Belajar Bermusik Dari 2020, Bowie dan Kapan Saja

Jody Muhammad Ezananda
The Odinary Journal
6 min readFeb 28, 2021

Pt.1

2020, what a bizarre year it was. Situasi global pandemic dan perubahan yang begitu cepat menjadikan konsep kepastian dalam industri musik semakin merabun. Hal ini memaksa pelaku industri untuk melakukan hal-hal secara berbeda demi survive. Namun, akankah 2021 menjadi berbeda dari 2020… Siapa yang benar-benar tahu?

Pasalnya yang kita hadapi ini adalah ketidakpastian, dan ia bisa datang kapan saja. Bagaimana kita menghadapinya? Tentunya dengan beradaptasi. Namun bagaimana?

Sejauh pengetahuan dangkal saya, adaptasi adalah tentang membaca situasi dan reinventing the self. Beranjak dari ide-ide obsolete, lalu adjusting diri guna mendapat tempat dalam sebuah tatanan.

Mungkin kita tidak bisa menggunakan formula lama, tapi tentu kita bisa belajar dari masa lalu, karena pada dasarnya perubahan dan evolusi adalah bagian dari sejarah musik itu sendiri.

Sering kali perubahan akan membuat hal-hal menjadi lebih mudah. Tidak jarang kalau akan ada masalah-masalah baru dan batasan-batasan baru yang justru tercipta.

Namun kadang kala, creativity thrives best in adversity. Masalah-masalah ini lah yang justru membuat kita mencari cara untuk mendorong atau mendobrak batasan — lagipula jika tidak ada batasan, apanya yang mau didobrak?

Ooh, when my mind’s clouded and filled with doubt
That’s when I feel the most alive

If there’s no pain, is there any progress?
That’s when I feel, yeah, the most alive

— Moses Sumney on “Cut Me”

Saya jadi teringat pada bulan Maret tahun lalu, ketika Code Orange, band metalcore asal Pittsburgh, kembali mencuri atensi publik dengan rilisan baru bertajuk Underneath. Konsep matang, promosi jor-joran dan persiapan yang sedemikian rupa seolah-olah mengisyaratkan misi mereka untuk menduduki tahta metal global.

Yang cukup menyedihkan, perilisan album tersebut bertepatan dengan dimulainya national lockdown di US, sehingga selebrasi puncak paripurna yang sudah dipersiapkan dalam sekejap menjadi angan.

Namun hebatnya, COVID-19 rupanya tidak menghentikan kreativitas dan ambisi mereka, dalam waktu cepat mereka memutuskan untuk tetap melaksanakan konser perilisan ini tanpa audiens dan menyiarkannya lewat Twitch. Pola ini lalu diadaptasi oleh — basically semua — artis di berbagai belahan dunia dan hingga akhirnya kini istilah virtual concert menjadi household term.

Begitu juga ketika konser luring telah menjadi opsi yang tidak mungkin, sebuah music venue di Brooklyn, elsewhere, berkolaborasi dengan penyelanggara event virtual OpenPit untuk menciptakan environment festival maya lewat game Minecraft, mengundang American Football dan segilintir aksi favorit internet lainnya.

Hal-hal yang saya bahas ini seolah begitu besar, tetapi keputusan kreatif tidak melulu harus tentang hal berskala besar, semuanya bisa dimulai dari eksperimen-eksperimen kecil.

Misalnya ketika tren livestreaming menyemarak karena kebijakan social distancing, Charli XCX dengan cermat memanfaatkan fitur Instagram Live sebagai sarana berinteraksi dengan fans sekaligus menjadikannya sebuah workshop kolektif menulis lagu untuk album barunya.

Atau ketika melakukan tur dunia sudah tidak lagi realistik, Phoebe Bridgers memulai promo album barunya, Punisher, dengan mengadakan tur konser virtual di berbagai sudut rumahnya: dari dapur hingga kamar mandi.

Fenomena lain yang begitu sensasional di tahun 2020 — dan terus berjalan — adalah meledaknya platform video sharing Tik Tok. Lagu-lagu yang menjadi nominasi terkuat di Grammy 2021 hampir semua besar di Tik Tok, dan tidak sedikit band indie yang terbukakan jalannya karena viral di platform ini.

Saya rasa untuk kedepannya, tidak ada salahnya mengerahkan energi lebih untuk mengilhami fenomena ini, terlebih dengan diluncurkannya fitur serupa di platform-platform lain: Youtube Short dan Instagram Reels.

Di Indonesia sendiri kita menyaksikan bagaimana pagelaran WTF 2020 dilaksanakan dengan superb secara virtual, dan lewat gerakan Live For Better Days, mereka mengajak audiens untuk berdonasi kepada pelaku industri kreatif yang terkena dampak pandemi.

Di belahan nusantara yang lain, upaya Senyawa menyuarakan pendekatan desentralisasi dalam proses distribusi album baru mereka Alkisah merupakan langkah ciamik yang perlu sama-sama kita pelajari.

Banyak sekali hal yang inspiratif dari bagaimana pelaku industri merespon situasi pandemi ini. Dan seharusnya sebagai insan kreatif kita perlu memiliki mindset kalau adapting seperti ini tidak terikat situasi.

Kita pun tidak tahu perpindahan ke ekosistem baru ini hanya untuk mengakomodir kebutuhan sementara, atau justru ini akan menjadi awal baru untuk disrupsi yang tidak akan memberi kita kesempatan untuk menoleh kebelakang.

And if that’s really the case, don’t panic. It means that there will be plenty of rooms to fill in that are yet to be discovered.

Hal lain yang perlu kita sadari bersama adalah, pandemi ini adalah hal global. Yang terkena imbas bukan hanya kita, creators sebagai hulu di industri, namun teman-teman consumers di hilir pun juga sama-sama settle in dengan situasi ini. Intinya kita perlu bersabar sembari istiqamah mencari jalan.

Pt.2

Bulan Januari ini saya banyak memikirkan tentang David Bowie. Kebetulan sekali Januari adalah bulan kelahiran dan kematian Bowie, begitu juga bulan dirilisnya — arguably — 3 album paling eksperimental Bowie: Station to Station (1976), Low (1977), dan Blackstar (2016). Bagi saya, Bowie adalah sosok yang tidak lekang dimakan zaman. Definisi punk in its truest sense.

Bowie memulai karirnya di tahun 1967 pada era kejayaan music psych rock di UK dan baroque pop di US. Di paruh pertama dekade 70-an, lewat persona Ziggy Stardust identitas Bowie semakin solid terbentuk dan ia turut bantu mendefiniskan gaya musik glam rock.

Di paruh berikutnya, Bowie mendobrak batasan dengan karya-karyanya yang dikenal sebagai era The Berlin Trilogy yang lantas menjadi pondasi bagi musik alternatif yang datang berikutnya seperti post-punk, industrial, hingga post-rock.

Belum lagi, akan selalu ada generasi yang mengenang Bowie karena tembang “Let’s Dance” (1983) maupu era komersil setelahnya di tengah gelora new wave.

Yang ingin saya sampaikan adalah, Bowie adalah sosok yang terus berkembang dengan perubahan zaman. Lebih dari itu, dia juga merubah zaman.

Namun bukan itu yang paling bikin saya terkesima dengan sosok Bowie, saya tidak hidup di era itu. Adalah proses kreatif dibalik album Blackstar (2016) yang membuat Bowie menyinggahi ruang spesial di hati saya.

Album Blackstar diciptakan oleh Bowie ketika ia menyadari kalau waktu dia di dunia sudah tidak lama lagi. Sebuah nafas terakhir sekaligus elegi perpisahan terhadap karir dan hidupnya.

Yang menarik, ketimbang kembali membuat racikan dengan formula yang membuat Bowie sukses di masa lampau, Bowie justru memilih untuk being present in the moment while he was dying, mind you — dengan:

  1. Mengedepankan mortalitas dan kerapuhannya;
  2. Kembali bereksperimen dengan mempelajari karya-karya kontemporer seperti No Love Deep Web (2012) milik Death Grips dan To Pimp A Butterfly (2015) milik Kendrick Lamar, serta berkolaborasi dengan musisi generasi ini seperti James Murphy (LCD Soundsystem) setelah terkesima oleh garapan James di Reflektor (2013) karya Arcade Fire.

Pola senior belajar dari junior ini adalah sesuatu yang benar-benar membuat saya mengagumi Bowie, terlebih lagi pada level seorang Bowie.

Ketimbang sambat atas perubahan zaman apalagi mengutuknya, Bowie menerima zaman dengan keindahan caranya sendiri. Bahkan Blackstar adalah pembuktian, ketika banyak musisi anyar memaksa kembali ke masa lampau, Bowie justru mengantarkan kita ke masa depan.

Selain Bowie, yang banyak saya pikirkan belakangan ini adalah Brian Eno, sosok yang bertanggung jawab atas eksperimentasi Bowie di periode Berlin. Di waktu yang berdekatan, eksperimentasi bermusik Eno juga bertanggung jawab atas pertumbuhan dua pergerakan musik berlawanan: New Wave, dan antitesanya, yaitu No Wave. Fluiditas Eno ini seperti air, yang menyesuaikan diri pada wadahnya dan menyuburkan pijakan yang disinggahinya.

Lewat Bowie dan Eno saya belajar, kalau dalam hidup itu kita perlu berakar kuat pada diri sendiri. Kita melihat mereka sebagai anomali, atau seperti alien. Namun nyatanya, Bowie dan Eno adalah dua sosok yang terus relevan di berbagai lingkar komunitas dan berbagai era.

Dan begitulah seharusnya menghadapi perubahan dan ketidakpastian. Apabila kita terus-terusan mengikuti arus, the chance is we won’t have the endurance. Namun dengan menjadi diri sendiri kita sedang menciptakan mesin hidup terbaik, yang mana perubahan/adanya gaya eksternal apapun hanyalah sekedar bahan konsiderasi untuk merubah variabel, dan dengan memainkan variabel ini lah kita dapat menemukan hasil terbaik, memahami how things work, lalu menemukan value baru.

Dua alien dengan kesadaran diri yang ekstra ini mengajarkan kita, bahwasanya menjadi diri sendiri adalah bukan sekadar menjadi berbeda, tapi menjadi pembeda. Karena apabila suatu perubahan tidak memberikan keuntungan pada kita, well, the only way to challenge it, is to revolutionize by making a difference.

--

--