Interpretasi Spasial dalam Lagu “Cinta Mati” oleh Agnes Monica dan Ahmad Dhani

Rima Aisha
The Non-essential
Published in
6 min readNov 7, 2020

Musik sebagai salah satu bentuk karya seni adalah relik yang merekam jejak peristiwa pada suatu masa. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, pertemuan, perpisahan, sejarah kebangsaan, penindasan, perjuangan hingga kebertuhanan, segala potongan kehidupan bisa dipotret melalui lensa musik dan dibingkai sedemikian rupa untuk dinikmati pendengarnya. Sebaliknya, keberadaan musik pun menyimpan segudang fenomena yang bisa kita amati dari berbagai sudut pandang dan kacamata. Dalam tulisan ini, saya ingin membahas kesanggupan musik untuk memberi pendengarnya pencerahan akan peristiwa hidup yang rumit sekalipun, juga konsep keruangan yang tersemat di dalamnya.

Nomor-nomor terbaik tahun 2000-an di khazanah musik pop Indonesia mungkin tak asing dengan campur tangan nama besar Ahmad Dhani. Sekian banyak buah karyanya menjadi lagu-lagu yang membekas melintas generasi, dan bahkan hingga saat ini pun masih mengakrabi telinga dan daftar putar kita. Salah satunya ialah lagu berjudul “Cinta Mati” yang ia nyanyikan sebagai proyek duet di album “And the Story Goes” milik Agnes Monica. Tujuh belas tahun setelah dirilisnya lagu tersebut ternyata masih menyisakan pesona yang tidak luntur, justru mengundang rasa penasaran saya untuk menilik lebih jauh akan keindahannya.

Seperti kebanyakan lagu ciptaan Ahmad Dhani, lagu ini berkisah tentang hal yang begitu purba, begitu lestari, begitu banal, lumrah dan rasanya tak akan pernah habis untuk dibahas: tentang cinta. Judulnya pun sederhana dan terus terang. Lewat “Cinta Mati”, seseorang menceritakan soal cintanya yang sedemikian hebat hingga mungkin tak bakal terkalahkan sampai ia kelak mati. Dalam narasinya, sang pencerita kebingungan mencari cara, bukan cuma supaya cintanya diketahui, tapi juga agar orang yang dicintainya betul-betul paham, benar-benar mengerti betapa ia sungguh cinta.

Menginderakan Cinta Lewat Ruang

Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku rindu

Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku cinta

Masihkah mungkin hatimu berkenan menerima hatiku untukmu

Cintaku sedalam samudera, setinggi langit di angkasa kepadamu

Cintaku sebesar dunia, seluas jagad raya ini kepadamu

Bait pertama lagu dibuka dengan pertanyaan tentang bagaimana caranya agar tokoh kedua dalam lagu ini bisa mengerti betapa rindu dan cintanya sang pencerita sebagai tokoh pertama. Pertanyaan sulit ini kemudian seolah-olah dijawab pada bagian chorus. Sang pencerita akhirnya berusaha. Ia mencoba menjelaskan, memberi penerangan. Dalam penjelasannya, penulis lagu memilih untuk menggunakan metafora demi melukiskan perasaan yang sedemikian sulit diungkapkan kebesarannya.

Di sinilah konsep keruangan muncul. Sang pencerita mengandaikan cintanya sedalam samudera, setinggi langit di angkasa, sebesar dunia, bahkan seluas jagad raya. Penulis lagu menunjukkan kepayahannya dalam menjelaskan cinta yang luar biasa megah, sampai-sampai ia harus meminjam referensi spasial agar mampu dimengerti.

Di saat yang bersamaan, penggunaan metafora ini menunjukkan begitu tergenggamnya konsep keruangan dalam benak kita sehingga perihal cinta yang begitu kabur dan pelik pun mesti diterjemahkan ke dalam bahasa pengukuran supaya bisa dicerna dan dipahami oleh tubuh kita sendiri. Cinta yang tadinya tak berwujud jadi terbayangkan dan lebih mudah untuk kita indera, sebab tiap detik pun kita kian memposisikan diri terhadap dunia, terhadap ruang di sekitar kita. Maka akhirnya kita dibuat mengerti, sebesar itulah cintanya.

Ruang Lain dalam Dimensi Nada

Dalam teori musik, umumnya setiap lagu memiliki nada dasar. Dan meskipun tidak harus, biasanya melodi dalam sebuah lagu disusun oleh not-not yang terdapat dalam tangga nada (scale) dari nada dasar tersebut. Setiap not dalam tangga nada memiliki nilai dan muatan kualitas yang berbeda, tapi beberapa not bisa dikelompokkan terpisah dari not-not lainnya sebab nilai atau muatannya yang khusus, kuat atau dominan. Sedangkan, nada dasar tentu saja berperan penting sebab ialah titik mula dari terbentuknya tangga nada. Singkatnya, seperti apapun rangkaian nada dalam sebuah lagu, nada dasar ini akan selalu terasa seperti rumah (home note).*

Pada kasus lagu “Cinta Mati”, bagian verse dibangun dengan nada dasar A, sementara pada bagian chorus nada dasar berpindah ke C. Tapi karena melodi dari chorus lagu ini tidak berubah, mari kita amati bagian verse saja.

Verse 1

Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku rindu

Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku cinta

Masihkah mungkin hatimu berkenan menerima hatiku untukmu

(Chorus)

Verse 2

Bagaimana caranya agar kau mengerti bahwa aku mencintaimu selamanya

Bagaimana caranya agar kau mengerti bahwa aku merindukanmu selamanya

(Chorus)

Kedua bait yang kemudian diikuti oleh chorus ini pada dasarnya berisi pertanyaan yang sama. Meskipun liriknya berganti kata, substansi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah berubah. Tapi bila kita simak, ada perubahan melodi di antara keduanya yang berakibat pada perbedaan intensitas emosi yang bisa kita rasakan sebagai pendengar.

Diagram di atas menjelaskan posisi melodi yang dinyanyikan di tiap suku kata dari baris pertama verse 1 dan 2 lagu “Cinta Mati” dalam tangga nada kromatik. Di bagian kiri diagram tertera jangkauan nada terendah hingga tertinggi dalam lagu ini. Sementara, lirik ditulis ke kanan sesuai pengotakan yang mengindikasi hitungan dalam lagu (satu kotak berarti ¼ hitungan).

Batas bawah merupakan nada A, nada dasar yang juga menjadi jangkauan terendah dari melodi lagu “Cinta Mati”. Garis yang sejajar dengan nada A diberi penanda garis berwarna merah untuk menunjukkan interval satu oktaf tangga nada A (mulai dari A, B, C#, D, E, F#, G#, sampai A lagi).

Yang unik dari kedua baris ini adalah implikasi dari rangkaian titik-titik nadanya. Secara umum, tiap nada (tone) memiliki kelengkapan berupa sifat yang kita kenal dengan istilah pitch. Pitch sesungguhnya adalah atribut spasial dari suara yang menjelaskan posisinya terhadap ruang nada (tonal space). Maka ketika mendengar dua nada yang berbeda, kita bisa membayangkan jarak antara keduanya. Kembali pada keberadaan nada dasar, melalui diagram di atas kita bisa melihat jarak yang ada antara tiap-tiap titik nada terhadap nada dasar A.

Baris pada verse 1 menghasilkan rangkaian nada yang cenderung menurun, mendekati nada dasarnya. Ibarat berintonasi, pencerita seakan menggumamkan pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Sejauh ini, ketidaktahuannya masih berselubung di seputar diri. Sedangkan pada baris di verse 2, nada yang dipilih justru menjauh dari ‘rumah’ dan malah keluar melampaui ruang nada satu oktaf tangga nada A. Sang pencerita seolah frustasi, kebingungannya meluap tak terbendung lagi. Ia pun akhirnya melantangkan pertanyaannya kepada pendengar yang entah akan menjawab atau tidak, juga ia tak peduli.

Rangkaian nada di kedua baris ini masing-masing membangun ruang nada yang berbeda, dibentuk dari jarak yang berbeda pula terhadap nada rumahnya. Ruang ini saling tumpang tindih, beririsan, bertabrakan dengan ruang oktaf dan pecahan ruang-ruang kecil lain yang tercipta antar satu nada dengan nada yang mengikutinya. Instrumentasi hingga teknik vokal yang dilancarkan Agnes serta iringan suara Ahmad Dhani pun turut mengukuhkan terbangunnya ruang tersebut. Dalam definisi ruang nada inilah muatan rasa berkisar. Kita dapat membacanya dan mendapat makna dari lagu secara total untuk kemudian bisa kita resapi dan hayati dengan refleksi yang personal.

Fenomena ruang dalam musik ini tentu kekal dan berkelanjutan, sebab tiap bunyi memiliki ruangnya sendiri dan itu adalah hukum alam yang pasti. Mungkin itulah salah satu musabab mengapa musik seringkali terasa begitu dekat dengan keseharian dan peradaban, begitu kuat sebagai pembawa gagasan dan pemarkah zaman: karena musik bisa bicara tentang ruang, dan bahasa musik sendiri pun adalah bahasa ruang. Ia bisa lekas diterima oleh kita yang kodratnya juga sama-sama mengisi spasi.

Lebih dari itu, musik membantu kita untuk memahami ruang-ruang yang tak bisa dilihat tapi tak pernah gagal kita kenali, tempat kita menaruh perasaan, gairah, dan memori. Maka dengan dan melalui musik kita bisa bermanifestasi, saling beresonansi, mengakui dan memvalidasi. Sehingga kita sadar bahwa selain bumi yang kita pijak, ada ruang-ruang lain yang juga kita bagi. Dan darinya mungkin keberadaan kita yang sebentar nan banal ini dibuat serasa tidak sia-sia dan punya arti.

* ­­Tanpa harus bisa bermusik atau mempelajari teori musik, biasanya kita bisa merasakan nada dasar dari sebuah lagu. Bisa jadi, musik pop lebih mudah diterima dan akrab di telinga sebab pola progresi chord dan melodinya mudah ‘ditebak’ untuk mencapai home note.

Referensi:

Albersheim, Gerhard. “The Sense of Space in Tonal and Atonal Music.” The Journal of Aesthetics and Art Criticism, vol. 19, no. 1, 1960, pp. 17–30. JSTOR, www.jstor.org/stable/427408. Accessed 1 Aug. 2020.

Christ, William et al. Introduction To Materials And Structure Of Music. Prentice-Hall, 1975.

Zander, Benjamin. “The Transformative Power of Classical Music”, 2008. TED, https://www.youtube.com/watch?v=r9LCwI5iErE&list=LLP81L5mKYhrWxu_tNtIkxbw&index=5&t=17s.

--

--