewarisi genomenya.

Memasuki periode Holocene (11000–3200 tahun lalu) terjadi divergensi, atau percabangan dua populasi, di Asia Timur. Mulai muncul Ancient Northern East Asia (ANEA) dan Ancient Southern East Asia (ASEA), batas kedua kelompok tersebut adalah Sungai Yangtze. Mereka ini dikenal oleh para antropolog dengan sebutan Mongoloids. Dua populasi ini mulai berbeda secara genetik sekitar 10000 tahun lalu. Analisis ini baru dipublikasikan tahun 2020 oleh banyak penelitian DNA kuno di Asia Timur, Tibet, dan Asia Tenggara termasuk dari Pasifik.

Dalam periode ini juga, muka laut naik cukup drastis, dikenal dengan ‘4.2k event’, sehingga banyak berdampak pada mereka yang tinggal di pesisir, seperti pesisir timur Asia. Populasi dengan komponen ASEA mulai migrasi ke segala arah mencari hunian baru. Taiwan adalah salah satu tujuan mereka. Dalam 500 tahun berikutnya mereka sudah mencapai kepulauan Mariana, Borneo, Sulawesi, New Britain, dan akhirnya sampai di Vanuatu dan Tonga sekitar 3000 tahun lalu. Peristiwa ini dikenal dengan ekspansi Austronesia.

Petani di Yogyakarta. Sistem pertanian padi di Jawa berasal dari populasi Austro-asiatik di daerah daratan Asia Tenggara. Photo by Sebastian Staines on Unsplash

Memasuki periode sejarah, rempah-rempah telah membawa para pedagang dari India, Persia, Arab dan Eropa ke kepulauan Asia Tenggara. Perpindahan dan perbauran terus terjadi selama ratusan tahun. Pada akhir abad 19, banyak orang Jawa, Cina, India berpindah ke Sumatra Timur sebagai kuli. Dan Orang Eropa berdatangan sebagai pengusaha tembakau. Praktik Tuan dan Nyai pun begitu subur. Hasilnya kita bisa melihat orang berkulit putih, dengan genetika mirip bangsa Eropa, namun berbahasa Jawa di Sumatra.

Semua hasil penelitian yang sudah kita jelajahi tadi menunjukkan bahwa keragaman genetik, budaya dan bahasa merupakan produk dari sejarah kompleks yang terjadi di masa lalu. ‘Admixture increases diversity’: percampuran genetik kelompok-kelompok yang berbeda meningkatkan keberagaman. Ini adalah paradigma yang harus dipegang ketika mengungkap sejarah manusia Indonesia.

Sekarang saatnya kembali ke masa sekarang dan menghargai perbedaan.

Dino Mozardien adalah sains komunikator yang tinggal di Bandung, Jawa Barat. Ia adalah pembaca independen riset antropologi fisik, genetika populasi, dan arkeogenetik di Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik.

Follow Dino di Twittter: @motherlander

Dan simak analisisnya di The Forgotten Motherland!!

--

--