Artikel #2 Keluarga Miskin di Perkotaan

Seri the-read tentang Memahami Kemiskinan

Adi Amirudin
the-read
7 min readFeb 6, 2021

--

A view of a typical high school canteen in Bandung, Indonesia

Daftar Jajanan yang Umum Ditemui di Kantin SMA di Bandung (2012):

1. Pempek (Chewy fishcake with sauce): Rp5,000 (0.52 USD) 🥐

2. Seblak (Chips in spicy sauce): Rp3,000-Rp10,000 (0.31 USD-1.04 USD) 🥣

3. Gorengan (Fries): Rp1,000 (0.10 USD) 🍪

4. Indomie (Instant noodle): Rp3,500 (0.36 USD) 🍜

5. Cimol (Chewy Fries): Rp3,000-Rp5,000 (0.31 USD-0.52USD) 🍡

Harga menggunakan harga tahun 2012, mata uang di konversi dan disesuaikan dengan inflasi tahun 2012.

Kalo kamu lahir di akhir 90'an, kamu mungkin masih ingat berapa jumlah uang jajan kamu. Aku bertanya ke beberapa teman sekolah aku dulu di Bandung soal ini, hasilnya, uang jajan mereka berada dikisaran Rp15,000-Rp100,000 (1.56 USD — 10.4 USD)/hari. Tapi buat Bulbasaur yang tinggal bersama 6 adik-kakaknya, dengan bapak yang punya pendapatan sebesar Rp40,000 (4.16 USD)/hari, dapat uang jajan Rp2,000 (0.2 USD)/hari itu adalah non-negotiable state, mengingat kakak dan adiknya masih sekolah dan kuliah dan mereka juga butuh uang jajan, belum lagi buat makan sehari-hari, adalah tidak bersyukur jadinya buat Bulbasaur untuk minta uang jajannya naik…

Yaa, kira-kira Bulbasaur jadinya cuma beli cimol atau gorengan dalam satu hari, maksimal 2 biji, atau seringkali uang itu dia tabung buat ongkos main ke rumah teman di akhir minggu.

I introduce this article with pocket money on high school students to put up a context on how poor people compared to those who aren’t. orang miskin seringkali mengambil tindakan ekstrim, contohnya uang jajan — ya gimana lagi ya — in order to keep their priorities on track.

Dikarenakan untuk setiap kesempatan itu pasti ada pengorbanan, (economics 101 called it opportunity cost) di dunia yang yang kapitalis ini, orang miskin semakin punya sedikit hal untuk dikorbankan— for instance; family fortune, time, options…

The Opportunity Cost

Bagi keluarga Bulbasaur, demi mengejar kesempatan untuk menyekolahkan 7 dari 8 anak hingga sampai ke tahap Universitas, pengorbanan yang mereka keluarkan adalah; 1. Anak sulung mereka merelakan kesempatan berkuliah dan menjadi TKI untuk men-support keluarganya, 2. Mereka hanya mengonsumsi ayam sekali setiap minggu, dan daging sapi sekali dalam setahun (ketika Idul Adha), 3. Mereka harus menjual berbagai jenis gorengan dan jajanan di sekolah ketika istirahat, Bulbasaur sendiri melakukannya hingga SMP, 4. Mereka harus membagi satu indomie untuk 2 orang, 1 telur untuk 2 orang makan, 5. Mereka harus pergi ke tetangga untuk menonton TV, tidak memiliki kulkas sampai Bulbasaur berumur 20, and the list goes on…

As a disclaimer, the story of Bulbasaur’s family may be the luckiest among the luckless, as there are people who live under extreme living conditions worth to be the cover of UNICEF or UNDP, but we will delve into these stories in the next article: The Mosquito Net Dilemma, while this article will be focused on the phenomenon of urban poor families.

More Than Food, Cheap Luxuries

Namun ada fenomena yang cukup unik yang terjadi, ketika keluarga Bulbasaur mengorbankan banyak bagian dari kebutuhan rekreasi dan ‘luxuries’ kasusnya tidak demikian bagi tetangga-tetangganya. Mereka tinggal di pemukiman kumuh yang sama, with pretty much the same income level — kebanyakan dari mereka merupakan pekerja bergaji rendah, kuli bangunan atau ‘serabutan’ — tapi mereka memperihatkan pendekatan yang lain terkait cara mereka mengelola pengeluaran keluarga dan bagaimana mereka berurusan dengan kemiskinan mereka.

Dalam hal pengeluaran keluarga, banyak dari mereka menghabiskannya seperti ini; keluarga-keluarga ini menghabiskan lebih dari 40% pendapatan mereka untuk uang jajan anak mereka, uang jajan istri, atau konsumsi berlebihan lainnya seperti kredit baju, kredit hp, rokok, arak, atau mengikuti arisan, hal-hal yang tidak berhubungan dengan perbaikan kondisi ekonomi mereka.

Pengeluaran mereka seringkali offset dari pendapatan mereka, yang mana nantinya mereka terpaksa meminjam uang ke bank keliling jikalau ada keperluan mendesak, tentu saja, dengan bunga yang tinggi — bisa sampai 3% per bulan atau 42% per tahun. Jadinya, ketika mereka mendapatkan ‘uang segar’ dari bantuan pemerintah atau menang arisan, mereka pakai uang itu untuk melunasi utang-utang mereka, atau justru ‘gali lubang tutup lubang’ dengan utang lain…

I’ve nudged about this in my earlier article: Understanding Poverty #1: What it Means to be A Poor, dan berbicara mengenai keluarga miskin yang memiliki broadbands connections dan smartphones, meskipun beberapa anak dari keluarga tersebut justru drop out dari sekolah. Hal-hal seperti ini yang Aku sebut dengan ‘poor-people-pretending-to-be-not-to’, dan hal ini tidak hanya terjadi di Bandung, kota lain juga mengindikasikan fenomena yang mirip…

Teman saya pernah bercerita tentang perilaku petani di kampungnya, ketika program pinjaman mikro pemerintah keluar, mereka bersatu dan membuat semacam badan koperasi untuk mengajukan kredit. Hasilnya, kredit turun, dengan besar dari bagian kredit yang ditujukan untuk pembelian pupuk, traktor, dan benih masuk ke kantung pribadi mereka, berubah menjadi baju baru atau apapun yang orang mungkin akan kategorikan sebagai ‘konsumsi’ atau ‘kurang produktif’ dibanding pupuk dan padi.

Terakhir, supaya tidak terkesan pembohong karena menghadirkan contoh dari pengalaman pertama, saya akan mencantumkan cerita yang saya kutip dari Poor Economics karya Esther Duflo & Abhijit Banerjee yang kurang lebih menggambarkan hal yang sama..

We asked Oucha Mbarbk, a man we met in a remote village in Morocco, what he would do if he had more money. He said he would buy more food. Then we asked him what he would do if he had even more money. He said he would buy better-tasting food. We were starting to feel very bad for him and his family, when we noticed a television, a parabolic antenna, and a DVD player in the room where we were sitting. We asked him why he had bought all these things if he felt the family did not have enough to eat. He laughed, and said, “Oh, but television is more important than food!”

They already poor, why did you do that? Why spreading bad stigma about them?

Why Spreading Stigma?

Sebelum Aku dimaki karena terkesan menyebarkan stigma buruk terhadap orang miskin, Aku akan mengingatkan kalian bahwa hal ini adalah berdasarkan kejadian nyata dan riset dari institusi sekelas J-PAL, dengan peneliti-peneliti dari MIT mereka. Dan to be fair, praktek yang orang-orang miskin ini jalankan sebenarnya adalah wajar dan manusiawi, yang artinya dengan penjelasan dan analisa, Aku percaya kita semua bisa mengerti kenapa hal-hal ini terjadi. Part ini akan memberikan penjelasannya.

It is boring to be a poor. It is even more boring to be a poor in an urban situation. Sebagai bocah kamu tentu tidak mau datang ke sekolah tanpa tahu episode Itachi yang akhirnya menjelaskan alasan kejahatannya ke Sasuke, atau hanya memandangi teman kamu bermain dengan byakugan, crushgear, atau bahkan PubG mobile untuk anak SD yang lebih modern, berharap diberi giliran untuk bermain, dan hal-hal tersebut sangat; well, sucks. Hidup jadi lebih dan lebih boring lagi ketika kita tidak memiliki akses terhadap rekreasi yang selalu tersodor di pelupuk mata kita, sama halnya dengan Kamu yang merasa bosan pandemik di rumah terus sementara teman kamu somehow enak-enakan jalan-jalan.

Apalagi untuk para Ibu Rumah Tangga, setelah melakukan tugas harian, mereka secara teknis menganggur, belum lagi ditambah beban pikiran dan stress akan kondisi keuangan dan hal lainnya, jadi, di pikiran orang-orang miskin, bisa merasakan ‘cheap luxuries’ adalah hal yang membuat mereka bahagia dan sedikit ‘lupa’ akan kemiskinan dan masalah mereka.

And that’s exactly what these poor people in the earlier examples are buying. Their need for a pleasant life, the things that make their life felt less boring. Tentu saja, ada banyak dari mereka yang rela mengorbankan ‘cheap luxuries’ tadi dengan sebuah harapan (yang belum tentu terwujud) untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang, tapi untuk mereka yang tidak melakukannya, sebuah kutipan dari Poor Economics mungkin bisa membantu Kamu mengerti kondisi mereka:

We are often inclined to see the world of the poor as a land of missed opportunities and to wonder why they don’t put these purchases on hold and invest in what would really make their lives better. The poor, on the other hand, may well be more skeptical about supposed opportunities and the possibility of any radical change in their lives. They often behave as if they think that any change that is significant enough to be worth sacrificing for will simply take too long. This could explain why they focus on the here and now, on living their lives as pleasantly as possible, celebrating when occasion demands it.

Apparently, The Lessons is Not in Here

For those who wonder about what this article tells you in terms of poverty alleviation, I would say that this article is not telling you that much (I’m sorry).

Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengupas lembaran mengenai perilaku orang miskin yang terkadang tidak/jarang di jelaskan oleh orang lain. Teruntuk mereka yang punya excitement untuk belajar lebih banyak mengenai apa itu kemiskinan dan bagaimana orang miskin itu, Aku sarankan untuk:

  1. Jika menyukai bacaan ‘berat’ Aku sarankan: Poor Economics by Esther Duflo and Abhijit Banerjee
  2. Jika suka novel, Aku sarankan: Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Angela’s Ashes karya Frank McCourt
  3. Jika suka film, Aku sarankan: Grave of Fireflies dari Studio Ghibli.

Trailer untuk artikel selanjutnya di Seri Memahami Kemiskinan:

The 3rd article will be about the mosquito net dilemma, an economic view on how we dealt with poverty, the 4th will be about education and its impact on poverty (rather a ‘basic’ discussion but enthralling) and the 5th and the 6th will discuss in what can we do if we do wants to end poverty, what kind of actions that possible in individual, collective, or a bigger collective-bodies to take.

I want to be rich, as rich as possible.

Bulbasaur’s little sister, currently a student in an Indonesian University

BONUS: A cute photo of Kaonashi that has nothing to do with this article.

Photo captured by UU and Jayatian

--

--