Gambut Tertua di Kalimantan: Alarm untuk Mencegah Kebakaran Hutan

Reza Almanda
The Malay Archipelago
8 min readMar 18, 2021
Citra satelit menunjukkan kabut asap yang menyelimuti pulau Kalimantan di tahun 2019. Image credit: NASA image by Joshua Stevens (LANCE MODIS Rapid Response), Public domain, via Wikimedia Commons

Lahir dan besar di Pontianak, Monika Ruwaimana (30) adalah saksi sejarah salah satu bencana lingkungan terbesar di dunia. Pada tahun 1997, kebakaran hutan dan kemarau berkepanjangan di Kalimantan melepaskan kabut asap beracun yang menghantui seluruh Asia Tenggara. Setidaknya 527 orang meregang nyawa dan ratusan ribu penduduk mulai mengidap penyakit menahun seperti bronkitis, asma, dan infeksi saluran pernafasan (ISPA). Di daerah tempat tinggalnya, pasokan makanan berkurang drastis. “Pernah saya sebulanan makan nasi dengan minyak saja, kejadiannya sekitar tahun 1997/1998” kenangnya.

Bencana tersebut adalah harga yang harus dibayar atas pembukaan lahan besar-besaran di Kalimantan. Setahun sebelumnya, Presiden Soeharto membuka 1.6 juta hektar hutan gambut di Kalimantan untuk diubah menjadi sawah raksasa. Ribuan kilometer kanal irigasi dibangun dengan maksud mempermudah petani mengelola pertanian. Namun sayangnya, proyek tersebut gagal karena lahan gambut tidak cocok ditanami padi. Hutan gambut yang sudah terlanjur terbuka kemudian rusak karena air yang menjaga kelembabannya mengalir ke kanal-kanal irigasi, meninggalkan gambut kering yang mudah terbakar dan menghasilkan kabut asap.

Lebih dari dua dekade berlalu dan situasi menjadi semakin memburuk. Hutan hujan Kalimantan semakin menghilang dan lahan gambut yang terlantar sering kali terbakar. Tercatat dari 2001–2012 Indonesia telah kehilangan 4 juta hektar lahan gambut akibat kebakaran dan dari hasil kebakaran tersebut Indonesia juga turut menyumbang emisi karbon sebanyak 895 tCO2 ke atmosfer.Sedangkan data-data Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) KLHK mencatat sejak tahun 2001–2012 untuk wilayah kalimantan barat saja, telah kehilangan 2.1 juta hektar hutan dan gambut akibat ulah manusia. Akibatnya, bencana kebakaran lahan menjadi suatu hal rutin. Kejadian terakhir adalah di tahun 2019 ketika nenek Monika meninggal karena menghirup kabut asap. “Beliau terkena ISPA”, jelas Monika.

Hutan gambut yang terbakar di Kalimantan. Image credit: Muhammad Pasya Ramadhan, CC BY-SA 4.0 via Wikimedia Commons

Sekarang Monika merasa bahwa dirinya harus melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah yang tak kunjung usai ini. Sebagai dosen Ekologi, Ilmu lingkungan dan perikanan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, ia mendapatkan kesempatan untuk mempelajari lingkungan fisik kampung halamannya. Tentu saja isu gambut adalah perhatian utamanya.

Dibekali beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat, Monika mendapatkan kesempatan untuk meneliti gambut dalam penelitian S3 nya di Universitas Oregon. Untuk disertasinya, topik yang diambil Monika adalah sejarah kebakaran hutan, sebuah informasi yang diperlukan untuk mengembangkan metode untuk pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran hutan.

Penelitiannya dimulai dengan membandingkan kondisi gambut pesisir dan gambut dipedalaman di Kalimantan Barat. “Saya ingin mengetahui dan menyoroti sejarah pembentukan gambut pesisir dan pedalaman yang masih belum banyak dipelajari, Bagaimana ia berhubungan dengan perubahan iklim serta estimasi karbon yang disimpannya” ia berharap penelitannya ini dapat membantu masyarakat Kalimantan untuk memanfaatkan dan melindungi hutan secara berkelanjutan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, Monika bersama rekannya mulai mengumpulkan sampel gambut di lima lokasi, yaitu di Rasau Jaya, Taman Nasional Gunung Palung, Putussibau , Sentarum dan Ketapang. Contoh gambut pesisir diambil di Rasau Jaya, sedangkan gambut pedalaman diambil di Putussibau. Monika melaporkan bahwa gambut di Putussibau diduga memiliki kedalaman sekitar 18 meter atau setara gedung berlantai 6. Masing-masing sampel kemudian diteliti dan diperiksa melalui penanggalan karbon. Hasilnya salah satu sampel dari Putussibau ternyata berumur 47.800,”.

Umur dan kedalaman gambut memberikan kita informasi mengenai jumlah kandungan karbon yang disimpannya, semakin dalam artinya karbon yang tersimpan semakin besar. Jika gambut jenis ini dibakar, maka emisi karbon yang dikeluarkannya juga besar dan apinya sulit dipadamkan karena ada kemungkinan api menyebar di bawah gambut. Hal tersebut turut menyebabkan asap tebal dan butuh waktu lama (berbulan-bulan) untuk mematikan total api tersebu. Oleh karenanya, untuk mengelola lahan di Kalimantan dan mencegah kebakaran hutan di masa mendatang, pemerintah perlu memetakan umur dan kedalaman gambut, jelas Monika.

Apa itu gambut?

Hutan rawa gambut di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan. Photo by Barkah Wibowo on Unsplash

Berbeda dengan tanah-yang biasa kita lihat, gambut adalah jenis tanah yang terdiri dari tumpukan jasad pohon, hewan, lumut, dan rerumputan yang membusuk selama ribuan tahun. Pada lahan gambut yang sehat, kumpulan material organik yang setengah terurai ini terkurung dalam genangan air (waterlogged), menyebabkan karbon dalam jasad organik tersebut terperangkap di dalamnya.

Keberadaan gambut mempunyai peran penting dalam ekosistem, ia berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang besar. Ilmuwan memperkirakan lahan gambut dunia mampu menyimpan 550 gigaton karbon. Gambut juga berperan dalam mengurangi dampak banjir dan kemarau karena punya daya serap air yang tinggi. Selain itu, gambut juga menyediakan habitat untuk berbagai flora dan fauna serta membantu perekonomian masyarakat lokal dimana mereka bisa menggunakan gambut untuk membudidayakan ikan, mengembala ternak dan bertani.

Lahan gambut di Indonesia diperkirakan mampu menyimpan 57 gigaton karbon, dengan sebaran gambut diperkirakan seluas 20.6 juta hektar yang tersebar di wilayah seperti Kalimantan, Sumatra dan juga Papua. Sebagai gambaran Kalimantan barat memiliki 1.7 juta hektar lahan gambut (Ritung and Subagyo 2004, Ritung et al 2011), namun keberadaannya kian terancam oleh alih lahan dan kebakaran yang sering kali disebabkan oleh manusia.

Monika mengatakan proses konservasi gambut harus didasari oleh penelitian-penelitian yang valid. Namun sayangnya penelitian-penelitian ini terkendala birokrasi. Dalam proses penelitian awal saja, Monika menemui kendala karena proses perizinan yang rumit dan memakan waktu lama. Perizinan penelitian cukup rumit, terutama jika memiliki mitra peneliti asing. “Saya mengerti bahwa Indonesia ingin melindungi hak kekayaan hayati. Tapi mestinya ada lembaga khusus yang jelas untuk perizinan penelitian dan sampel. Kadang menyurat kementerian 6 bulan baru dibalas “ ujarnya.

Setelah masalah perizinan selesai, Monika Berserta rekan mulai membagi tim untuk mengambil sampel gambut, mereka mutuskan untuk menuju 5 lokasi tempat pengambilan sampel, 3 diantaranya Monika turun langsung ke lapangan. Menurut penuturan Monika, lokasi pengambilan sampel gambut bahkan ada di pinggir jalan dan ada juga yang mengharuskannya masuk ke dalam hutan sejauh 18 KM tepatnya di Taman Nasional Gunung Palung, Ketapang.

Lokasi Pengambilan sampel gambut
Kredit: Monika Ruwaimana et al

Setelah beberapa sampel berhasil didapatkan, ada satu lokasi yang rencananya menjadi tempat pengambilan sampel yaitu danau sentarum, wilayah ini termasuk kawasan yang dilindungi. Namun sayang rencana tersebut terpaksa diurungkan karena sulit mendapatkan izin, akhirnya tim memutuskan untuk pindah lokasi yaitu ke Putussibau didekat Kapuas Hulu. Sesampainya di lokasi mereka segera mengeluarkan peralatan seperti peat core untuk mulai mengambil sampel, akan tetapi proses pengambilan sampel menemui kendala karena alatnya tidak cukup untuk mencapai dasar gambut. Mereka tak menyangka gambut di lokasi tersebut begitu dalam. Alhasil mereka hanya mendapatkan sampel dari kedalaman 2–4 meter saja dengan perkiraan gambut ini punya kedalaman 17–18 meter atau setara gedung berlantai 6.

Setelah semua sampel gambut berhasil didapatkan, Monika kemudian memeriksanya di laboratorium dan melakukan carbon dating (penanggalan karbon) sebuah teknik yang digunakan untuk memeriksa umur material organik yang ada pada masing-masing sampel. Ia pun kemudian mengirimkan sampel gambut ke lab Woods Hole Oceanographic Institute untuk dianalisis selama dua bulan. Disinilah ia menemukan bahwa sampel dari Putusibau berusia sekitar 47.800 tahun atau bisa dibilang gambut tertua di dunia di daerah tropis, dimana penelitian lain menunjukkan umur gambut di Kalimantan Barat berkisar antara 3.000–7.000 tahun. Dalam korespondensinya dengan The Malay Archipelago, Paul J Hanson, ilmuwan di Oak Ridge National Laboratory di Amerika Serikat, mengatakan penemuan Monika sangatlah menarik karena “jauh lebih besar dari estimasi yang saat ini kami pelajari,” katanya.

Kartika Anggi Hapsari, peneliti gambut dari Universitas Goettingen, mengatakan penelitian Monika memiliki informasi yang penting bagi konservasi gambut di Indonesia. Penelitian tersebut, jelasnya, menunjukkan bahwa karakter lahan gambut di Kalimantan bisa berbeda-beda dalam satu lokasi karena nasib pengendapan bahan organiknya yang tidak seragam. “Dari sudut pandang saya, hal ini perlu dipertimbangkan dalam konservasi gambut agar tidak menggeneralisasi satu tindakan ke semua lokasi atau bahkan satu lokasi secara keseluruhan karena mereka mungkin merespons tindakan yang diterapkan secara berbeda,” jelas Kartika kepada The Malay Archipelago.

Masa depan gambut

Pemerintah Indonesia saat ini sedang mengembangkan kurang lebih 4 juta hektar lahan untuk dijadikan proyek food estate di Kalimantan. Sebagian diantaranya adalah lahan gambut yang dulu pernah rusak dan terdegradasi karena proyek pangan Suharto yang memantik api pertama kebakaran hutan di pulau tertua di Indonesia ini.

Menurut Monika, penemuan gambut tropis tertua ini bisa menjadi salah satu alasan untuk pemerintah memperluas kawasan perlindungan gambut, “Sebaiknya lahan gambut [yang masih perawan] jangan disentuh-sentuh, biarkan begitu saja sebagaimana adanya,” ungkap Monika. Ia juga mendesak pemerintah untuk melindungi lahan yang unik dan penting ini.

“Konservasi gambut di daerah tropis sangatlah penting. Hal ini karenakan perubahan fungsi lahan dan kebakaran hutan yang disebabkannya bukan hanya mempengaruhi kondisi lokal, tetapi juga turut memperparah isu perubahan iklim secara global,” jelas Randy Kolka, peneliti ilmu tanah di USDA di Minnesota, Amerika Serikat, kepada The Malay Archipelago. Kebakaran lahan di tahun 2015 tidak bisa dibandingkan dengan bencana kebakaran sebelumnya di planet bumi, ujar Randy. Dalam penelitiannya, Monika memperkirakan bahwa untuk setiap hektar gambut yang hilang dapat melepaskan 2800 Mg C ke atmosfer.

Selain karena pentingnya catatan historis dan karbon yang tersimpan di dalamnya, gambut sangat penting untuk dilindungi karena jika terjadi kebakaran pada gambut yang dalam, api tak hanya menyebar dipermukaan tetapi juga masuk ke dalam gambut. Hal ini menimbulkan asap tebal yang sulit untuk dipadamkan. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera memetakan kedalaman jenis gambut untuk kepentingan penanggulangan kebakaran lahan dan usaha konservasinya.

“Mengukur kedalaman gambut adalah hal yang krusial,” ujar Hanson ilmuwan di Oak Ridge National Laboratory di Amerika Serikat. Sejauh ini, pemetaan data gambut dilakukan oleh Balai Besar Sumberdaya Pertanian (BBSDLP) menggunakan citra satelit. BBSDLP pun mengatakan bahwa rata-rata kedalaman di Indonesia adalah 3 meter. CIFOR Internasional Forestry Research (CIFOR) di Bogor juga mengembangkan peta gambut interaktif Global Wetlands yang di dasarkan oleh data satelit , Namun menurut Monika, keberadaan peta estimasi ini tetap memerlukan pemeriksaan lapangan (ground-truthing) karena kemungkinan data estimasi kedalaman gambut dapat berbeda. Seperti yang Monika temukan di area studinya di Kapuas Hulu, kedalaman gambut menembus jauh dari apa yang diperkirakan BBSDLP.

Monika berharap pemerintah segera melindungi lahan gambut agar bencana kebakaran tidak terjadi lagi di masa depan. Namun dalam webinar World Soil Day di USU Januari lalu, Yiyi Sulaeman, peneliti gambut dari BBSDLP, mengatakan bahwa mengelola lahan pertanian dengan teknologi yang tepat, — seperti yang selama ini direncanakan oleh pemeintah dalam program food estate — , merupakan salah satu bentuk perlindungan dan cara mencegah kebakaran hutan. “Kalau kita sering kunjungi (gambut) tidak akan terbakar karena begitu ada letupan, langsung kita tutup,”

Pemerintah, melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) mengklaim bahwa 3.2 juta hektar lahan gambut telah di restorasi dalam 5 tahun terakhir. Namun menurut laporan Yayasan Madani, pemerintah juga akan membangun food estate di atas 1.4 juta hektar lahan gambut, 582.000 hektar diantaranya berada di kawasan lindung. Daerah ini, menurut Monika, adalah reservoir karbon jangka panjang dan penyangga hidrologi yang membutuhkan konservasi dan restorasi segera.

--

--