Vague: “A Giant Blur” | Song Essay

Jody Muhammad Ezananda
The Odinary Journal
3 min readNov 11, 2019

A Giant Blur

by Vague; from the album Footsteps (2014).

Footsteps (2014), self-released.

Cara yang paling gampang dalam mendefinisikan musik Vague adalah dengan mengomparasikan trio ini dengan para pendahulu emocore alias para punggawa Revolution Summer (1985) seperti Rites of Spring, Embrace, Dag Nasty dll. Jika orang/media yang menjelaskan musik Vague kepada anda berhenti di sana, maka ketahuilah, hal tersebut adalah sebuah perbuatan kriminal. Karena sejak para punggawa tersebut membubarkan diri dari sebuah pergerakan yang ternyata terus meregenerasi itu, banyak sekali band yang mencoba me-revive sound ini dan biasanya yang hadir adalah band-band yang tidak penting untuk diulik—lagipula untuk apa mendengarkan para revivalist tersebut yang hanya ripping-off sedang kita masih bisa mendengarkan rekaman-rekaman otentik peninggalan periode revolution summer tersebut?

Hari ini, Indonesia memiliki Vague, sebuah entitas yang memiliki jauh lebih banyak penawaran menarik daripada semua bualan yang mengatasnamakan emo revival. Dari usahanya untuk merevive musik-musik yang benar-benar diapresiasi oleh para emo purists, Vague justru menghadirkan sesuatu yang membuatnya jauh lebih menonjol daripada contamporaries-nya bahkan di skala internasional sekalipun. Vague adalah band emo yang menurut saya benar-benar berkarakter.

Berbicara masalah rawness, saya rasa itu adalah hal yang paling tricky yang dilakukan oleh kebanyakan band-band di ranah ini. Banyak yang terlalu mengejar sisi raw pada rekaman mereka, akan tetapi tanpa sadar justru menurunkan kadar listenability. Pada aspek ini, Vague memainkannya tidak lebih dari untuk kepentingan produksi (yang tentu mempengaruhi feeling yang tercipta kemudian). Mengenai disonansi, Vague memainkannya dengan pas, progresinya tidak ada yang maksa, dan perihal pola start/stop yang menjadi ciri khas musik emo gelombang pertama (dan kelihatannya Vague juga terinspirasi scene metalcore akhir 90-an), Vague tahu kadar yang tidak membuat komposisi mereka menjadi karya yang menjengkelkan.

Kalau ada dua hal yang paling berkesan tentang Vague buat saya, yang kedua adalah permainan drummingnya Jan yang steady dengan suara yang agak redup pada mix, serta cenderung mid-paced. Sedangkan yang pertama, dan yang menjadi favorit saya, adalah suara gitar Yudhis yang benar-benar otentik. Dahulu saya sempat menemukan sebuah tulisan yang membandingkan Yudhis dengan J Mascis. Kalau maksud dari tulisan tersebut adalah membandingkan sound gitar dan pola permainan Yudhis dengan J Mascis, lagi-lagi saya berani katakan sang penulis adalah jurnalis pemalas, akan tetapi apa bila yang dimaksud dari perbandingan ini adalah bagaimana Yudhis bisa menjadi seorang ksatria bergitar dengan suara dan aura yang begitu langka, quirky, dan menghanyutkan selaknya J, saya tidak bisa tidak setuju.

Hal ini terpampang jelas di paruh kedua lagu “A Giant Blur” di mana sisa lagu tersebut dituntaskan dengan builds dan layering permainan gitar Yudhis yang benar-benar mengenyangkan telinga. Kalau saya boleh deskripsikan, gemuruh gitar Yudhis di album ini (dan terutama di lagu ini) ibarat suara desis ombak yang setiap mencapai shoreline ia selalu mempunyai magnet untuk membawa sekian petak pasir bersamanya kembali ke perairan, dan ada waktu-waktu ketika sang ombak sedang pasang, ia menghantam daratan dan apabila tak segan ia pun juga akan menyeret manusia untuk hanyut bersama. Saya tidak tahu apakah analogi tersebut dapat dicerna, yang jelas ini adalah sebuah pencapaian sonik yang perlu diapresiasi dari belantika permusikan Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

--

--