Yang Tidak Dibicarakan di Ruang Tertutup: Isolasi diri dalam Sinema

Bangkit Mandela
The Non-essential
Published in
7 min readJul 2, 2020

Bagaimana isolasi mempengaruhi kita dan cara sinema menampilkan fenomena tersebut.

Bagi sebagian orang, menunggu adalah kegiatan yang membosankan, bahkan membuat otak tumpul. Berlarut-larut, penungguan tumbuh menjadi kesedihan. Masygul tetapi syahdu, Silampukau mengumandangkan lirik tentang situasi tersebut dalam kedua nomor ‘Aku Duduk Menanti’ dan ‘Balada Harian’. Penyanyi menggambarkan bagaimana penungguan berbuah kesedihan, serta kesadarannya yang mulai luntur akibat isolasi diri menahun.

Seperti takdir yang panjang dan pedih
dalam hidup yang muram dan letih,
aku masih di sini;
‘ku duduk menanti,

Di luar pagar sana, kawanku,
kehidupan memanggilmu.
Tapi tahun kian kelabu.
Makna gugur satu-satu,
dari pengetahuanku,
dari seluruh pandanganku,
pendengaranku,
penilaianku.

Situasi isolasi juga digambarkan dalam novel pendek The Pigeon tentang seorang lelaki tua yang mengasingkan diri di kamarnya. Lelaki ini hidup sendirian dalam rutinitas sederhana seorang penjaga bank. Semua berjalan damai sampai suatu hari seekor merpati mengacaukan kehidupannya. Dalam cerita yang lebih pendek lagi, cerpen berjudul Manusia Kamar berkisah tentang seorang pemuda yang antipati pada dunia, kemudian mengurung diri dalam sebuah kamar tak berpintu. Cerpen ini diamati dari sudut pandang orang kedua yang berusaha menyelidiki kehidupan kawannya.

Kedua cerita menjelajahi tema isolasi diri, mekanisme, hingga imbasnya. Dalam The Pigeon, rutinitas yang telah kejang menyebabkan gangguan sederhana terlihat sebagai ancaman besar. Sementara itu, Manusia Kamar yang menyindir arogansi intelektual menutup cerita dengan sebuah dugaan: Bahwa sang teman yang hilang kontak telah menyiapkan kuburannya sendiri di kamar tersebut. Dugaan ini menyiratkan keterputusan individu dengan umat manusia.

Ada sejumlah siasat untuk menampilkan fenomena isolasi di dalam film. Misalnya, tematik ini umum digambarkan dengan suasana keruangan yang sempit, muram, hingga klaustrofobik. Suasana demikian mencerminkan pikiran tokoh yang tengah mengalami pembatasan gerak tubuh. Namun, tidak menutup kemungkinan ruang yang sifatnya terbuka menjadi panggung bagi narasi yang sama. Protagonis tidak menyadari situasi isolasi, ia terbebas dalam gerak, namun terbatasi dalam pikiran.

Kita dapat menggolongkan tema isolasi menjadi dua jenis, yakni isolasi diri dan di luar kehendak. Keduanya memperlihatkan sifat keruangan yang sama, tetapi dengan respon individu yang berbeda. Dalam kegiatan isolasi diri, individu berkompromi dengan batas ruang yang tersedia. Sementara di luar kehendaknya, ruang diamati sebagai musuh yang harus dikalahkan.

Yang Mengurung Diri

Seorang protagonis boleh jadi melakukan isolasi diri karena rasa takut dan trauma. Dalam kedua film yang disutradarai oleh ‎Ravi Bharwani‎, Jermal (Fishing Platform, 2009) dan 27 Steps of May (2019) kerap menggunakan kesunyian dan repetisi untuk menggambarkan proses isolasi diri akibat trauma. Pada Jermal, seorang buronan bernama Johar (Didi Petet) menyembunyikan diri di dalam sebuah kabin pemancingan lepas pantai. Sesekali ia mengawasi para pekerja di bawah umur, seringkali ia mabuk sendirian sambil membaca surat-surat lama dari istrinya. Sementara dalam 27SoM, korban kekerasan seksual bernama May (Raihaanun) mengurung diri di kamar dengan keseharian yang berulang. Ia menyetrika baju yang sama, menyanggul rambut, membuat boneka bersama ayahnya, tanpa berbicara selama 8 tahun.

Kedua film menampilkan ruang bukan sebagai batasan, melainkan tempat yang aman dari ancaman dunia. Protagonis tampak sangat bergantung pada ruang. Hubungan ini dinyatakan dalam keseharian yang sama hingga tahap stagnasi. Ruang dan individu lantas menjadi suatu keutuhan yang tak terpisahkan, seumpama isi telur dan cangkangnya. Plot cerita berkembang ketika muncul intervensi yang mengubah pola tersebut. Adalah kedatangan Jaya (Iqbal S. Manurung), anaknya yang kemudian membuat Johar berani menghadapi masa lalunya. Begitu juga dengan sosok pesulap (Ario Bayu) yang membantu May menyembuhkan traumanya.

Namun, perubahan pola ini tidak selalu bergantung pada intervensi pihak ketiga. Fantasi dapat muncul sebagai perangkat narasi untuk mengubahnya. Contoh ini bisa disaksikan dalam judul Lars and the Real Girl (2007) serta Where the Wild Things Are (2011). Romance comedy LaRG mengisahkan tentang upaya seorang pemuda untuk mengatasi kegugupannya. Lars (Ryan Gosling) menggunakan perantara sex doll yang ia perkenalkan dan perlakukan sebagai pacarnya. Sementara dalam WtWTA, Max (Max Records) menciptakan dunia fantasi di kepalanya, lengkap dengan mahluk-mahluk ajaib untuk mengurai traumanya. Keduanya menggunakan fantasi sebagai alternatif intervensi pihak ketiga, baik terproyeksi dalam objek maupun diinternalisasi hingga pola tersebut berubah.

Yang Terkurung

Pada skenario kedua, isolasi terjadi di luar kehendak protagonis. Hal ini menyebabkan ruang dipandang sebagai batas yang harus ditembus, atau musuh yang harus dikalahkan. Plot cerita lantas berporos pada upaya pembebasan diri protagonis. Dampak yang digambarkan oleh skenario ini mulai dari perubahan persepsi protagonis, hingga munculnya tatanan baru yang eksklusif dalam lingkungan isolasi.

Pada situasi di luar kehendak, ruang dan individu seakan saling bertikai. Film-film bertema pelarian penjara merupakan contoh praktis situasi ini. Untuk kasus yang lebih mengucil, Cast Away (2001) menggambarkan alam sebagai ruang vs. manusia. Akibat kecelakaan pesawat yang ditumpanginya, Chuck Noland (Tom Hanks) terdampar di sebuah pulau kecil selama 7 tahun. Chuck harus belajar dasar-dasar bertahan hidup di alam liar, sementara ia menjaga kewarasannya dengan berbicara pada bola voli bernama Wilson. Berkali-kali usahanya membebaskan diri gagal, seakan-akan pulau tersebut menahan dirinya.

Isolasi berkepanjangan dapat menyebabkan persepsi protagonis terhadap ruang dan waktu berubah. Room (2015) menceritakan tentang Ma (Brie Larson) dan Jack (Jacob Tremblay) yang dikurung paksa di sebuah kamar berukuran 5x5 m. Selama 7 tahun, Jack lahir dan tumbuh di dalam kamar. Ia melihat daun tanpa pernah mengetahui pohon, dan mengenal awan tanpa tahu apa itu langit. Akibat persepsi yang fakir ini, batas cakrawala Jack hanya sebesar kamarnya. Ketika keduanya berhasil meloloskan diri, Jack mempersepsikan dunia sebagai “lapisan pintu-pintu” yang tak berujung. Di sisi lain, Ma yang merasa kehidupannya telah dirampas, kini melihat bahwa dunia bergerak begitu cepat dan merasa sangat tertinggal.

Pada Dogtooth (2009), topik pengucilan menandai keberadaan tirani. Dogtooth bercerita tentang pasangan suami-istri yang mengurung ketiga anaknya dengan cara yang begitu ganjil. Untuk menjaga ketiganya tetap di rumah, pasutri ini mengarang berbagai kebohongan sebagai bingkai tatanan baru. Mulai dari bencana di luar rumah, pengertian sesat atas benda-benda (misal: cunt = lamp), menyebut kucing sebagai makhluk buas, hingga cara penyaluran birahi yang absurd. Puncak tatanan ini menyatakan bahwa seorang anak boleh pergi dari rumah ketika gigi taring (dogtooth) mereka tanggal.

Upaya pembebasan diri dalam ketiga film mewujud dalam bentuk harfiah maupun simbolis. Secara harfiah, protagonis memanipulasi pola/sistem ruang secara fisik. Hal ini dilakukan oleh Chuck dengan menyempurnakan rakit penyelamatnya, begitu pula dengan taktik oposum Ma dan Jack untuk memperdaya penculik. Berbeda dengan dunia Dogtooth, ruang (rumah) menjadi wadah bagi sebuah tatanan. Protagonis tidak bisa sekedar melompati pagar untuk membebaskan dirinya, tetapi harus mengakali tatanan yang telah berjalan.

Yang Ditinggalkan di Ruang Tertutup

Kembali pada Silampukau, keputusasaan adalah pilihan. Ia berakar dari penungguan yang berlarut-larut, tumbuh menjadi kegelisahan. Rasa gelisah yang mengerikan ini diamplifikasi dalam film Rear Window (1954). Seorang fotografer patah kaki menyaksikan pembunuhan di seberang kamarnya. Pelaku segera menyadari adanya saksi mata, kemudian memburunya perlahan-lahan. Dalam keterbatasan gerak, sang fotografer berupaya memperlambat pelaku untuk mencapai dirinya. Dalam ruang terbatas itu, sang fotografer menolak nasib buruk yang ia saksikan terjadi padanya.

Bercermin pada hari ini, kita dihadapkan pada situasi yang tak jauh berbeda. Kita mengintip nasib buruk dari hari ke hari dan menolak kemalangan yang sama. Ketika pandemi diibaratkan sebagai personifikasi durjana tak kasat mata, sosok sunyi dan hembusan nafas yang telah dihentikannya cukup untuk membuat kita bertanya-tanya: Sedekat apa dia sekarang?

Tentu saja karantina/isolasi yang digambarkan dalam film kerap dramatis dan tidak sejalan dengan situasi nyata. Komunikasi kita tidak berhenti karena kabel telepon diputus oleh pembunuh berdarah dingin, kita tidak pula terjebak di kamar akibat pintu dikunci oleh seorang pemerkosa. Kata “kita”, telah mengartikan bahwa kegelisahan ini dihadapi bersama. Kita masih berusaha, sebisa mungkin, mendekati hal-hal yang kita tangguhkan. Dengan pengorbanan yang sadar, kita menukar ruang dan waktu dengan rasa aman.

Pemikiran Merleau-Ponty menyatakan bahwa tubuh merupakan alat untuk memahami dunia dalam relasi intensionalitas antara pengamat dengan yang diamati. Tubuh terus-menerus mempersepsikan dunia dengan mengalaminya (menubuh). Interaksi menerus antara tubuh dan dunia adalah kesatuan untuk mencapai pengetahuan baru. Maka, ketika tubuh bertinggal dalam ruang dan interaksi sosial yang minim, realitas yang terhayati oleh manusia hanyalah sekelumit dari dunia yang sesungguhnya.

Ketika duduk kembali di pinggir suatu taman, berkerumun dalam jarak, saling mengakui keberadaan dengan pandangan, kita mungkin baru menyadari apa yang selama ini kita tukar untuk rasa aman. Betapa panjang waktu yang telah diringkas, betapa luas ruang yang telah kita pejalkan.

[1] Lirik seluruh lagu silampukau dapat dikunjungi pada laman https://silampukau.com/lirik/
[2] Agar tidak tercerai-berai, mari kita perjelas bahwa isolasi diri merupakan usaha pemisahan individu dari manusia lain, sementara swakarantina adalah upaya tersebut dalam konteks pandemi. Dengan kata lain, swakarantina mengandung proses isolasi diri, tetapi tidak mesti sebaliknya.
[3] Kita bisa berspekulasi bahwa dalam 27SoM, inilah yang sebenarnya terjadi, bahwa pesulap adalah fantasi yang dikarang oleh May untuk menyembuhkan dirinya.
[4] Simpulan ini disadur dari ulasan Reza A.A Wattimena dalam laman rumahfilsafat.com/2009/12/20/tubuh-yang-mendunia-sebuah-refleksi-filsafat-tubuh/

--

--