Liner Notes: Spotify Wrapped 2020

Jody Muhammad Ezananda
The Odinary Journal
11 min readDec 11, 2020

Mengevaluasi 5 lagu teratas dari hasil rapor tahunan Spotify saya di 2020.

Pekan lalu — sebagaimana terjadi setiap akhir tahun— jagad maya diramaikan oleh obrolan tentang fitur Spotify Wrapped 2020 di mana Spotify menyajikan rapor tahunan kepada usernya untuk menyelami momen/riwayat mendengarkan musik mereka sepanjang tahun 2020.

Rapor yang disajikan Spotify meliputi informasi 5 artis teratas, 5 lagu teratas (meliputi 1 lagu yang “membantu anda melewati 2020”), jumlah artis dan genre baru yang masuk ke pustaka Spotify anda tahun ini, 5 genre yang paling sering diputar, 5 podcast yang paling sering didengarkan, satu buah playlist berisikan rekomendasi lagu yang telah anda lewatkan tahun ini, dan satu buah playlist yang merangkum 100 lagu yang paling sering anda putar.

Tetapi, secara khusus, pada tulisan ini saya ingin membahas tentang 5 lagu yang menempati posisi puncak klasemen 2020 saya.

Menurut data Spotify, 5 lagu yang menempati puncak teratas saya di tahun 2020 adalah sebagai berikut:

*) Untuk daftar penuh yang berisikan 100 lagu, dapat diakses melalui pranala ini.

Setelah melihat reportase ini, saya mencoba mengontemplasikan hal-hal yang mengaitkan saya dengan kelima lagu ini dalam setahun kebelakang. Misalnya saya jadi tersadar kalau “Slow Show” milik The National adalah lagu langganan yang selalu masuk ke Spotify Wrapped setiap tahunnya, mengingat lagu tersebut merupakan salah satu comfort song saya.

Yang menarik tahun ini daftar saya dipuncaki oleh sebuah hip-hop joint dari Open Mike Eagle berjudul “(How Could Anybody) Feel at Home”. Agaknya, lagu ini cukup pantas untuk disebut salah satu lagu yang paling mendefinisikan bagan terakhir dunia perkuliahan saya yang kebetulan berlatar waktu di tahun ini.

Lalu dari kelima lagu yang menempati puncak teratas Spotify Wrapped 2020 saya, hanya “On Track” milik Tame Impala yang benar-benar merupakan trek rilisan 2020. Walaupun mungkin “On Track” bukanlah rilisan tahun ini yang paling saya favoritkan, namun hal ini tidak terlalu mengejutkan, karena lagu ini sendiri datang cukup awal di tahun ini. Di samping itu, ada kisah personal tentang kematian seseorang dari keluarga besar yang karena dimensi waktu, jadi saya asosiasikan dengan lagu ini.

Selain itu, ada juga nomor dari tetangga The National, yakni Interpol dengan “The New” yang menjadi soundtrack liburan khayal saya ke kota New York di awal masa pandemi. Dan di urutan terakhir ada “Guest House” dari Daughters, tembang rilisan 2018 yang hingga hari ini masih membuat saya tercengang.

Untuk liner notes yang lebih panjang, silahkan simak tulisan berikut ini.

1. Open Mike Eagle: “(How Could Anybody) Feel at Home”

Open Mike Eagle pertama kali datang ke atensi saya sekitar 2014 lewat albumnya Dark Comedy. Musik yang dipresentasikan Mike bersifat lowkey, cenderung laidback dan flow-nya terkesan amateurish. Di samping itu ada ciri khas penggunaan satir jenaka yang selalu melekat pada karya-karyanya. Sense of humor dan keamatiran ini justru membuat musik OME berkesan karena jujur dan apa adanya.

Di tahun 2017, hadirlah Brick Body Kids Still Daydream, yang tentunya masih mengemban kualitas yang serupa, lowkey dan jujur. Namun, tidak untuk ber-sarkas ria, Brick Body adalah sebuah deeply personal project yang konsep narasinya didasari retrospeksi Mike atas fenomena demolisi blok Robert Taylor Homes, sebuah proyek perumahan di Chicago yang dahulu keluarga tante Mike merupakan salah satu residennya.

Tema gentrifikasi, kehilangan rumah, lalu secara konstan menghadapi perpindahan dan perubahan yang tak henti-hentinya dihadapi orang kulit hitam dan juga kaum kelas bawah, adalah hal-hal yang banyak dibahas di sini. Disajikan lewat perspektif personal Mike.

Lagu favorit saya di Brick Body adalah trek kedua yang berjudul “(How Could Anybody) Feel at Home”. Saya ingat pertama kali mendengarkan lagu ini, rasanya saya dihajar eargasm bertubi-tubi. Dari terhipnotis beatsnya yang lembab dan beruap, lalu terkesima flow di pre-chorus, hingga ketika Mike masuk ke line “I done told” rasanya saya langsung tenggelam dalam arus deras dopamin. Tidak banyak hook dalam lagu hip-hop yang memiliki efek pancingan sedahsyat ini. Setidaknya sejak “Runaway” (Kanye West) atau “Bad Girls” (M.I.A.), ini kali pertama saya kembali merasakan “ah! dang, that’s a perfect hook” moment. Terlebih, ditambah tren formula lo-fi hip-hop + neo-soul yang cukup menjenuhkan tahun itu, hal-hal tadi semakin mengelevasi status lagu ini dalam pandangan saya.

Perihal liriknya, “Feel at Home” mengeksplorasi rasa tidak nyaman setelah kehilangan rumah lalu yang lebih mengejutkan lagi ketika community hang-out spot bernama O’Doyle’s yang biasa menjadi tempat berinteraksi — interaksi sosial = terapi kolektif — tiba-tiba tutup/hilang tanpa aba-aba, padahal sebelumnya tempat tersebut selalu buka dalam situasi apapun. “Having your home erased is not an easy thing to go through”, terang Mike dalam suatu interview dengan A.V. Club. Di verse kedua, Mike semakin mempertanyakan nature-nya sebagai kaum yang disepelekan dan datang pada konklusi, mungkin memang tempat — yang menjadi shelter — tersebut seharusnya tidak pernah ada, dan bahkan mungkin sudah nature kita untuk tidak merasakan keberadaan sebuah “rumah”.

Tentunya struggle yang dialami Mike — Alhamdulillah, puji syukur — bukanlah hal yang saya rasakan di kehidupan nyata. Saya hanya bisa turut berempati dan turut meneruskan suara people of color atau kelompok manapun yang tertindas dalam sebuah struktur sosial.

Namun saya tidak akan membahas itu di tulisan ini, saya hanya ingin mengunderline beberapa part di lagu ini yang beresonansi dengan kehidupan saya secara pribadi.

Walau (lagi-lagi) dikarenakan penyebab yang berbeda, tahun ini saya juga turut merasakan rasa sedihnya kehilangan sebuah rumah / komunitas secara tiba-tiba. Line di akhir verse pertama benar-benar merepresentasikan perasaan saya di hari-hari terakhir saya berstatus mahasiswa.

So I’m never exposed
When I’m hella morose
Cause I’m telling ’em no-
-body, my skeleton shows
With it’s elephant nose
And it’s pelican bones
Watch how I carry it home

Sejatinya, “rumah” itu lebih dari perkara batuan dan semen, dan dalam kasus saya, hal yang merenggut “rumah” dan “O’Doyle’s” saya adalah COVID-19. Ditutupnya gedung dan diberhentikannya aktivitas kampus di waktu yang seharusnya menjadi waktu-waktu terakhir saya untuk all-in sebagai pelajar atau bahkan sebagai remaja sekalipun.

Walapun saya bukan orang yang paling aktif dan bahkan tergolong apatis perihal mencintai kampus dan bualan himpunan mahasiswa lainnya, namun hal-hal kecil yang saya jumpai di kehidupan perkuliahan mau tidak mau telah menjadi bata dan semen yang turut mengokohokan “rumah” saya selama 4 tahun kebelakang. Dan ketika bangunan tersebut hilang tiba-tiba hancur tanpa kesiapan, tentu saya pun merasa syok. Bars yang saya kutip di atas benar-benar hits hard karena salah satu penyesalan terbesar saya adalah belum sempat menyelesaikan urusan dan mengekspos diri kepada jangkuan yang lebih luas.

Begitu juga tiba-tiba kehilangan kesempatan untuk bertegur sapa, hingga berpamitan secara proper terhadap setiap individu yang telah mewarnai hari-hari saya dan beberapa membantu saya berkembang dalam 4 tahun terakhir. Kesedihan yang serupa dengan Mike ini benar-benar saya rasakan — walau saya berusaha untuk tidak mendegradasi isu yang dihadapi Mike dengan mengaitkannya pada personal struggle saya, yang mungkin bagi sebagian orang terkesan sepele.

Sebagaimana tahun 2013 dan 2016, 2020 lagi-lagi adalah tahun transisi saya ke fase berikutnya. Namun kali ini hal yang saya hadapi mungkin di luar apa yang pernah saya hadapi dari yang lalu-lalu dan pada akhirnya saya pun harus mengemban tanggung jawab yang lebih besar lagi. Dan kalau Spotify bilang ini adalah lagu yang “helped you get through 2020”, mungkin banyak benarnya.

Paling tidak lagu ini menyadarkan saya kalau perubahan, perpindahan, dan perpisahan itu bisa dialami siapa saja dan kapan saja. Paling tidak lagu ini telah menggugah pikiran saya untuk mempertanyakan kembali keberadaan “rumah” kita. Paling tidak lagu ini pun sudah menjadi rumah untuk saya bawa kemana-mana dan mencari nyaman di dalamnya.

2. The National: “Slow Show”

Pada dasarnya, The National adalah salah satu entitas musik yang selalu menemani perjalanan hidup saya, karya-karya mereka selalu saya bawa kemana-mana.

Secara tidak sengaja, “Slow Show” tiba-tiba menjadi salah satu trek yang mendefinisikan 2019 saya. Pertemuan dengan teman lama saya yang melibatkan sebuah percakapan tentang The National membuat saya mengunjungi kembali diskografi mereka, dan “Slow Show” sebagai salah satu lagu The National favorit saya, akhirnya mendapatkan momennya untuk diutilisasi sebagai kotak penyimpan memori-memori penting saya di tahun 2019.

Bisa jadi, alasan utama saya banyak mendengarkan lagu ini di 2020 adalah karena re-kontekstualisasi tadi. Namun jauh lebih dari itu, “Slow Show” bagi saya adalah sebuah soundtrack pencarian rumah yang mungkin akan terus saya bawa (putar) karena perjalanan/pencarian ini masih belum usai.

3. Tame Impala: “On Track”

Jumat, 14 Februari 2020, Tame Impala merilis album kelimanya yang berjudul The Slow Rush setelah jeda 5 tahun. Di hari itu juga, selepas sholat jumat, saya segera mendengarkannya beberapa putaran dan menulis sebuah jurnal evaluasi prematur tentang apa yang baru saya dengarkan. Tulisan tersebut merupakan jurnal musik pertama yang saya muat dalam format Instagram Story yang lalu berlanjut ke album-album lain yang datang kemudian.

Singkat kata, intinya saya kurang menyukai album ini secara keseluruhan, namun menurut saya Tame Impala semakin baik dalam membuat komposisi ballad, terutama pada trek “On Track” yang bahkan lebih superior dibanding trek-trek ballad dari rilisan sebelumnya seperti “Yes, I’m Changing” dan “Love/Paranoia” yang sempat saya masukkan ke daftar lagu favorit tahun 2015. “On Track” lantas menjadi lagu yang terus-terusan saya dengarkan bahkan hingga saat ini. Kalau saya perlu men-specify momen musikal yang mendefiniskan 2020 saya, jawabannya adalah bridge sequence lagu “On Track” yang terletak di menit 2:52–3:22.

Jumat, 14 Februari 2020 — masih di hari yang sama — merupakan hari kelahiran cicit pertama dari keluarga besar kami (keluarga nenek dari ibu saya). Bayi tersebut diberi nama Shafiyyah Kamila Anindita. Ibu sang bayi, Rizka Faradita merupakan cucu tertua di keluarga kami. Saya lebih sering memanggil Mbak Dita.

Mbak Dita banyak menemani proses self-discovery saya (mostly yang berkaitan dengan musik) di periode akhir SD dan awal SMP. Dia sering menemani saya di beberapa konser pertama saya.

Di hari tersebut, selepas sholat jumat, seluruh keluarga saya — kecuali saya — sowan ke rumah sakit tempat mbak Dita melahirkan. Hanya saya yang tidak ikut, karena siang itu saya memilih untuk stay di rumah dan menyelesaikan resensi album Tame Impala tadi. Saya pikir hal itu harus segera dirampungkan karena Tame Impala adalah satu dari sedikit band yang menjadi common ground saya dengan kebanyakan teman saya.

Namun siapa sangka, hari itu merupakan pertemuan (secara sadar) terakhir antara keluarga saya dengan Mbak Dita.

2 hari setelahnya, tepat pada giliran saya yang menjenguk Mbak Dita, tetiba ia mulai merasakan sakit hebat, yang pada saat itu, saya masih clueless dengan apa yang terjadi. Di hari itu pun walau saya menghampiri, kami tidak bertukar satu kata pun karena ia sedang kesakitan.

Sekitar kurang dari 7 hari (sabtu di pekan depannya) Mbak Dita mengehembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Kejadian ini mungkin bisa dibilang sebagai cobaan terberat yang pernah dialami keluarga kami, paling tidak dalam 20–25 tahun terakhir. Mbak Dita adalah anak tunggal dan sosok cucu paling dominan di keluarga kami. Kehilangan sosoknya terasa begitu janggal. Sejak itu pun, nenek saya jadi sering melamun dan menangisi kepergiannya. Setiap kunjungan — paska kematian — ke rumah Mbak Dita pun terasa aneh selalu. Alhamdulillah-nya, belakangan sosok Shafiyyah yang semakin besar justru memberi warna baru dan keluarga sudah jauh lebih berprogress dan ikhlas.

Saya masih ingat di hari ketika Mbak Dita dinyatakan sudah tidak ada dan dikebumikan. Hari tersebut terasa begitu panjang, dan bahkan tidak ada musik yang mewarnai hari saya waktu itu. Hingga akhir hari, malam sekali sebelum saya mencoba tidur, saya kembali mendengarkan “On Track,” di situ saya benar-benar merasakan emosi di menit 2:52–3:22 tadi secara imersif.

Rasanya saya tidak bisa tidak mengasosiasikan lagu ini dengan sosok Mbak Dita dan Shafiyyah setiap kali mendengarkannya.

May Allah have mercy on Mbak Dita and protect Shafiyyah always. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

4. Interpol: “The New”

Di beberapa bulan awal masa pandemi, saya banyak menghabiskan waktu dengan berlibur secara imajiner, mengarungi Kota New York dari Lower Manhattan hingga Williamsburg, melalui buku Meet Me in The Bathroom (2017) karya Lizzy Goodman yang merupakan sebuah oral history terkait ledakan musik rock New York di awal millennium.

Berbicara tentang skena tersebut, tentunya pilihan saya selalu jatuh pada LCD Soundsystem. Namun apabila mengerucutkan cluster kepada angkatan 2001, ketimbang The Strokes dan Yeah Yeah Yeahs, Interpol adalah entitas yang rasanya paling meresonansikan kepribadian saya. Energi mereka lebih reserved ketimbang dua nama lainnya tadi yang cenderung ugal dan primal.

Lagu favorit saya dari album Turn On the Bright Lights (2002) adalah “NYC”, tapi mungkin alam bawah sadar saya pada kurun waktu ini lebih nyaman mendengarkan “The New” berulang-ulang.

Selain mood lagu yang cenderung sentimental, dan permainan bass Carlos D. yang melodius, ada part di bridge lagu yang membuat saya begitu menyukai “The New”, di mana Paul dan Daniel memainkan pitch gitar dengan memutar tuner naik dan turun, mengendor dan mengencangkan senar, yang rasanya seperti metafora untuk sebuah bent and twisted feeling.

5. Daughters: “Guest House”

You Won’t Get What You Want milik veteran musik rock bising dari Rhode Island, Daughters, adalah sebuah mahakarya tak terduga yang datang di akhir 2018. Tidak banyak album musik yang dapat memberi pengalaman mendengarkan yang begitu visceral. Dan hingga hari ini, saya masih mendapati kesan spesial dari album ini dan terus kembali mengunjunginya.

Musik yang disajikan Daughters di sini seolah-olah adalah sebuah translasi audio dari depiksi siksaan, batin maupun fisik. Dari gubahan drum yang brutal, ketukan yang lebih terdengar seperti tapak kaki penuh teror, dentuman yang menghajar, lalu tone gitar yang tak henti-hentinya menghasilkan bebunyian yang mengerikan, acap kali dapat dianalogikan sebagai bunyi sayatan pisau, gelas pecah, putaran ombak, neurotic feeling atau apapun yang memberi efek tidak nyaman.

Vocal delivery Lex di sini pun walaupun terkesan tidak bernyanyi, namun pantas mendapatkan apresiasi khusus karena telah berhasil menampilkan wide range of emotions yang tipically dirasakan oleh orang dengan gangguan mental tingkat akut… Terkadang kosong, terkadang dingin, terkadang justru kelewat manik, mostly parno. Tentunya dibawakan dengan gayanya yang khas, dan agak terinspirasi goth-era Nick Cave .

Episode paling manik di album ini ada pada lagu terakhir, “Guest House”. Lagu ini benar-benar tidak waras. Rasanya semua emosi yang sebelumnya tercecer di berbagai trek kembali hadir berbarengan di lagu ini. Tentunya awal mula kecintaan saya dengan lagu ini karena musiknya. Saya benar-benar tidak habis pikir Nick Sadler (gitaris, songwriter utama band dan produser album ini) mampu menciptakan lagu yang sedemikian rupa. Akor gitar disonan yang di luar nalar, dan hentakan seluruh instrumen yang seakan turut berusaha mendobrak sebuah pintu. Perlu saya sampaikan kalau lirik lagu ini bercerita tentang sang lakon yang sedang berusaha untuk masuk ke dalam sebuah rumah / shelter / ruang aman namun terhalangi oleh sesuatu dan ia justru semakin menggila karena situasi ini. Shelter di sini saya interpretasikan sebagai kepala dia sendiri, yang mana di tempat tersebut lah dia seharusnya bisa merasa aman dan tenang.

Di luar itu, ada sedikit homage kepada salah satu lagu favorit saya sepanjang masa, “Good Morning, Captain” karya Slint, yang membuat nilai “Guest House” jadi lebih sentimental lagi bagi saya.

Yang saya berusaha katakan di sini, Daughters berhasil melakukan pendekatan musik yang seolah mereka-ulang komposisi sebuah adegan film — atau lebih tepat lagi: adegan film psychological horror — ke dalam struktur lagu. Tidak banyak musisi yang dapat mengeksekusi konsep tersebut, terutama ke dalam format musik non-score seperti ini.

Album ini benar-benar brilian, dan merupakan salah sedikit bukti kalau “guitar music” di luar sana masih ada yang exciting dan relevan. Jikalau dalam waktu dekat saya kembali nyemplung ke urusan menciptakan musik, bisa jadi album ini adalah trigger utamanya.

--

--