Artikel #1: Rasanya Jadi Miskin

Seri the-read tentang Memahami Kemiskinan

Adi Amirudin
the-read
8 min readFeb 6, 2021

--

Do they just live like everyone else, except with less money, or is there something fundamentally different about life under extreme poverty?

Esther Duflo: Poor Economics

Esther Duflo, seorang pakar ekonomi yang dianugerahi Nobel melontarkan pertanyaan yang bagus terkait dengan bagaimana rasanya menjadi miskin: “Apakah mereka hidup sama seperti semua orang, kecuali dengan uang yang lebih sedikit, atau ada sesuatu yang sangat berbeda secara fundamental terhadap hidup dibawah kemiskinan yang parah?” Seri the-read tentang Memahami Kemiskinan ini mungkin akan membantu kamu untuk menjawab pertanyaan tersebut.

A Brief Narrative

What an Rp15.000 can buy in Indonesia? An ayam geprek (chicken with spicy sauce) with a bowl of rice and a free cup of hot tea, or one cup of cheap boba, or two liters of pertalite. Bagi sebagian besar besar dari kita — orang Indonesia yang hidup di lingkungan urban/perkotaan — 15ribu rupiah bisa membeli satu dari hal-hal yang di-list barusan, tapi bagi 9,78% (26,42 juta) orang lainnya yang tinggal di bumi pertiwi, 15ribu adalah budget untuk pengeluaran satu hari yang mana setidaknya harus mencukupi kebutuhan: makan, sanitasi, dan pakaian, untuk keluarga beranggota 4 orang — dengan asumsi hanya punya 2 anak, sedangkan umum bagi golongan ini untuk memiliki anak lebih dari 2 hingga 5 anak. Kalau kamu belum pernah kebayang gimana rasanya hidup dalam kemiskinan, ya mungkin sekarang kamu punya gambaran kasar — glimpse — nya sekarang.

It is true, that most countries around the world have faced poverty problems, and it is understood that developing countries suffer more from this. Kemiskinan telah menjelma sebagai problem yang sangat besar hingga menjadikannya pantas untuk dicantumkan sebagai poin ke 1 SDGs (Sustainable Development Goals), yaitu sebuah statement ‘No Poverty’, dengan berbagai upaya dilakukan dari tahun ke tahun untuk mewujudkannya…

… but the problem looms through. Bahkan 1 dari 10 orang di Indonesia masih menderita ‘penyakit’ ini (Prevelansi statistik kemiskinan, penyakit yang berbahaya ini, bahkan melebihi dari angka kematian Covid-19 lohh!!!). Maka dari itu sepertinya bijak bagi kita untuk kembali ke pertanyaan Duflo:

Is there something fundamentally different about life under extreme poverty?

Menjawab Pertanyaan Duflo,

About the people — Mengenai orang miskin

Looking back to my past experience, I would say that there is no necessarily fundamental difference about people who live under extreme poverty, as I also believe that peoples are the products of their present choices. Tapi jawaban di atas juga merupakan jawaban yang sangat ignoran, biar bagaimanapun, sebagai seorang anak yang hidup dalam keluarga yang miskinbahkan belum ke titik kemiskinan yang ekstrim hanya, miskin — dibandingkan dengan anak yang hidup dalam keluarga yang normal/biasa-biasa saja, perbedaanya bisa jadi sangat mempengaruhi/kentara.

About the condition — Mengenai kondisi kemiskinan

Jawaban Pendek: Ya, ada perbedaan yang fundamental. Peoples are the products of their present choices — orang orang adalah produk dari pilihan mereka di hari ini. Hidup dibawah garis kemiskinan berarti membatasi pilihanmu di hari ini, narasi Rp15.000 tadi menyediakan gambaran kasar yang sempurna untuk hal ini. Tapi tentu saja, artikel ini bukan untuk menyediakan jawaban pendek dan bukan juga untuk hanya menyediakan ‘gambaran kasar’…

Artikel #1 dari Seri Memahami Kemiskinan: Tujuan

Tujuan dari penulisan artikel — terutama seri — ini adalah untuk membantu kamu dalam memahami apa itu kemiskinan, tapi bukan dari segi pengertian — saya percaya Wikipedia bisa menjalankan tugas yang lebih baik untuk itu. Saya akan mencoba menjelaskan kemiskinan melalui lapisan-lapisan rumit dari orang miskin itu sendiri, kedepannya — baik di artikel ini ataupun artikel lain di seri ini — anda akan melihat hal-hal tersebut seiringan dengan pembahasan yang makin mendalam mengenai fenomena yang riil, hasil penelitian dan pada akhirnya ‘solusi’ yang bisa saya tawarkan untuk anda…

Poor People, Their Complexity?

Image source: https://kitabisa.com/campaign/bantuanlansiadhuafahiduplayak, this is still an active fundraising campaign by the time this article published, sympathize? Click the link.

Dengan banyaknya orang yang menganggap bahwa orang miskin adalah mereka-mereka yang digambarkan di laman web UNRefugee atau KitaBisa.com, atau ‘manusia gerobak’, pengemis, atau ‘kakek badut’, adalah wajar dan tidak mengherankan jika solusi yang ditawarkan banyak, banyak banget, oleh orang dan instansi untuk mengentaskan kemiskinan punya sedikit hingga zero impact terhadap orang miskin, maka dari itu, memahami — dengan sangat — ihwal kompleksitas mereka (orang miskin) adalah sebuah keharusan. Disclaimer: Jujur, saya bukanlah seorang expert, tapi tentunya, saya memiliki pengalaman — yang cukup banyak selama 23 tahun, beberapa teori dan pemahaman yang tentunya berasal dari sumber yang baik dan jelas juga.

Hal-hal tersebut, termasuk poin-poin yang akan di bahas di bawah ini mengenai kompleksitas orang miskin — mungkin/mungkin tidak — bisa dipakai untuk pemahaman akurat mengenai kompleksitas orang miskin secara luas, namun, saya percaya itu dapat menggambarkan setidaknya fenomena orang miskin di perkotaan Indonesia, yang mana setidaknya satu poin relates dengan kenyataan hidup mereka. (although I, myself believe that all of the points are related).

#1 Lineage Curse — Kutukan Turunan

Kita tidak bisa memilih siapa orangtua kita, kita mungkin bisa menerima penjelasan rasional paling simpel tentang mengapa orang tersebut miskin dengan pernyataan tadi; karena dia sudah lahir begitu saja ‘miskin’. Sebenar apapun adanya hal itu, terlahir dari keluarga miskin tidak serta merta membuatmu menjadi miskin selamanya, banyak juga kok cerita ‘Si Anak Singkong’ (dari miskin jadi kaya) yang tersebar diluar sana, tetapi, tetap saja ada 9% lebih orang Indonesia yang tidak menceritakan cerita yang sama; mereka punya orangtua yang miskin, dan mereka TETAP miskin. Maka dari itu, adalah hal yang worth untuk mencari tahu sejauh mana ‘terlahir miskin’ mempengaruhi kehidupan seseorang.

We are shaped by our environment.

Behaviorism, sebuah cabang aliran dari psikologi, mengatakan bahwa seseorang dibentuk dari lingkungannya. Pemahaman ini mengasumsikan bahwa perilaku seseorang adalah antara sebuah refleks yang terbangun dari pemasangan antesendan stimuli tertentu di dalam lingkungan, atau sebuah konsekuensi dari sejarah orang itu, termasuk hal utama di dalamnya yaitu kontigensi penghargaan dan hukuman, bersamaan juga dengan status motivasional dan kemampuan mengontol stimulinya di masa ini — HA! pusing-pusing dah bacanya wkwk

Meskipun behaviorist secara garis besar mengakui akan pentingnya garis keturunan dalam penentuan perilaku seseorang, mereka lebih menekankan pengaruh lingkungan dalam hal ini (Wikipedia, 2020). Pandangan ini dapat menjelaskan ‘secara simpel’ mengenai bagaimana kita berperilaku, bagaimana ‘kutukan turunan’ dari ‘darah miskin’ ini bekerja. In a nutshell; Jika kamu lahir dengan ayah yang miskin, yang mana terlahir dari keluarga yang miskin juga, maka kamu terekspos dengan hal-hal yang membuat orangtua atau kakekmu menjadi miskin juga, bisa jadi mereka penjudi (punya kebiasaan buruk/pengelolaan keuangan yang buruk), atau tidak punya nutrisi yang baik untuk berkembang,, atau lifestyle mereka, atau lingkungan yang kotor, selalu dilanda kekeringan, tidak punya peninggalan apa-apa, bodoh, atau apapun — you got the idea.

#2 Stunting All the Possibilities

Have you heard the terms ‘stunting’? 3 dari 10 anak Indonesia mengalami gejala stunting berdasarkan data WHO di tahun 2019. Stunting di sini maksudnya adalah gejala pertumbuhan yang tidak seimbang yang terjadi karena nutrisi yang kurang/buruk, infeksi berulang, dan kekurangan stimulus psikososial anak, biasanya diukur dengan height-for-age oleh WHO. Ya, gejala stunting tersebut memang terasa mengerikan dampaknya untuk anak, mengurangi kemampuan fisik maupun mental dan menurunkan output pembelajaran serta pertumbuhan anak tersebut, yang pada akhirnya mengurangi produktivitas seumur hidupnya. Namun kenyataannya, bahkan jika seorang anak miskin terhindar dari ‘stunting ala WHO’ potensi maksimalnya bisa jadi ‘stunted’ oleh kemiskinan itu sendiri. Seorang anak yang brilian yang mungkin menjadi seorang dokter bisa dengan mudah drop-out dari sekolah dan memilih jadi kasir di Alfamart atau tukang pecel lele — not to disrespect — karena orangtuanya sakit-sakitan dan tidak bisa menyokong adik-adiknya. Saya punya teman masa kecil yang menjadi salah satu atlet badminton terbaik di dunia, tapi tetap saja teman satu gym masa kecilnya tidak berakhir di tempat yang sama — tentu saja bakat dan ketekunannya, Anthony Sinisuka, tidak bisa diragukan lagi sangat berpengaruh besar — tapi tetap saja, dukungan moril dan materil orangtuanya juga berperan di masa awal perkembangan karirnya, yang mana untuk teman satu gym di masa kecil Anthony, hal tersebut mungkin tidak terjadi, talent mereka mungkin sudah ‘mentok’ karena kekurangan nutrisi ketika masih kecil, dan hal-hal lainnya… sementara di waktu itu saya malah asik memunguti kok bekas di lapang badminton tersebut XD

#3 Choices Made, Poorly Made

Not to disregard other factors that have been explained, I do believe that a lot of poor people are poor because ‘they choose to be poor’. Di Bandung contohnya, ada kasus dimana 4 dari 5 keluarga yang hidup di satu atap yang sama — terpisahkan oleh triplek sebagai sekat antar keluarga — memilih pilihan yang cukup ‘pelicular’; daripada menghabiskan BLT (Bantuan Langsung Tunai) mereka untuk membeli kebutuhan pokok, mereka malah menggunakan untuk membeli hal-hal seperti oven baru, kredit daster dari tukang baju keliling (Ya, ada tukang baju keliling, tensi darah keliling, cukur rambut keliling, bank keliling, itu hal umum di perkampungan kumuh) atau untuk mengunjungi kerabat di Limbangan atau Garut atau dimanapun itu, apapun, kecuali digunakan untuk pilihan ‘rasional’ yang ekonom mungkin pikirkan. Saya bahkan pernah berurusan dengan keluarga yang ditinggalkan oleh ayahnya, ibunya seorang IRT, punya 5 anak (1 masih balita) dan hanya memiliki pendapatan dari sang kakek dan nenek yang merupakan pemulung. To make you even bamboozled dengan decision mereka, meskipun 2 dari 5 anak mereka drop-out dari sekolah, keluarga itu punya 2 smartphone dan 1 tablet, dengan televisi dan wi-fi indiehome terpasang di rumah ‘bedeng’ mereka.

All being said, it is somewhat common and humane that a poor family chose these kinds of things. Kita bakalan banyak membahas hal ini di artikel selanjutnya…

#4 The Mobility ‘Ceiling’

Di tahun 2019, SMERU Institute mempublikasikan sebuah paper ilmiah yang menjelaskan bahwa di Indonesia, income penalty untuk seorang anak yang tumbuh dalam kemiskinan adalah 87%. Ini adalah penemuan yang cukup menakutkan: Jikalau kamu lahir dari keluarga miskin, kamu ‘terkutuk’ dan berkemungkinan punya pendapatan 87% lebih kecil dari mereka yang tidak, membuat seolah-olah apapun effort kamu jadi terasa ‘wasteful’ atau secara halus: kurang-ngimpact. Meskipun penemuan riset ini tidak cukup untuk jadi satu-satunya sumber dalam membuktikan hal ini, tetap saja ini membersitkan sebuah fakta tentang orang miskin; bahwa ada ‘mobility ceiling’ — batas mobilitas — yang membuat gaji atau pendapatan anak dari keluarga miskin ‘mentok’ di skala tertentu, yang kabar buruknya adalah asumsi ini secara logika bisa berarti benar…

They are not in ‘the curve’ favor.

Pendidikan, kesehatan, pengalaman, manners, kondisi mental yang sehat, kesejahteraan tubuh/well-being, postur tubuh yang baik, wajah yang good looking dan ‘glowing’, perawatan, nutrisi yang baik; adalah beberapa hal yang orang biasa kategorikan sebagai investasi dalam dirinya. Nah, lagi-lagi orang miskin tidak/susah mendapatkan akses untuk hal hal tersebut, bahkan jikalau mereka mendapatkan akses untuk ‘privileged investments’ tersebut, marginal return dari hal itu bisa jadi tidak sebesar mereka yang tidak miskin. Contohnya, koneksi dalam melamar pekerjaan, manner untuk berinteraksi dengan orang kaya, skincare, adalah hal-hal yang tidak disediakan apalagi secara take it for granted untuk orang miskin, meskipun di masa sekolah hal-hal tersebut tidak terlalu berpengaruh, hal tersebut bisa membuat perbedaan yang kentara di masa depan…

Buatan w sendiri, tanpa itungan statistik, cuma penggambaran asumsi aja biar jelas, kurang lebih begini..

Closing

Artikel ini mungkin tidak terlalu cukup untuk membuatmu benar benar mengerti apa itu kemiskinan dan bagaimana hidup dibawah 1 dollar itu, tapi Saya percaya bahwa artikel ini bisa membuat sketsa yang cukup jelas dan menarik, kenyataan yang jarang orang tahu, mengenai orang miskin. Dengan maksud menutup artikel ini dengan gaya, izinkan saya untuk mengutip sebuah quote yang di dalamnya terdapat kebenaran mengenai kemiskinan:

Poor countries are poor because they are hot, infertile, malaria-infested, often landlocked; this makes it hard for them to be productive without an initial large investment to help them deal with these endemic problems.

Jeffrey Sachs: UN Advisor, Director of Earth Institute Columbia University

--

--