Mendekati Konsep Partisipatoris lewat Skola Lipu

Bangkit Mandela
The Non-essential
Published in
10 min readFeb 7, 2020

Sejak tahun 2016, cikal bakal tim Skola Lipu telah menjalin komunikasi dengan masyarakat adat Wana Posangke, suatu masyarakat semi-nomaden yang bertinggal di Hutan Adat Wana Posangke, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Bersemai dua tahun, pada 2018 proyek konstruksi bangunan sekolah ini diinisiasi dengan pendekatan desain partisipatoris. Istilah yang masih kelabu bagi penggiat dan praktisi arsitektur di Indonesia, tapi tak urung dibicarakan terkait tuntutan pembangunan daerah-daerah tertinggal. Kami duduk bersama Amirul sebagai salah satu pemrakarsa dan tim awal proyek Skola Lipu untuk membahas latar belakang, proses dan tantangan, hingga rencana tim ke depan.

Perkembangan Bangunan Skola Lipu. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Pertama, kita ingin mengetahui apa yang dilakukan Amirul dan teman-teman, kemudian tentang crowdsourcing architecture. Boleh diceritakan dulu latar belakangnya?

Sebelum bicara tentang Skola Lipu, saya ingin membahas tentang desain partisipatoris. Saya sendiri belum mendalami sejauh itu, sehingga ini murni opini dan terbuka untuk didebat. Namun lewat preseden yang ada, sepertinya memang apa yang kita lakukan menuju ke arah sana.

Berdasarkan pengalaman dan opini pribadi, profesi arsitek selalu berkenaan dengan figur satu orang. Ini menjadi pekerjaan yang sangat personal. Sementara secara keilmuannya, dalam arsitektur ada beberapa hal yang sangat dekat dengan keseharian. Ketika kita bicara desain biasanya asosiasi yang muncul adalah sesuatu yang bagus, estetik, dan indah. Namun aspek lain seperti utilitas, fungsional, sanitasi, atau bahkan isu sosial sebetulnya juga termasuk. Bagi saya, partisipatoris adalah upaya untuk membuat ilmu arsitektur lebih inklusif.

Sebetulnya wacana partisipatoris ini muncul dari hasil ngobrol ke sesama penggiat dan teman-teman. Ketika kami masih di kampus, ada kegiatan mahasiswa UNPAR yang tujuannya mendokumentasikan arsitektur tradisional sejak 2016 di kabupaten Morowali Utara, masyarakat adat Wana posangke. Secara geografi mereka cukup terisolasi, akses layanan publik seperti kesehatan dan sekolah masih cukup jauh. Kenapa sekolah? Memang ini hasil kesepakatan karena mereka telah membuat wadah pendidikan yang swadaya. Mereka dibantu oleh beberapa lembaga non-profit, tetapi bukan dalam arti masyarakat digiring, tetapi mereka sudah punya sistemnya sendiri. Karena mereka masyarakat semi nomaden, jadi kegiatan belajar mengajarnya lebih fleksibel. Bisa jadi berpindah-pindah, misalnya ketika mereka mempelajari tentang tanaman atau meramu obat.

Berarti pelajaran mereka juga berkaitan dengan keseharian mereka?

Ya, ada pelajaran yang utama yakni baca tulis. Terutama untuk bertahan hidup jika berdagang di luar, supaya nggak ketipu. Akhirnya setelah berdiskusi dengan salah satu guru bernama Indo Imel (Indo: Panggilan untuk Ibu) tentang kontribusi lanjutan bagi masyarakat Wana Posangke, kami memutuskan untuk membangun sekolah. Kebetulan saat itu ada satu bangunan yang sudah rusak, yang secara tidak langsung mencerminkan arsitektur mereka sebagai masyarakat semi-nomaden. Akhirnya setelah berdiskusi dengan Indo Imel diputuskan bahwa ada kebutuhan atas bangunan sekolah yang lebih menetap.

Kegiatan Belajar Mengajar. Kredit gambar Tim Skola Lipu.

Bicara tentang latar Skola Lipu, lingkup pekerjaannya sampai mana, misalnya apakah sampai kurikulum?

Kurikulum nggak, karena sudah ada sistemnya. Kami hanya merancang bangunan sekolah. Proses desain memang terkait upaya untuk mengakomodasi seluruh aspirasi masyarakat disana. Justru keputusan-keputusan desain terkait bentuk, material, dan lainnya diputuskan belakangan atas seizin masyarakat. Sebetulnya nggak jauh berbeda dengan praktek bersama klien, hanya saja skalanya satu warga. Bangunan ini dirancang berdasarkan kesepakatan, bahkan dikerjakan oleh masyarakat setempat. Hal-hal terkait detail, misalnya pemilihan material kami kembalikan ke masyarakat lagi.

Dokumentasi perkembangan bangunan. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Lu ‘kan berpraktik juga disini, dan kita bicara tentang desain partisipatoris. Kira-kira dari keduanya apa perbedaan signifikannya? Hal baru apa yang lu dapatkan?

Memang yang dihadapi berbeda. Kalau di kota kita terbiasa menghadapi klien yang terhitung figur. Kalau pun mengerjakan bangunan publik prosesnya sudah terstruktur. Secara desain, di lingkungan kota profesi arsitektur sudah diakui. Mungkin beda cara aja sih. Sementara di Skola Lipu, yang pertama jelas menjaring aspirasi masyarakat. Justru itu prosedur yang paling lama.

Gimana cara kalian berkoordinasi atau mencapai keputusan?

Mereka punya mekanisme pengambilan keputusan yang disebut mogombo. Kendalanya sebetulnya bahasa, karena yang bisa berbahasa Indonesia baru sedikit. Sebetulnya mereka sudah tahu kebutuhannya apa, jadi dalam pengambilan keputusan nggak ada tegangan-tegangan tertentu. Kami pun tidak banyak menawarkan, lebih mengakomodasi. Karena kami juga sudah kenal sejak 2016, sudah ada kedekatan, dan wacana ini sudah dibicarakan sejak lama. Sementara kalau di kota prosesnya jauh lebih cepat, di masyarakat adat ada defense yang lebih besar terhadap masyarakat kota.

Diskusi bersama warga. Kredit gambar tim Skola Lipu.
Diskusi tim bersama Apa Imel. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Jadi dari awal mereka terlibat mulai dari inisiasi ide desain sampai pembangunan. Bagaimana tentang pendanaan?

Masyarakat bertindak swadaya tentang pendanaan, tapi kami tidak menuntut. Memang di Jakarta kami membuka crowdsourcing. Sebetulnya istilah crowdsourcing tidak terbatas pada dana, karena material dan tenaga berasal dari masyarakat setempat. Kami juga nggak menuntut keahlian khusus, sekedar membaca konteks saja.

Daun Pandan Hutan untuk material atap. Kredit gambar tim Skola Lipu.
Masyarakat dalam peran sebagai tukang. Kredit gambar tim Skola Lipu.
Masyarakat dalam peran sebagai tukang. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Yang turun ke lapangan itu tukang, yang terbiasa membangun dan tahu teknisnya?

Faktanya mereka membuat rumah mereka sendiri, jadi yang utama dibutuhkan memang tokoh masyarakat yang bisa memimpin. Namun secara kemampuan keteknikan nggak ada masalah, jadi memang desainnya mengikuti semua keterbatasan ini.

Antara praktik yang di kota dan disini berbeda. Jika keterbatasan menjadi konsiderasi utama dalam proyek, perhatian berikutnya di luar batas-batas ini apa?

Ini menarik. Selain kebutuhan sekolah, ada kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pun kita disini terbiasa begini dan di sana mereka terbiasa seperti itu. Ada hal-hal yang kami rasa perlu diseimbangkan. Misalnya sanitasi dan akses terhadap air yang diperuntukan bagi masyarakat umum. Yang paling terasa ketika banjir. Secara geografis mereka tinggal di lembah, pada musim banjir (Mei — agustus) air di sungai tidak bisa diakses sebelum surut. Disana mereka belum punya mekanisme pompa, sehingga mengangkut air masih pakai jeriken. Hal itu kami coba akomodasi dalam bentuk sistem penampungan air sebagai cadangan. Sekedar itu saja, karena ada batas-batas terkait kepercayaan yang nggak ingin kami intervensi.

Kondisi geografis di sekitar tapak. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Dalam konteks desain partisipatoris, baik dari perancang dan warga terjadi pertukaran info. Kira-kira ada sesuatu yang berubah akibat dialog ini?

Kalau pertukaran kultur kami tidak terlalu mengamati. Namun ada satu hal yang menarik, ini terkait keilmuan arsitektur itu sendiri. Jadi saat pondasi bangunan hampir selesai beberapa bulan yang lalu, ada bapak-bapak yang membuat sketsa sederhana bangunan. Di satu sisi ada rasa bersyukur bahwa masyarakat mau merekam apa yang kita lakukan bersama.

Skola Lipu hadir di jaman sekarang, dimana ide crowdsourcing, kickstarter dan semacamnya muncul dari era internet yang sama. Jenis bantuan tidak lagi terbatas pada dana, bahkan kontribusinya bisa dalam bentuk data lunak seperti open source. Ini proyek-proyek yang maju dari kontribusi dunia maya. Kira-kira apa yang berbeda kalau proyek ini berjalan tanpa bantuan tersebut? Andaikanlah 20 tahun yang lalu.

Saat ini ‘kan bantuan atau sumberdaya terbanyak lewat cara online memang dana. Karena kami yang terlibat memang kebanyakan aktif di Jakarta. Ini menjadi menarik karena walaupun terbatas oleh jarak, masyarakat disana tetap bergerak. Dana ini dibutuhkan sebagai upah. Walaupun masyarakat bekerja swadaya, kami tetap membuat sistem transparansi seperti absen sebagai bentuk pertanggungjawaban yang jelas terkait upah. Masyarakat di sana masih bergantung pada kegiatan berladang. Ketika waktu mereka dipakai untuk ikut membangun, maka ada waktu berladang yang terpangkas. Waktu itu kami ganti dengan uang mentah atau bahan makanan untuk menggantikan waktu meladang mereka.

Nah, dana yang terkait dengan crowdsourcing paling banyak ditujukkan untuk (kompensasi) itu. Bantuan lain yang bukan dana biasanya berbentuk kolaborasi, misalnya kemarin di Jakarta kami membuat instalasi tekstil. Akhirnya sisa material diolah menjadi tas atau pakaian untuk disumbangkan kesana. Sementara kalau membayangkan 20 tahun lalu, mungkin kita harus tinggal disana sepenuhnya untuk menyelesaikan proyek ini.

Kalau berandai-andai, untuk penggalangan dana mungkin dari koran. Nggak kebayang sih, tapi kayaknya jelas harus bertinggal lama disana. Sementara sekarang kita cukup stay seminggu-dua minggu untuk meninjau perkembangannya.

Berarti dari segi proses dan sumberdaya, Skola Lipu terbantu dengan adanya internet. Menurut lu, apa bisa dinyatakan bahwa desain partisipatoris prosesnya berubah setelah ada internet?

Nggak yakin sih, tapi kalau melihat dari praktek teman-teman yang sejenis, sebetulnya partisipatoris lebih terikat ke tempat. Misal dalam satuan RT/RW, partisipasinya selalu berangkat masyarakat, mulai dari pengumpulan informasi, bagaimana menyusun visi, dan sebagainya.

Bisa jadi tindakan crowdsourcing di Skola Lipu -yang terkait di tempatnya, mungkin terjadi juga secara lokal. Intinya ada partisipasi masyarakat setempat melalui musyawarah internal yang mungkin nggak kita ketahui. Masyarakat pun cukup ketat ke kami sebagai arsitek. Ketat misalnya: Jumlah kayu yang diperbolehkan, bahkan satuan panjang ada keyakinannya sendiri harus di angka ganjil.

Lantas kita sebagai arsitek ngapain? Toh masyarakat juga yang menentukan ini dan itu. Hal ini jadi menarik, sehingga kami akhirnya mencoba mengakomodasi.

Kurikulum yang ada disana saat ini, dengan sekolah formal masih nyambung?

Beda. Penjenjangannya dimulai dari baca tulis hitung dan masalah kearifan adat lokal. Untuk bersekolah formal dengan kurikulum pemerintah mereka harus beranjak keluar. Akhirnya yang kita ajukan adalah bagaimana kegiatan masyarakat ini (publik dan sekolah) bisa dilakukan secara paralel dalam Skola Lipu. Karena bangunan publik ini nantinya tidak hanya dipakai sebagai sekolah, tetapi juga bentuk musyawarah lain misalnya kegiatan pemilu.

Anak-anak Wana Posangke. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Hasil desain ini muncul dari diskusi dengan warga. Ada hal baru dari segi desain yang muncul dari diskusi ini?

Ada. Secara spasial rumah tradisional mereka open plan tanpa dinding. Jadi batas privat-publik hanya di luar dan dalam, yang di luar berada di bawah panggung atau di pelataran rumah, sementara bagian dalamnya melompong, hanya dibedakan dari ketinggian saja. Kalau dalam konteks rumah tinggal hal itu bukan masalah, kembali pada urusan per keluarga. Namun ketika itu bangunan publik yang multi fungsi, itu perlu dipertimbangkan.

Proses pembuatan dinding Pandan. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Kami menawarkan mekanisme partisi yang fleksibel. Bentuk partisinya berupa suatu dinding yang bisa dibuka menjadi satu ruangan besar atau ditutup kembali sebagai beberapa ruangan. Konstruksinya menggunakan anyaman berbahan daun pandan hutan. Mereka pun baru sadar bahwa anyaman tikar itu bisa ditegakkan menjadi dinding. Bentuk lainnya hadir bagi anak-anak. Karena anak-anak disana banyak usia balita, mereka terbiasa bermain di luar. Namun ketika belajar sang guru butuh mereka untuk berdiam di satu tempat. Solusinya kami membuat bentukan bermain di tempat seperti bukit atau gundukan kecil untuk memberi pengalaman ruang baru agar anak-anak betah disana. Idenya sama dengan alat bermain di TK, yang diintegrasikan dengan bangunannya.

Titik bermain di bawah panggung bangunan. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Banyak hal baru yang ditemukan dari desain partisipatoris ini. Namun ketika tugas pertama adalah membangun sekolah, padahal tipologi-nya sudah ada, jadi?

Paham. Ada tipologi yang mengikat, sementara permintaan masyarakat berbeda dari itu. Yang terjadi sebelumnya adalah anak-anak berbagai usia disekolahkan bersama di bangunan ini, karena ketika mereka langsung disekolahkan di luar, mereka cenderung dipandang sebelah mata oleh masyarakat luar. Selama ngobrol dengan masyarakat, ternyata hal ini menjadi tekanan. Sehingga, Skola Lipu menjadi upaya untuk membangun kesiapan anak-anak ketika mereka memang harus sekolah di luar. Bahkan ini juga berfungsi sebagai sekolah bagi orang dewasa yang belum bisa baca-tulis. Pada akhirnya ada keluwesan dari program ruang, yang mengandung beberapa kebutuhan khusus dari masyarakatnya terlepas dari tipologi sekolah dan kurikulum. Jadi kami berusaha se-fleksibel mungkin saat menawarkan program ruang tersebut, dan masyarakat bisa menerima itu.

Menariknya, mengakomodasi infrastruktur pendidikan ini adalah tugas pemerintah, yang mana biasanya penuh dengan standar. Mungkin kalau pemerintah yang melakukan ini, hasilnya tipologi sekolah yang sama saja. Mungkin nggak sih, bahwa desain partisipatori sebagai cara desain yang paling tepat untuk mendesain infrastruktur di daerah-daerah tertinggal?

Ketika kita bicara arsitektur, seolah-olah bangunan itu perlu ada arsiteknya. Padahal ketika profesi arsitektur belum diformalkan, kegiatan membangun itu ‘kan kembali pada keluarga atau juru bangun masyarakatnya. Memang perlu ada komunikasi dua arah (antara pemerintah dan warga adat). Kita perlu melihat keluasan Indonesia dan ragam etnisnya. Jadi melihat masalah antara standarisasi dan kultur masyarakat yang spesifik, sebaiknya memang ada riset. Mungkin kelihatannya repot, tapi sebetulnya dibutuhkan. Karena kalau setelah dana digelontorkan tapi nggak efektif ‘kan sayang sekali. Pendekatan ini perlu diadopsi oleh pemerintah melihat kaitannya dengan pengembangan daerah atau pemukiman. Mereka (masyarakat adat) sudah ada duluan sebelum campur tangan dan sistem administrasi pemerintah. Kita butuh komunikasi dan riset terhadap objek yang sudah ada untuk mengarsip dan memahami apa yang telah terjadi sebelumnya.

Gue amazed atas apa yang kalian kerjakan. Karena ini dikerjakan tanpa campur tangan dan agenda pihak lain. Dengan pengalaman ini, apa mungkin sebetulnya kita nggak butuh bantuan pemerintah?

Ini yang lucu. Saat ini tim Skola Lipu ada 9 orang. Awalnya ada satu teman yang sangat bersemangat baik dalam teknis maupun praktik. Dia ingin apa yang kita lakukan memiliki spirit. Bahwa semua orang bisa membantu siapa saja tanpa menimbang label. Namun dari isu membantu dan dibantu ini kita perlu bertanya: Ada yang butuh nggak? Apakah yang kita punya ini bermanfaat bagi mereka?

Terkait jumlah orang yang terlibat disini siapapun bisa. Siapapun yang telah berdonasi itu terhitung telah membantu mereka. Selama berjalan dari 6 sekarang 9 orang, semua baik-baik saja. Yang penting kita tahu apa yang dibutuhkan dan bagaimana kita bisa membantu.

Apa rencananya setelah ini?

Tadinya rencana awal kami berakhir sampai pada tahap Post Occupancy Evaluation saja. Kemudian ada sisa dana dari donatur yang hendak kami alokasikan untuk pengembangan kurikulum dan tenaga pengajar disana. Membaca tren sekarang kegiatan relawan untuk mengajar di daerah atau berkontribusi dengan masyarakat terpencil sedang cukup baik. Itu memang dibutuhkan. Selain dari sisi pengajar yang membuka perspektif tentang tempat dan situasi baru, sebetulnya supaya kita paham “perbedaan” juga.

Kadang ketika datang dari kota masuk ke daerah terpencil, muncul rasa superioritas tertentu yang sebetulnya nggak perlu. Karena masyarakat adat sendiri sudah tahu apa yang mereka lakukan di sana. Masalah mau dimajukan atau disetarakan kebutuhannya, kita perlu bertanya dulu ke mereka. Justru dialog-dialog semacam ini yang membantu mendekatkan. Kalau mau membantu pada akhirnya harus tahu ‘kan, apa yang dibutuhkan?

Kira-kira untuk menutup ini, ada kesimpulan apa dari Amirul?

Ketika dikembalikan ke crowdsourcing dan partisipatori desain sebagai bagian dari ilmu arsitektur, saya melihat ini belum masuk dalam kurikulum di kampus. Entah ini memang informal atau sebetulnya bisa diformalkan untuk pengajaran. Opini saya, sepertinya ini menarik dan dibutuhkan untuk diformalkan dalam kampus. Karena geografi kita yang besar, sementara pemerataan pembangunan masih belum ideal, pertukaran pikiran dan tukar cerita antar tempat bisa jadi bermanfaat.

Proses konstruksi Sekola Lipu. Kredit gambar tim Skola Lipu.

Laporan kegiatan Sekolah lipu dapat diikuti pada kanal instagram sekolah lipu @skolalipu.

--

--