Sebiji Brondolan dan Hilangnya Rimba

Sunarto Sunarto
The Malay Archipelago
11 min readJun 21, 2021

Sebuah analisis dan refleksi mengenai industri sawit yang mengubah bentang alam Nusantara.

Tandan buah segar dan brondolan sawit (Foto: Sunarto)

Oleh Sunarto*

*) Research Associate, Institute for Sustainable Earth and Resources, Universitas Indonesia | Twitter: HikeIndonesia

“Sebiji brondolan, nyawa bagiku”

Frasa sarat makna itu tertulis tegas pada sebuah papan kayu sederhana di sebuah perkebunan sawit rakyat di Indragiri Hulu, Riau. Brondolan adalah istilah untuk biji atau buah sawit yang telah terlepas dari tandannya.

Itulah kira-kira gambaran hubungan kebanyakan petani rakyat dengan komoditas tersebut saat ini.

Tanaman ini bukanlah komoditas perkebunan biasa. Tumbuhan bernama ilmiah Elaeis guineensis ini lebih dari sekedar penyambung hidup bagi mereka. Dengan asumsi rata-rata produksi 2 ton tandan buah segar (TBS), dan harga TBS Rp2500 per kg, sawit dapat menghasilkan Rp5 juta per hektar per bulan. Setelah dikurangi biaya produksi, petani masih mendapat sekitar Rp3–4 juta, tentu tergantung berbagai kondisi. Meski biaya produksinya relatif besar, angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan misalnya hasil bersih dari perkebunan karet yang dilaporkan hanya sekitar Rp1 juta per hektar per bulannya.

Oleh karenanya, para petani sawit sehari-hari memang bergelut dan berpeluh demi memastikan tanaman sawit mereka tumbuh subur dan berbuah lebat. Dalam suatu siaran sebuah stasiun radio yang populer di kalangan kaum muda Kota Pekanbaru, pernah terdengar dialog interaktif penyiar dan pendengar yang salah satu penggalannya menyebutkan bahwa kepemilikan lahan sawit adalah sesuatu yang dipandang oleh calon mertua. Itu setara atau bahkan dapat mengalahkan gelar akademik dan jabatan.

“Bagi orang luar Riau ini mungkin terdengar aneh, tapi itu kenyataan yang saya amati dan alami sendiri” ujar Harry Kurniawan, 42, pria lajang dari Pekanbaru. “Kalau sudah punya sepuluh hektar lahan sawit, sudah dianggap mapan, tak diragukan lagi oleh calon mertua” imbuh alumni jurusan teknik sipil salah satu perguruan tinggi terbesar di provinsi Riau itu.

“Sebiji Brondolan, Nyawa Bagiku” (Foto: arsip Harry Kurniawan)

Cerita Harry menggambarkan hubungan yang sangat melekat antara masyarakat dan kelapa sawit, sebuah spesies tumbuhan asal Afrika yang telah mengubah wajah Kepulauan Nusantara dalam satu abad terakhir. Namun, cerita itu hanyalah satu dari berbagai dimensi yang melingkupi industri sawit di Indonesia.

Tidak sedikit kawasan hutan yang dibuka, dengan atau tanpa izin, karena sawit. Spesies ini juga menghilangkan biodiversitas hutan hujan tropis atau kawasan kebun campuran (agroforest) di Sumatra, Kalimantan, dan terakhir Papua. Tak jarang, masyarakat adat pun terpinggirkan. Beberapa spesies mamalia besar seperti gajah, harimau, dan orangutan pun terancam habitatnya.

Hal ini menyebabkan perluasan kampanye anti-sawit. Di Eropa, label “palm oil free” pun merupakan salah satu bentuk kampanye yang digunakan, menyasar para konsumen dengan image sawit sebagai tanaman perusak lingkungan.

Namun, studi mengenai efektivitas sawit dalam menghasilkan minyak nabati dibandingkan beberapa komoditas lain menunjukkan bahwa penolakan mentah-mentah seperti itu bukanlah solusi yang terbaik. Alih-alih menolak sawit, mendorong perbaikan tata kelola industri komoditas ini dan memastikan keseimbangan ekosistem adalah cara yang lebih tepat dilakukan.

Dalam artikel ini, saya akan ajak pembaca untuk bersama-sama menjelajahi dilema-dilema ini dan menunjukkan bahwa sawit yang berkelanjutan adalah jalan tengah yang perlu ditempuh untuk memastikan kelangsungan ekonomi masyarakat dan pemulihan kondisi lingkungan.

Mari kita mulai dari aspek sejarah.

Asal-muasal sawit

Pemanfaatan kelapa sawit oleh manusia sebagai sumber minyak diperkirakan telah dilakukan di tempat asalnya di Afrika Barat sejak lebih dari 5 ribu tahun yang lalu. Ya, itu 3000 tahun sebelum Masehi. Pda tahun 500 SM, masyarakat Afrika Barat mengembangkan budidaya kelapa sawit dalam skala yang cukup luas dengan praktik pembakaran hutan (slash and burn). Pengembangan sawit ketika itu dipercaya juga telah menjadi salah satu faktor pendukung migrasi penduduk dan pengembangan pertanian serta peradaban di sana ketika itu.

Di era penjajahan dan perbudakan, orang-orang Eropa mulai membawa sawit keluar dari Afrika. Pada abad 18, kelapa sawit sampai ke tangan ahli botani Perancis bernama Nikolaus Joseph von Jacquin. Nikolaus mendeskripsikan sawit sebagai tumbuhan monokotil, yaitu kelompok tumbuhan berbiji tunggal tidak terbelah seperti yang dimiliki rumput dan bambu. Dalam publikasi berjudul Selectarum Stirpium Americanarum Historia, Jacquin mengklasifikasikan sawit ke dalam keluarga palem-paleman (Arecaceae).

Bunga jantan, betina dan buah sawit (Foto: Sunarto)

Berbeda dengan jenis palem lainnya, sawit memiliki buah yang dapat menghasilkan banyak minyak. Ada dua jenis minyak yang dihasilkan: Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). Jenis yang pertama, didapat dari daging buah yang berwarna kemerahan biasa digunakan sebagai minyak goreng. Sedangkan jenis kedua, yang didapat dari inti biji sawit yang berwarna putih biasanya digunakan dalam proses pembuatan sabun, kosmetik dan beberapa jenis produk makanan seperti campuran mentega, coklat, dan krimer.

Potongan buah sawit menunjukkan bagian exocarp, mesocarp dan endocarp (Foto: Sunarto)

Tak sekedar untuk mensuplai kebutuhan para budak, sawit akhirnya berhasil memikat pasar Eropa. Kebetulan pada saat itu terdapat peningkatan permintaan terhadap lemak dan minyak. Saat itu, minyak sawit sangat dibutuhkan untuk beragam keperluan mulai dari bahan pelumas, bahan baku beragam manufaktur, bahan bakar lampu penerang, serta bahan pembuatan lilin hingga sabun. Sebelum tersediannya kelapa sawit, kebutuhan minyak dan lemak umumnya diperoleh dari bahan hewani seperti babi, sapi, paus dan ikan.

Kebutuhan pasar Eropa pada awal abad 19 hanya dipasok dari Afrika yang umumnya mengandalkan tumbuhan sawit liar dan perkebunan skala kecil. Namun permintaan pasar Eropa terhadap minyak sawit meningkat setelah mereka mengetahui ragam produk yang bisa dihasilkan darinya.

Untuk memenuhi permintaan ini, pengusaha Belanda mulai membawa sawit ke Hindia Belanda (Indonesia). Pada tahun 1848, empat bibit sawit ditanam di Kebun Raya Bogor. Beberapa tahun kemudian (1850–1860), anakan dari tanaman sawit ini kemudian ditanam sebagai tanaman hias di Deli, Sumatra Timur, sebuah daerah yang mengelilingi kota Medan saat ini. Tak disangka, sawit tumbuh subur di sana. Pada tahun 1910, sawit mulai dibudidayakan dalam skala besar di Deli dan kemudian meluas ke daerah lain di Aceh dan Sumatra Utara (5000 hektar). Pada masa itu juga, varietas Deli-Dura dari tanaman sawit dikembangkan.

Bentang Alam yang Berubah

Di era kemerdekaan, industri sawit terus berkembang. Selain Aceh dan Sumatra Utara, sawit mulai meluas ke selatan pulau, yaitu ke arah Riau dan Jambi, dimana sekitar 50% daerahnya dahulu berupa hutan alam.

Perkebunan sawit pun meluas ke Kalimantan dan tak jarang menggunakan lahan gambut yang menyimpan jutaan ton karbon. Dalam webinar Sains Kelapa Sawit, Suria Darma Tarigan, ahli ilmu tanah di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan bahwa pembukaan lahan gambut untuk pertanian yang dilakukan dengan cara apapun akan memicu emisi yang tinggi. Di Papua, sawit juga mulai menggantikan hamparan hutan perawan yang menjadi habitat satwa-satwa unik dan endemik seperti burung cenderawasih.

Dengan persepsi dan niat memperoleh keuntungan finansial yang lebih besar, sawit telah banyak ditanam menggantikan hutan dan kebun campuran (Foto: Sunarto)

Menurut analisis Badan Informasi Geospasial (BIG), luasan perkebunan sawit di Indonesia pada tahun 2018 telah mencapai 17,9 juta hektar. Daerah dengan perkebunan sawit yang luas meliputi Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Aceh, dan Jambi. Luasan ini lebih dari 25 kali luas Pulau Bali. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sebagian besar perkebunan sawit (54.42%) adalah perkebunan swasta skala besar, diikuti dengan perkebunan rakyat (41.35%), dan sisanya perkebunan besar negara (4.23%).

Sayangnya tidak sedikit dari luasan tersebut yang tergolong ilegal, termasuk yang ditanam di kawasan hutan seluas 3,47 juta hektar atau setara 6 kali luas Pulau Bali. Yang mengenaskan, seperti beberapa kali dilaporkan Eyes on the Forest dan sumber lain, pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh petani kecil, namun juga korporasi.

Perluasan perkebunan sawit merupakan salah satu penyebab utama berkurangnya hutan alam di Indonesia (Foto: Sunarto)

Piado rimbo, piado bungo”

Ada banyak harga yang harus dibayar dari perluasan sawit ini dan yang harus membayar lebih adalah masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Menurut Irma Tambunan, jurnalis Kompas, Orang Rimba menjadi komunitas yang paling terdampak. “Sebab, ruang hidup mereka beralih fungsi menjadi monokultur sawit,” ujarnya. Orang Rimba sebelumnya hidup menjelajah dan bergantung pada kelestarian sekitar 3 juta hektar hutan dataran rendah di Jambi. Namun sebagian besar wilayah hidup mereka kini telah berganti menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan khususnya sawit.

Dalam laporan “Lenyapnya Bunga-Bunga Rimba”, Irma menceritakan bagaimana Orang Rimba menyaksikan masuknya puluhan alat berat ke dalam hutan di tahun 1970–80an. Bagi mereka, suara mesin terdengar lebih dahsyat dari auman harimau. Warga berlarian ketakutan. Orang Rimba terusir pembukaan sawit. Dalam bukunya Menjaga Rimba Terakhir, Mardiyah Chamim, jurnalis Tempo, mengatakan bahwa mengganti hutan dengan sawit adalah penghancuran budaya dan sumber penghidupan Orang Rimba karena “Piado rimbo, piado bungo. Piado bungo, piado dewo” (Tak ada hutan, tak ada bunga-bunga. Tak ada bunga, tak ada berkah dalam hidup.”

Sejauh mata memandang: di banyak wilayah khususnya di Sumatera dan Kalimantan, mudah ditemukan perkebunan sawit yang luas (Foto oleh Sunarto)

Namun industri sawit tampaknya tak terlalu menghiraukan keluhan masyarakat adat. Peningkatan jumlah populasi dunia di masa modern meningkatkan permintaan terhadap minyak nabati yang serba bisa, dan sawit adalah jawabannya. Minyak sawit bisa digunakan untuk pembuatan makanan dan minuman, bahan pembersih, kosmetik dan perawatan tubuh, bioenergi dan bahan bakar, pakan ternak, pupuk, obat-obatan serta berbagai kebutuhan industri lainnya. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa minyak sawit digunakan pada sekitar 50% produk konsumen yang dipasarkan sehari-hari.

Hasil penelusuran menunjukkan bahwa minyak sawit digunakan pada sekitar 50% produk konsumen yang dipasarkan sehari-hari (Foto: Sunarto)

The Trade-off

Perubahan hutan menjadi perkebunan sawit di satu sisi memang dapat meningkatkan nilai ekonomi dari biomassa yang dapat dipanen. Namun di sisi lain, proses tersebut memberi konsekuensi mahal bagi kondisi lingkungan. Hal ini dibuktikan oleh sebuah penelitian multi-disiplin yang melibatkan banyak ilmuwan dari berbagai negara,-termasuk di antaranya Universitas Lund di Swedia dan juga Universitas Jambi.

Penelitian ini menganalisis perubahan fungsi ekologi di dataran rendah Sumatra dengan mengamati beberapa ekosistem yang berbeda: hutan hujan, area karet rakyat (yang bercampur dengan spesies hutan lain), perkebunan karet, dan perkebunan sawit. Hasil penelitian menunjukkan beberapa aspek lingkungan, — seperti tingkat keanekaragaman hayati, kualitas tanah, biomasa tersimpan, serta kestabilan iklim — -menurun di perkebunan monokultur seperti karet dan sawit.

Perbandingan biomasa dipanen, keragaman hayati, simpanan karbon dan aspek ekologi lainnya antara hutan alam dan beberapa tipe perkebunan termasuk sawit. Sumber ilustrasi: Clough et al. 2016 https://www.nature.com/articles/ncomms13137

Selain miskin jenis, perkebunan sawit juga sangat sederhana struktur vegetasinya. Area ini diwarnai dominasi species tunggal, dengan struktur usia serta bentuk yang seragam. Tidak banyak relung yang terbentuk disini sehingga hanya sedikit spesies lain yang bisa bernaung di bawahnya.

Pupuk kimia yang digunakan dalam perkebunan sawit skala besar juga berdampak negatif pada kualitas air dan proses kimiawi yang terjadi di dalam tanah. Pemupukan adalah salah satu upaya penting dalam budidaya sawit karena tanpanya, kesuburan tanah akan berkurang dalam beberapa tahun setelah pembukaan lahan. “Pupuk nitrogen dalam perkebunan sawit diasosiasikan dengan peluruhan nutrien yang memiliki dampak negatif ke kualitas air tanah,” tulis Clough. Sejumlah masyarakat dalam penelitiannya melaporkan kelangkaan air untuk mencuci, memasak, dan mandi.

Dengan karakteristik seperti itu, pembukaan sawit di daerah tertentu, — seperti ruang hidup masyarakat yang bergantung pada hutan, habitat kunci satwaliar, sempadan sungai, lahan gambut dan perbukitan — - dapat meningkatkan resiko konflik dan bencana.

Sebagian gajah sumatera saat ini masih dapat bertahan pada kawasan habitat yang telah berubah menjadi perkebunan sawit, namun setiap saat mendapat berbagai tekanan dan pengusiran. (Foto: Sunarto)

Mengkaji Dilema

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sawit merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling banyak memicu perdebatan. Ada dua kutub yang tampaknya sangat sulit untuk memahami satu sama lain. Di satu sisi adalah pihak pendukung yang mengembangkan berbagai argumen, mulai dari manfaat ekonomi hingga nasionalisme. Di kutub lain ada yang berargumen tentang dampak buruknya bagi kesehatan dan lingkungan.

Masyarakat dituntut untuk kritis melihat kedua sisi dengan argumennya masing-masing. Dari masing-masing sisi, memang ada fakta yang tidak dapat dipungkiri. Namun, tak sedikit juga informasi yang terdistorsi atau bias karena terkait berbagai kepentingan.

Di satu sisi, minyak sawit jelas sangat dibutuhkan dan nyaris tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan sehari-hari masyarakat modern saat ini.

Pada tahun 2019, permintaan pasar global terhadap minyak sawit dilaporkan mencapai sekitar 75 juta ton. Dari jumlah tersebut, Indonesia dengan produksi CPO mencapai lebih dari 48 juta ton, telah memasok lebih dari separuhnya.

Produksi CPO Indonesia tahun 2019 (Sumber Ilustrasi: https://www.bps.go.id/publication/2020/11/30/36cba77a73179202def4ba14/statistik-kelapa-sawit-indonesia-2019.html)

Permintaan terhadap sawit juga terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia. Dengan kemampuannya menghasilkan minyak nabati per hektarnya yang dilaporkan berkisar 3–8 kali lipat dibandingkan tanaman lain, sawit masih menjadi sumber dan penghasil minyak nabati yang sulit ditandingi.

Dibandingkan minyak nabati dari jenis tumbuhan lain seperti kanola, jagung, kedelai dan bunga matahari, minyak sawit mengandung lebih banyak lemak jenuh yang lebih tahan dalam proses oksidasi yang terjadi saat proses menggoreng. Sawit juga disebutkan tidak mengandung lemak trans, jenis lemak yang saat ini dinilai paling buruk dan berbahaya bagi kesehatan.

Selain sebagai minyak goreng dan konsumsi manusia, minyak sawit saat ini juga umum digunakan sebagai biofuel. Pemerintah Indonesia bahkan terus berupaya meningkatkan porsi campuran bioenergi pada bahan bakar yang dijual di SPBU, yang salah satu bahan baku utamanya adalah minyak sawit.

Di lain sisi, dampak industri sawit pada penurunan kualitas lingkungan tidak mungkin diabaikan. Penurunan kualitas lingkungan oleh ekspansi sawit terjadi utamanya karena model agro industri yang berkembang saat ini adalah penanaman sawit sebagai komoditas monokultur, menggantikan tutupan lahan alami kaya keanekaragaman hayati khas nusantara berupa hutan alam atau perkebunan campuran.

It takes a village to raise a child

Dalam waktu yang relatif singkat, kini sawit telah menjadi salah satu spesies paling berpengaruh dan paling signifikan mengubah wajah bentang alam Indonesia.

Berkat agen penyebar dan perawat mula-mula, yakni orang-orang Eropa, sawit menemukan lahan subur di Kepulauan Nusantara. Permintaan global dalam satu abad terakhir telah mendorong perluasan perkebunan monokultur menggantikan hutan dan kebun campur kaya ragam hayati. Banyak satwaliar yang kehilangan habitat. Masyarakat desa hutan kehilangan rimbanya. Membiarkan business as usual tanpa upaya perbaikan yang memadai tak ubahnya bunuh diri ekologis atau ekosida.

Di lain sisi, sawit sangat dibutuhkan untuk kondisi saat ini, karena dapat mengisi relung yang tercipta untuk menyokong “peradaban” manusia yang sangat haus dengan suplai minyak nabati dalam jumlah besar.

Sejatinya ada jalan tengah yang dapat ditempuh agar industri sawit berkelanjutan dapat terus memasok kebutuhan masyarakat akan produk yang sehat dan ramah lingkungan.

Dengan riset, inovasi dan insentif, perkebunan sawit berpotensi dikembangkan menjadi ekosistem yang lebih sehat, lebih kaya keragaman hayati, penghasil multi-produk seperti integrasi dengan peternakan (Foto: Sunarto)

Saat ini ada beberapa mekanisme dan upaya perbaikan yang telah menunjukkan hasil, namun umumnya masih dalam skala relatif kecil dan terbatas. Contohnya antara lain adalah identifikasi dan perlindungan wilayah penting untuk konservasi, penerapan perbaikan praktik pengelolaan (Better Management Practices), penerapan sertifikasi terkait keberlanjutan seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan lainnya. Selain itu, saat ini juga mulai dikembangkan beraneka mekanisme transfer fiskal berbasis ekologi, skema terkait upaya penurunan emisi atau penyerapan gas rumah kaca, dan banyak lainnya yang dapat memberi insentif finansial bagi pihak yang melakukan upaya di suatu wilayah untuk perbaikan kondisi ekologi dan lingkungan termasuk mitigasi krisis iklim.

Untuk menerapkan jalan tengah ini dalam skala yang lebih luas, pemerintah perlu menciptakan ekosistem bisnis yang restorative, dengan kebijakan yang tepat agar inovasi bisnis semakin cepat mengarah pada pemulihan lingkungan. Pengelolaan industri sawit perlu diperbaiki dari hulu hingga hilir agar dapat memulihkan kondisi lingkungan dan keanekaragaman hayati yang terancam. Untuk mengembalikan daya dukung lingkungan, rehabilitasi dan restorasi berbagai wilayah yang semestinya dilindungi namun terlanjur dirusak seperti kawasan konservasi/lindung, lahan gambut, dan, kawasan sempadan atau riparian sungai sangat perlu segera dilakukan. Studi menunjukkan bahwa, jika pengelolaannya diperbaiki dengan memperhatikan aspek lingkungan, wilayah perkebunan dapat menjadi habitat tambahan, batu loncatan serta koridor pergerakan satwa dan anekaragam kekayaan hayati.

Ada pepatah, it takes a village to raise a child. Memperbaiki tata kelola industri sawit tak ubahnya membesarkan dan mengasuh anak. Diperlukan gotong-royong berbagai pihak sebagai suatu komunitas. Ini harus diawali dengan niat bersama untuk memperbaiki keadaan, menuju kondisi masa depan yang lebih baik.

Peremajaan sawit merupakan momen sekali tiap dua dekade yang menjadi peluang untuk memperbaiki industri sawit menjadi lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan (Foto: Sunarto)

Langkah kunci mencapai hal itu adalah menciptakan ekosistem bisnis yang sehat, yang dibangun di atas kebijakan yang solid, memberi insentif bagi terjadinya upaya pemulihan dan penguatan modal alam (natural capital) yang kita miliki. Masyarakat khususnya sebagai konsumen perlu lebih peduli, lebih aktif terlibat dan terus mendukung serta memberi dorongan untuk upaya perbaikan yang dilakukan. Jika kondisi itu tercipta, niscaya pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk mengembangkan berbagai inovasi yang bukan hanya akan menghasilkan keuntungan finansial, namun juga pemulihan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang kokoh.***

--

--