Mampukah Syariat Islam Melindungi Ekosistem Leuser?

Dyna Rochmyaningsih
The Malay Archipelago
7 min readJul 25, 2022

Oleh: Dyna Rochmyaningsih

Sebuah masjid berkubah putih menjulang di tengah Bener Meriah, salah satu kabupaten yang berada di Dataran Tinggi Gayo. Dari jalan raya yang menanjak, kabut menyelimuti bukit-bukit hutan di kejauhan, menambah kesan sakral yang berselimut antara masjid dan hutan-hutan perawan itu. Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menjalankan syariat Islam, adalah rumah bagi kepingan terbesar hutan hujan yang tersisa di pulau Sumatra.

Kepingan ini, yang dinamai ekosistem Leuseur, terbentang megah sepanjang ratusan kilometer dari batas selatan (dan sebagian wilayah Sumatra Utara) sampai batas utara Aceh. Sekitar setengah populasi gajah Sumatra yang tersisa bisa ditemukan disini. Demikian juga dengan populasi harimau , orangutan Sumatra, dan berbagai spesies hewan dan tumbuhan lainnya. Mereka menjadikan ekosistem Leuser sebagai benteng pertahanan terakhir di kala hutan dataran rendah di pulau Sumatra hampir terbabat habis untuk perkebunan sawit dan tanaman industri.

Ekosistem Leuser di kejauhan. Dilihat dari perkebunan sawit di Aceh Utara. Image credit: Dyna Rochmyaningsih

Di atas peta, ekosistem Leuser berada tepat di jantung provinsi Aceh, memberikan sumber air bersih bagi 13 kabupaten yang ada di sekelilingnya. Di setiap kabupaten inilah, mahkamah-mahkamah syar’iyah berdiri. Sejak perdamaian pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005, mahkamah ini berwenang untuk memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar apa-apa saja yang diatur di dalam qanun, sebuah perundang-undangan syariat Islam yang dibuat oleh pemerintahan Aceh. (Qanun Jinayah, peraturan yang menentukan hukuman cambuk bagi pelaku zina dan kejahatan seksual adalah salah satu yang paling sering disorot)

Ekosistem Leuser (dalam garis biru) adalah daerah hutan hujan terluas yang tersisa di Sumatra, ketika hampir seluruh hutan perawan sudah tergantikan dengan sawit (area kuning). Image credit: Nusantara Atlas

Dengan otoritas ini, Aceh memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan syariat Islam untuk melindungi lingkungan. Dalam lima tahun terakhir, qanun tentang kehutanan (2016) dan satwa liar dikeluarkan (2019). Tapi, mampukah instrumen legal ini melindungi ekosistem Leuseur dan satwa liar yang berada di dalamnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya berkunjung ke daerah perbatasan ekosistem Leuseur di daerah Aceh Utara, mengunjungi mahkamah Syar’iyah, dan berbincang dengan beberapa konservasionis dan aktivis lingkungan di daerah tersebut. Alih-alih implementasi konsep Islamic environmentalism, saya justru menemukan bahwa politik dan sejarah yang melekat pada hutan-hutan Aceh lah yang memegang kunci kelestarian kepingan surga yang tersisa ini.

***

Masjid Raya di Lhokseumawe. Image credit: Dyna Rochmyaningsih

Konsep konservasi dan pelestarian lingkungan tercatat dengan jelas dalam Al Qur’an. Dalam keyakinan Islam, Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Sejumlah cendikiawan Muslim mengartikan istilah ini sebagai “wakil Tuhan” yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan melestarikan bumi. Beberapa ayat di Al Qur’an secara eksplisit melarang manusia untuk merusak ciptaan Tuhan di bumi. Kitab ini pun dengan gamblang menjelaskan bahwa kerusakan alam di darat dan di laut pun terjadi karena perbuatan manusia. Berangkat dari konsep ini, Jeanne McKay di Universitas Kent dan Fachruddin Mangunjaya, ahli enviromentalisme Islam di Universitas National (UNAS) Jakarta menekankan pendapat para ahli etika Muslim bahwa “konservasi lingkungan adalah salah satu tujuan tertinggi dalam hukum (syari’at) Islam,”

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦

‘Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”

(QS: Al A’raf:56)

Aceh, sebagai provinsi yang lebih dari 60 % areanya terdiri dari hutan, memiliki kekuatan hukum untuk mengejewantahkan ide ini.

Pada tahun 2016, pemerintah Aceh menerbitkan Qanun Aceh Nomor 7 untuk mengatur tentang kehutanan di provinsi serambi mekkah. Namun ada beberapa hal yang tidak jauh berbeda dengan pengelolaan hutan provinsi-provinsi lain di Sumatra. Dalam peraturan setebal 59 halaman ini, masih terlihat jelas bahwa pemerintah Aceh masih merujuk pada definisi tata ruang pemerintah pusat. Berbagai jenis hutan (seperti hutan lindung, hutan adat, dan hutan produksi) dipaparkan. Namun penjelasan rumit ini rentan melegalkan pembukaan lahan di kawasan hutan yang terdaftar sebagai kawasan non-hutan di atas peta tata ruang.

Qanun ini juga mengatur hukuman bagi orang ataupun korporasi yang melanggar peraturan kehutanan (pasal 68–69). Dalam pasal 130, disebutkan bahwa mereka dikenakan sanksi dan denda “sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (yang lain)”. Namun, untuk pelanggaran yang tidak ditemukan di peraturan perundangan yang lain, “berdasarkan Qanun ini, pelaku diancam pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak 50 juta rupiah. Denda yang sedikit dibandingkan kerusakan lingkungan yang dihasilkan. Namun begitu, saya penasaran untuk melihat implementasi Qanun ini di Mahkamah Syar’iyah. Akankah setegas hukuman Qanun jinayah?

Batas-batas ekosistem Leuser. Sumber: Yayasan HAkA

***

Pagi itu, saya mengunjungi Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon untuk melihat implementasi qanun kehutanan Aceh di lapangan. Setelah menunggu beberapa saat, saya dipersilahkan masuk untuk menemui Riki Dermawan, salah satu hakim disana. Saya heran dan terkejut bahwa ternyata Riki, yang baru pindah dari Bengkulu 3 tahun lalu, tidak tahu mengenai Qanun kehutanan yang dimaksud.

“Saya belum pernah dengar ada qanun ini,” katanya. Selama ini, menurut Riki, apa yang menjadi kewenangan MS Lhoksukon adalah hal-hal terkait dengan perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan juga kasus-kasus yang diatur dalam qanun jinayah. Mahkamah Syar’iyah di Aceh, tuturnya, bertindak seperti halnya pengadilan agama di provinsi-provinsi lain, hanya saja ditambah kasus-kasus jinayah seperti zina, pelecehan seksual, dan perilaku seks sesama jenis. Kejahatan lingkungan, katanya, belum pernah ditangani oleh mahkamah syar’iyah.

Sekitar 1.5 jam perjalanan dari Lhoksukon, dan setelah satu jam jalan kaki di atas jalan berlumpur di perkebunan sawit milik pemerintah di desa Cot Girek, saya melihat bukit-bukit hutan yang berada di batas utara ekosistem Leuseur. “Bukit itu gak lama lagi jadi botak,” tutur Yasmin, seorang perempuan paruh baya yang bertani di perbatasan hutan dan perkebunan sawit itu. Yang memiliki lahan-lahan itu, katanya, adalah “bapak-bapak” (pejabat) yang mungkin sadar akan keberadaan qanun kehutanan itu.

Sebuah bukit (kanan) yang ditengarai akan dibuka untuk perkebunan di kecamatan Cot Girek. Image credit: Dyna Rochmyaningsih

“Pengaruh syari’at Islam ke penanganan konservasi lingkungan di Aceh itu nol,” ujar Zaikyattudin Syah, kepala Conservation Research Unit (CRU) di Cot Girek, Aceh Utara. Implementasi syariat Islam di Aceh, yang mulai diberlakukan pasca perdamaian GAM dan pemerintah Indonesia, justru berjalan paralel dengan pembukaan-pembukaan lahan.

Berdasarkan analisis citra satelit yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim, GIS manager dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HakA), ekosistem Leuser di provinsi Aceh sudah kehilangan 49.515 hektar hutan dalam periode 2015–2021. Sedangkan data dari Nusantara Atlas, sebuah online platform yang dikembangkan oleh oleh ahli ekologi landskap David Gaveau, menunjukkan adanya 105.177 hektar hutan yang hilang di Leuseur sejak tahun 2001. Fakta semakin terbukanya hutan di dataran rendah mempertajam masalah konflik manusia dan satwa, terutama gajah Sumatra, ujar Zaikyatuddin.

Pembukaan lahan di perbatasan ekosistem Leuser di Cot Girek. Image credit: Fieni Aprilia

Husna, aktivis lingkungan dari LSM Suara Hati Rakyat (Sahara) yang berkantor di Lhokseumawe, berpendapat bahwa politik dan sejarah Aceh justru memegang peranan lebih kuat. Dalam hal perlindungan lingkungan dan konservasi, Aceh tiada berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Keruwetan pengelolaan tata ruang dan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah menjadi hambatan untuk menuju pengaturan yang jelas dan adil. Namun dalam kasus Aceh, sejarah mengambil peranan kuat.

Perbukitan Leuser dibalik perkebunan sawit milik BUMN. Image credit: Fieni Aprilia

Perbukitan ekosistem Leuseur di Aceh ditengarai sebagai markas GAM pada masa lalu. Banyak orang yang takut untuk membuka lahan disana karena alasan keamanan. Tedjo (bukan nama sebenarnya), seorang transmigran yang tumbuh besar di Aceh Utara dan pernah bekerja di sektor perkebunan, mengingat bagaimana karyawan-karyawan perkebunan gelisah akan ancaman penculikan. Salah satu pejabat kantor perkebunan bahkan mati ditembak, ujarnya. Namun pasca perdamaian, kesempatan untuk membuka lahan terbuka lebar. Pemerintah dan mantan kombatan GAM justru yang memegang peranan kunci dalam perubahan lahan ini.

Pada bulan Februari tahun ini, misalnya, pemerintah mengalokasikan 8000 hektar lahan untuk dibagikan pada mantan kombatan GAM. Di Aceh Utara, Partai Aceh (yang merupakan perpanjangan satuan politik dari GAM), memenangkan pemilu dan memegang kendali pemerintahan. Pada tahun 2016, untuk menekan laju deforestasi, kabupaten ini memberlakukan moratorium sawit untuk perusahaan. “Kami tidak lagi memberi izin pada perusahaan dan tidak lagi memberi bibit pada masyarakat,” ujar Lilis Indriyani, Kepala Dinas Perkebunan, Peternakan, dan Penyakit Hewan di Aceh Utara. Namun Lilis tidak menafikan pembukaan lahan masih berlangsung di Cot Girek. “Lahan-lahan yang dibuka itu bukanlah hutan,” katanya.

Sementara itu, Atlas Nusantara memperlihatkan adanya deforestasi yang signifikan di Cot Girek dan Lubuk Pusaka dalam beberapa tahun terakhir. Trend yang sama bisa dilihat dalam kawasan penyangga lain yang berada di sekeliling Leuseur.

Pembukaan lahan di desa Cot Girek dan Leubok Pusaka (sebagian termasuk ke dalam kawasan ekosistem Leuser) periode 1 Januari 2021–5 Juli 2022. Image credit: Nusantara Atlas

“Syariat Islam itu cuma lipstick,” ujar Tedjo. Ia, yang dulu menyaksikan harimau sumatera berkeliaran di pinggiran hutan, kini melihat hutan-hutan Leuseur yang menghilang menjadi ladang dan perkebunan sawit. Menurutnya, ini bukanlah tentang syariat Islam, namun tentang mereka yang berkuasa di Aceh.

Tanpa penguatan dalam ranah pemerintahan, konsep environmentalisme Islam hanya bisa bergerak dalam ranah individu. Konsep ini bisa jadi ada dalam hati seorang konservasionis yang berjuang melindungi gajah Sumatera, ataupun petani yang terdesak melantunkan adzan ketika gajah liar berdiri gagah di hadapannya. Namun keesokan harinya dan seterusnya, mereka akan bekerja keras lagi dan lagi sampai mereka yang berkuasa juga turut tersentuh hatinya oleh ayat-ayat Yang Maha Kuasa.

*Liputan untuk artikel ini didanai oleh Rainforest Journalism Fund (RJF) bekerjasama dengan Pulitzer Center.

--

--