Spesies di Indonesia, Milik Siapa?

Sabhrina Gita Aninta
The Malay Archipelago
5 min readNov 25, 2019

Masyarakat Indonesia selalu bangga dengan keanekaragaman hayati yang membentang di Kepulauan Nusantara. Wilayah daratan Indonesia hanya 1.3% dari daratan dunia, namun keanekaragaman hayati kita sangat tinggi. Setidaknya ada 8% spesies tumbuhan berbiji dunia dan 10% spesies burung dunia yang mendiami ekosistem alami Indonesia di berbagai penjuru pulau.

Namun, apakah keberadaan aneka ragam hewan dan tumbuhan di teritori negara kita berarti kepemilikan absolut atas mereka? Dengan kata lain, apa betul kita punya hak tak terbatas untuk menentukan pemanfaatan ragam hayati yang kebetulan berbagi tempat tinggal bersama kita?

Lion fish di perairan Manado. Image credit: Jens Petersen via WikiCommons.

Sejak Indonesia merdeka, rakyatnya terus memperjuangkan kedaulatan mereka untuk mengelola sumber daya yang ada di wilayah administratif Indonesia. Dalam UUD 1945, hal ini langsung diatur dalam Pasal 33 ayat 3,

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Setelah sejarah panjang kolonialisme Belanda, Inggris, dan Jepang, tidak heran jika pemerintah dan rakyat berbagi sentimen yang sama untuk mempertahankan pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia di tangan rakyat Indonesia sebagai upaya menjaga identitas, kedaulatan, dan marwah.

Namun rasa kepemilikan seseorang menjadi bermasalah ketika ia mendorong sifat eksploitatif dan konsumtif terhadap sumberdaya. Di Indonesia, upaya konservasi biodiversitas cenderung didasarkan oleh potensi kegunaan ekonomis setiap spesies dan melihat mereka sebagai potensi pendapatan.

Sebagai contoh, pengelolaan industri perikanan kita setelah Susi Pudjiastuti tidak lagi menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan berbalik eksploitatif karena pengelolaan sumber daya hayati laut diperlakukan sama dengan ekstraksi bahan tambang.

Makna konservasi juga telah bergeser menjadi perlindungan wilayah, tentang siapa yang boleh menggunakan, siapa yang tidak. Pertanyaan apakah spesies Indonesia bisa dipatenkan supaya tidak dipakai negara lain, atau apakah tidak bisa penelitian dengan dana yang tidak berasal dari pemerintah asing, adalah diskusi yang umum di samping cara mencegah biopiracy, pencurian sampel, dan sebagainya.

Diskusi tentang ketertinggalan kita dalam memahami dan mengeksplorasi sumber daya hayati kita jarang sekali kongkrit ke langkah-langkah nyata untuk mengejar ketertinggalan tersebut.

Padahal, jika kita bicara dari sudut pandang sejarah alam, kita bisa menemukan bahwa hampir semua hewan dan tumbuhan di sekitar kita muncul terlebih dahulu sebelum kita, — manusia modern (Homo sapiens) — , menentukan wilayah administratif negara. Memahami sejarah alam bisa membuat kita paham bahwa keanekaragaman hayati kita adalah amanah, bukan sesuatu yang kita miliki.

Siapa Duluan Datang?

Daratan Indonesia memiliki sejarah geologi yang kompleks. Beberapa daratan berusia sangat tua, beberapa sangat muda.

Daratan yang sekarang membentuk apa yang kita kenal sebagai Sumatera dan Kalimantan sudah ada sejak 60 juta tahun yang lalu. Di sebelah timur, pulau-pulau Indonesia memiliki sejarah yang lebih kompleks. Tidak semua bagian dari daratan yang kita kenal sekarang dengan Sulawesi muncul di waktu yang sama. Ada bagian yang sudah ada sejak 60 juta tahun yang lalu dan ada bagian yang baru muncul jutaan tahun yang lalu. Kisah menarik mengenai sejarah geologi ini bisa dibaca di buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia yang telah diterbitkan ALMI dan AIPI.

Manusia purba (Homo erectus) setidaknya sudah menjejak pulau-pulau Indonesia 1 juta tahun yang lalu. Namun, manusia modern pertama (Homo sapiens) baru saja menghuni Kepulauan Nusantara dalam skala puluhan ribu tahun yang lalu. Ini jauh lebih muda dibandingkan dengan usia fosil orangutan purba termuda yang berumur ~100.000 tahun dari berbagai lokasi di Asia Tenggara.

Orangutan mulai memiliki sejarah evolusi yang berbeda dari nenek moyang bersama kera besar sejak 10 juta tahun yang lalu, sementara nenek moyang bersama manusia dan simpanse sejak 5 juta tahun yang lalu.

Perhatikan sumbu x atas yang menunjukkan waktu dalam juta tahun hasil konversi “waktu” dalam mutasi per pasang basa per tahun di sumbu x bawah (Sumber: Prado-Martinez et al (2013) CC-BY-NC-SA 3.0)

Menarik sesungguhnya jika melihat bahwa sebagian besar spesies hewan dan tumbuhan ada lebih dahulu daripada manusia. Selain orangutan yang berdivergensi dari nenek moyang bersama kera-kera besar sekitar sepuluh juta tahun yang lalu dan tampaknya melanglang buana di seluruh dataran Asia sebelum akhirnya hanya bisa dijumpai di Indonesia, spesies-spesies hewan lain juga memiliki sejarah alam yang kurang lebih sama. Komodo, misalnya, cukup umum di Australia ~3 juta tahun yang lalu sebelum menjejak dataran Pulau Flores setidaknya sejak ~900.000 tahun yang lalu dan hanya dapat ditemukan di Nusa Tenggara Timur saat ini.

Spesies-spesies yang sering dikatakan sebagai spesies “asli” Indonesia banyak yang memiliki kerabat atau distribusi nenek moyang purbanya di luar Indonesia. Selain orangutan dan komodo, badak dan harimau memiliki kerabat di dataran Asia dan Afrika. Tak hanya lebih dulu datang, spesies-spesies ini bahkan tidak seunik itu untuk Indonesia. Jika ribuan spesies yang ada di Indonesia itu dipelajari lebih dalam sejarah evolusinya, kita akan mungkin akan mendapati gambaran yang lebih utuh dan mengejutkan tentang apa yang dulu kita pernah punya atau tidak punya.

Tentu saja kita bisa memperdebatkan persentase kekerabatan antarspesies atau titik tertua kita mengasosiasikan ke”asli”an spesies Indonesia. Namun, sama dengan tidak ada artinya memperdebatkan manusia Indonesia mana yang “pribumi”, memperdebatkan mana spesies asli Indonesia yang bisa dipatenkan atau dibatasi aksesnya juga sama absurdnya.

Badak Sumatra di Lampung. Image credit: Wikicommons

Apakah kita pernah bertanya kepada harimau jawa, badak sumatera, dan orangutan kalimantan, bahwa mereka mau jadi penduduk Indonesia? Bagaimana dengan polip-polip terumbu karang yang mengambang di samudera dan burung-burung yang bermigrasi? Jika kita bisa berkomunikasi dengan mereka, apakah mereka akan mau jadi bagian dari Indonesia atau memilih pindah kewarganegaraan dan mencari suaka di negara lain?

Dalam skala umur geologis Kepulauan Nusantara, spesies manusia modern baru saja hadir dibandingkan spesies lainnya. Namun, pada satu titik waktu, manusia menciptakan konsep negara dan wilayah kekuasaan, membuat kita membatasi teritori satu sama lain berdasarkan suku, dan di awal abad 20 suku-suku ini memutuskan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Amanah Konservasi

Keanekaragaman hayati kita adalah amanah, bukan sesuatu yang kita miliki. Mereka adalah amanah yang harus dikelola dengan bertanggung jawab.

Kita tidak mengumpulkan spesies-spesies ini dengan jerih payah kita, tapi kita bersikap seolah-olah mereka adalah hak kita. Mereka diperlakukan sebagai properti bagaikan barang yang mobilitasnya ditentukan oleh setumpuk legislasi dan tanda tangan. Kita melihatnya sebagai komoditas ekonomi dan diperah begitu saja dengan alasan kepemilikan. Padahal, kita tidak memperoleh mereka karena usaha kita. Kita kebetulan saja dilahirkan dan tinggal di lokasi yang sama dengan spesies-spesies ini.

Memandang sumber daya alam kita sebagai tanggung jawab yang harus dikelola secara berkelanjutan alih-alih properti memerlukan perubahan kerangka pikir yang cukup besar. Spesies di seluruh dunia adalah milik semua. Otoritas manusia yang kebetulan menaungi habitat spesies bertanggung jawab menjada spesies dan habitatnya cukup sehat untuk menjaga diri mereka tetap ada di masa depan.

Jika kita memandang keanekaragaman hayati kita sebagai amanah dan titipan, pembangunan berkelanjutan harusnya lebih mudah dicapai.

Originally published at http://catataniga.wordpress.com on November 25, 2019 and modified on January 10, 2021 for publication in The Malay Archipelago.

--

--

Sabhrina Gita Aninta
The Malay Archipelago

I am researching South East Asian endemics through their DNA and collecting all kinds of biodiversity data.