Anak dalam Cengkraman Prostitusi Online
Berbaju merah selutut dan berjilbab hitam, S (16), berjalan memasuki kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulawesi Selatan. Rabu (5/10/2017) sore itu, S menjinjing tas cokelat. Bersamanya, tiga perempuan lain turut serta.
Ia baru saja tiba dari Ambon, Maluku dan langsung digiring ke kantor P2TP2A. S korban perdagangan manusia yang pelakunya tak lain kerabatnya sendiri. Ia diselamatkan setelah berhasil melarikan diri dan melapor ke pihak berwajib di Maluku.
Alita Karen dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulawesi Selatan yang mendampingi S berkata, korban beruntung karena belum sempat dijadikan pekerja seks. Selama dua bulan di Maluku, S selalu mencari cara melarikan diri dengan menghubungi keluarganya.
Berkat bantuan banyak pihak, rencana S pulang terlaksana juga. Kini ia dikembalikan ke keluarganya dan kembali melanjutkan sekolah.
Kasus yang menimpa S jadi bukti praktik perdagangan manusia ada di sekitar kita. Pun kebanyakan para korban masih berusia anak-anak. Modus penjualan S, memadukan cara konvensional dan bantuan teknologi informasi.
Kerabat yang menjual S mendekatinya lalu menjanjikan pekerjaan di sebuah cafe di Ambon. Fotonya lalu dikirim menggunakan aplikasi pengirim pesan WhatsApp ke seseorang yang siap menerimanya di sana. Setelah sepakat, proses keberangkatan pun dilakukan.
Tapi di cafe itu, pekerjaan yang dibebankan ke S tak seperti yang dijanjikan. Di sana tempat kerja S tidak menyediakan kopi, kecuali minuman beralkohol. Ia pun bekerja dengan pakaian minim, terbuka. Beberapa kali dia dipaksa menemani tamu, sampai diajak untuk meladeni syahwat pelanggan. Tapi S, selalu mencari alasan untuk menghindar.
Per April 2016 lalu, KPI juga mencatat, sebanyak tujuh orang berhasil dipulangkan dari Maluku ke Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka berada di Maluku sejak 2015 dan terjaring operasi rutin Polda Maluku. Ketujuh orang itu masih berstatus anak dengan usia antara 15 hingga 17 tahun. Modus perekrutan mereka sama dengan “S”, via media sosial.
Menurut Alita Karen, Makassar kini menjadi zona merah perdagangan manusia. Dengan letak geografis yang strategis, Makassar tak hanya menjadi daerah tujuan, tapi juga tempat transit dan pemasok korban perdagangan manusia. “Alur penyelundupan biasanya melalui pelabuhan umum yang ada di Makassar dan Kota Parepare,” tegasnya.
Data Komisi Perempuan Indonesia Makassar sejalan dengan data kepolisian. Menurut Kepolisian jumlah kasus perdagangan manusia terus meningkat. Jumlah kasus yang semula empat pada 2015, terus naik menjadi lima kasus pada 2016. Jumlah korban saat itu mencapai 475 orang.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga mencatat, kasus kekerasan perempuan dan anak sepanjang 2016 terjadi 297 kali, naik signifikan di tahun 2017 menjadi 770 kasus per Oktober. Data T2TP2A memang belum dipilah antara kasus perdagangan manusia atau kekerasan lainnya. Tapi kebanyakan korban adalah anak-anak dan perempuan.
Berbeda dengan modus sebelumnya, kasus perdagangan manusia di Sulawesi Selatan kini tak lagi berlangsung dengan cara getuk tular atau lewat mulut ke mulut dan menggunakan percakapan via telepon. Di provinsi selatan pulau Celebes ini, praktik perdagangan manusia berbentuk sajian prostitusi yang berlangsung dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi atau daring. Aplikasi media sosial seperti yang juga berlangsung di Jawa, Bali dan Sumatera.
Di Makassar dan sekitarnya, media sosial menjadi salah satu medium yang masif digunakan pelaku bisnis perdagangan manusia. Kasus pertama yang berhasil dibongkar terjadi pada 2015 dengan pelaku utama bernama Azis alias Azizah atau Cizza. Dua bulan kemudian Wahyu Bongka pelaku lain juga ditangkap. Keduanya saling mengenal, namun menolak disebut satu jaringan.
Modus yang digunakan Azis dan Wahyu kala itu dengan mengirimkan foto perempuan ke aplikasi BlackBerry Messenger (BBM) pelanggannya. Jika si pemesan merasa cocok, transaksi kemudian dilanjutkan dengan bertemu langsung di sebuah hotel.
Pembayaran akan diterima tunai, bisa pula melalui transfer bank. Lalu Azis dan Wahyu akan menerima komisi setiap transaksi yang berhasil dilakukan. Keduanya juga memasarkan beberapa anak di bawah umur. Namun khusus Azis, ada ratusan orang yang dijualnya.
Menelusuri Prostitusi di Sosial Media
Dari jauh ia berjalan sembari matanya sibuk mencari orang yang hendak menemuinya. Maklum, sebagai tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Makassar, kedatangan pengunjung jadi sesuatu yang menggembirakan.
Setelah melempar senyum dan mengangkat tangan sebagai tanda. Ia berjalan mendekat dalam balutan baju tahanan berwarna oranye. Azis nampak berbeda dengan tahanan lain yang berbaju biru, yang hari itu dapat giliran kedatangan penjenguk.
Setelah basa basi ia kemudian menceritakan kronologis penangkapannya. Ia ditangkap polisi saat berada di Kabupaten Bulukumba yang 187 kilometer dari Makassar. Di Sulawesi Selatan, Bulukumba termasuk daerah tujuan wisata. Yang membuatnya kaget, orang yang menangkapnya adalah bekingnya selama ini.
“Dia (polisi) juga kaget, karena mengangap yang ditangkap bukan saya. Saat itu saya memang mengganti semua kontak karena telah dapat info sedang diburu,” katanya.
Padahal, kata Azis, orang itu juga sering memesan perempuan jika kedatangan tamu. “Saya tahu beberapa pejabat, aparat hingga pengusaha yang sering memesan, karena pelanggan saya memang banyak dari kalangan itu.”
Dengan rata-rata komisi 500 ribu rupiah per pesanan, Azis menjual perempuan dengan harga beragam. Mulai dari kisaran Rp1,5 hingga Rp3,5 juta untuk waktu singkat atau short time. Namun tidak jarang ada yang harganya sampai Rp10 juta untuk kencan semalaman. Dia mengklaim para pelanggannya adalah kalangan menengah ke atas.
“Soal penghasilan, intinya semua barang branded sudah saya miliki, rumah, mobil dan barang-barang lainnya,” kata lelaki yang mengaku sudah tiga tahun melakoni bisnis itu.
Sejak tertangkap, banyak aset atau harta miliknya yang lepas. Termasuk uang suap Jaksa sebesar seratus juta rupiah yang dibawa kabur kerabatnya. Dalam persidangan, hakim memvonis dia hukuman penjara tiga tahun dari 10 tahun tuntutan jaksa.
Pekerjaan Azis di dunia hiburan membuka jalan mulus untuk mengembangkan bisnis prostitusi. Ia banyak dikenal orang. Juga sering berganti-ganti profesi, termasuk jadi penyelenggara acara di tempat hiburan malam. Kiprahnya kian tersamarkan setelah ia menjadi penyalur sales promotion girl (SPG) untuk beragam kebutuhan.
Foto-foto SPG itulah yang dikumpulkan dalam group BBM. Dia senang menjual orang dengan dalih mendatangkan banyak uang dalam waktu yang singkat. “Saya bahkan saat itu punya dua PIN BBM karena jumlah pertemanan yang sangat banyak,” aku Aziz dengan santai.
Dari pekerjaan ini, dalam sebulan Azis bisa mengantongi penghasilan Rp15 hingga ratusan juta. Memang kata dia, tidak menentu, namun jika pesanan sedang ramai, penghasilannya juga kian besar.
Kepada Independen.id dia juga mengaku tidak mencari korban dengan sengaja. “Mereka yang datang suka rela untuk dipromosikan, bahkan mengirim fotonya tanpa saya minta,” katanya tegas sembari memperbaiki posisi badan.
Menurut Azis, modusnya kala itu tergolong lawas dalam dunia prostitusi. Sebab saat ini penyebaran dan cara pemasaran praktik prostitusi kian beragam, seiring bertumbuhnya aplikasi media sosial. Yang tak banyak berubah hanyalah pelaku, sekaligus penyedia jasanya.
“Kadang yang terlihat mereka bekerja sendiri, kenyataannya mereka tetap punya jaringan,” tutur pria berkawat gigi itu. Ia juga mengaku tetap bebas menggunakan aplikasi media sosial meski tinggal dalam jeruji. Ia juga kenal terpidana lain dalam kasus serupa dengannya.
Keterangan Azis mirip dengan cerita Amiruddin alias Amir Aco. Terpidana mati kasus narkoba yang di tahun 2016 lalu kedapatan melakukan hubungan seks dengan seorang remaja berseragam sekolah di Lembaga Pemasyarakatan Makassar. Semua komunikasi saat itu dilakukan melalui gadget dan remaja bersangkutan dengan mudah melenggang masuk.
Guna membuktikan beragam modus yang digunakan pelaku prostitusi online, Independen.id melakukan penelusuran melalui Facebook dan Twitter. Dengan bermodalkan kata kunci khusus, seperti open booking (BO) atau bispak (bisa pakai), keberadaan prostitusi online dengan mudah ditemui.
Ada grup terbuka dan tertutup dengan verifikasi yang ribet agar bisa bergabung. Bahkan lebih spesifik, beberapa group ada yang khusus menyediakan anak usia sekolah. Lewat penelusuran pula diketahui, tak semua grup benar-benar menyediakan teman kencan. Ada juga yang merupakan jaringan penipuan berkedok prostitusi.
Di Twitter beberapa akun germo berdalih hanya sebagai alat promosi akun perseorangan yang menyediakan jasa. Seperti akun milik @DaengSexMKS. Hanya saja setelah ditelusui lebih jauh, akun-akun ini masih saling berkaitan.
Independen.id menganalisis akun-akun tersebut menggunakan Tweetreach. Khusus @DaengSexMKS, akun germo ini, memiliki 22 kontributor tetap. Akun @LittleBitBite_3 yang merupakan akun germo dengan pengikut 31.400 orang jadi yang paling aktif bekomunikasi dengan @DaengSexMKS. Sedangkan akun @athalia_nelly2 (Avail Makassar) jadi yang paling sering melakukan retweet. Mereka juga terhubung dengan akun lain di kota berbeda, seperti Jakarta, Palembang, Bandung dan lain-lain.
Akun atas nama Yunitha Oching di Facebook bahkan lebih canggih modus operandinya. Di beberapa grup ia terlihat sangat aktif mempromosikan gadis perawan dan masih sekolah. Namun pada linimasanya, dia merupakan pemilik konter pengisian pulsa.
Setelah dikontak melalui pesan pribadi, akun menyatakan bisa menyediakan beberapa perempuan. Namun lokasinya sedang tidak di Makassar. Mereka hanya meminta janjian dengan timnya yang kemudian melakukan transaksi langsung. Memang belum bisa dipastikan, apa yang dilakukan Yunitha Oching ada kaitan dengan gandrungnya pengguna telepon seluler menerima pesan singkat jasa chat sex.
Masih ada banyak lagi modus yang digunakan pelaku prostitusi online. Tidak sedikit yang menggabungkan cara konvensional seperti yang menimpa S.
Independen.id kemudian berhasil mengajak ketemu seorang remaja putri dengan perantaran aplikasi Beetalk. Remaja yang mengaku masih sekolah itu, dengan mudah diajak bertatap muka di sebuah hotel meski sudah malam. Selain Beetalk, ia juga menggunakan beberapa aplikasi lainnya.
“Saya pakai Wechat, karena punya kemampuan mencari orang terdekat,” katanya.
Beberapa aplikasi sosial media yang ia gunakan merupakan rekomendasi teman-temannya. Katanya, biar terlihat gaul. Walau ia mengaku bukan pekerja seks. Ia tetap mau diajak bertemu. Bahkan dengan orang yang tak dikenalnya.
Prostitusi Anak Sudah Mengkhawatirkan
Makmur Payabo memperbaiki posisi duduknya ketika bicara masalah prostitusi anak di Makassar. Direktur Eksekutif Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar itu memberi predikat sangat mengkhawatirkan untuk kasus prostitusi anak di ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
Ia pernah melakukan penelusuran praktek prostitusi online di kalangan anak sekolah. Salah satu yang membuatnya tercengang, ketika menemukan seorang tukang parkir mengantongi 50-an nama siswa yang siap diperdagangkan.
Tukang parkir tersebut menurut Makmur tidak bekerja sendiri. Ada orang lain yang bekerja mencari pelanggan. Ia hanya bertugas mendekati pelajar bersangkutan dan mengirimkan fotonya ke orang diatasnya. Orang itulah yang mencari pelanggan lalu memberi komisi ke tukang parkir bersangkutan.
Ada pula yang dijual oleh pacarnya setelah sebelumnya melakukan hubungan badan. “Biasanya anak-anak tersebut mendapat ancaman akan dipermalukan jika tidak menuruti kemauan sang pacar, alhasil ia terjebak dalam bisnis tersebut,” katanya.
Tidak sedikit pula kata dia yang dijual oleh temannya sendiri. Bahkan beberapa kasus yang ditangani LPA Makassar bermula dari hubungan sesama jenis. “Yang memilukan, karena di Makassar juga sudah ada anak yang dijual oleh bapaknya sendiri,” kata Makmur.
Bapak tersebut membuat akun Facebook untuk anaknya yang menderita tuna rungu. Ia memanfaatkan kecantikan anaknya untuk mencari uang. Melalui promosi di sosial media, anak tersebut ditawarkan ke beberapa orang bahkan fotonya sering berseleweran di gadget orang-orang.
“Padahal kalau dipikir, mereka dari keluarga yang berada, namun tega melakukan itu karena si anak merupakan hasil perceraian dan menderita keterbelakangan.”
Anak berusia 14 tahun itu untuk beberapa lama ditampung di rumah aman LPA sebelum akhirnya dikembalikan ke orang tuanya. Hingga sekarang keberadaan mereka tetap dalam pengawasan polisi.
LPA mencatat, 95 persen dari kasus prostitusi anak baik dengan cara tradisional maupun online dilakukan oleh kerabat terdekatnya sendiri. Aktivitas mereka akan meningkat apabila ada perhelatan besar di Makassar. Biasanya anak-anak tersebut terpengaruh oleh temannya.
“Kalau ada konser, mereka juga mau ikut namun tidak berani meminta uang ke orang tuanya, jadilah jalan ini dipilih,” kata Makmur.
Soal pola bisnis prostitusi anak, Makmur menjelaskan mirip skema multi-level marketing (MLM). Setiap jenjang akan punya komisi masing-masing, semakin besar jaringannya akan semakin banyak penghasilannya. Hal ini dibenarkan juga oleh Azis. Namun siapa orang di balik semua ini, masih sumir.
Geegee dari Global Inklusi untuk Penderita AIDS (GIPA) Makassar yang kerap bersentuhan dengan pekerja seks mengatakan, ada kekuatan besar di balik bisnis tersebut. Meski tak menyebutnya, namun jaringan prostitusi di Indonesia saling berkait satu sama lain.
“Mereka yang beroperasi sendiri pun tidak begitu saja terjebak dalam pusaran prostitusi, selalu ada orang di depannya,” katanya.
Memang setiap orang yang terlibat dalam bisnis prostitusi punya beragam alasan. Tingginya angka kesenjangan sosial di Sulawesi Selatan dinilai ikut memacu berjamurnya bisnis ini. Pada 2016 contohnya, rasio gini Sulawesi Selatan menjadi juara di Indonesia dengan bertengger di urutan pertama sebesar 0,43 persen.
Sedangkan pengguna internet di Pulau Sulawesi berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencapai 8,4 juta di tahun 2016. Sebagian besar ada di Sulawesi Selatan. Sedang dari 132,7 juta pengguna secara nasional, 18,4 persen diantaranya didominasi usia 10 hingga 24 tahun.
Kondisi ini tidak sejalan dengan pertumbuhan literasi masyarakat. Khususnya dalam menggunakan sosial media. “Sehingga sangat rentan, anak usia sekolah terjerumus dalam bisnis ini karena ikut-ikutan dan rasa ingin tahu yang tinggi, juga biar tidak dianggap ketinggalan jaman,” kata Makmur.
Melalui berbagai jaringan, Independen.id berhasil menemui AB. Ia merupakan pelanggan yang kerap memesan perempuan lewat online. AB mengatakan, ia memang lebih nyaman ketika bertransaksi lewat daring. Pilihannya juga banyak. Bahkan, jika tidak melalui perantara harganya relatif murah.
Pria dengan cincin di jari manis itu kerap memesan perempuan lewat jalinan pertemanan. Namun sekali dua kali ia juga mencari sendiri lewat gawai. Jika nomor telepon telah ia kantongi, komunikasi selanjutnya dilakukan di aplikasi WhatsApp.
“Biasanya dikirimi 10 foto, saya sisa memilih. Harganya Rp500.000-an kalau lewat germo,” tuturnya.
Baginya, keamanan dan kerahasiaan identitas jadi alasan dia memilih transaksi online. “Kami tidak saling mengenal, karena lebih sering komunikasi satu arah. Saya tahu mereka, mereka tidak tahu saya, ketemunya saat di lokasi saja.”
Dari berbagai perempuan yang pernah dipesannya, kebanyakan mahasiswi. Namun juga pernah dengan gadis sekolahan. Harga anak sekolah yang tinggi membuatnya tidak sering-sering memesan mereka.
Kemudahan yang diberikan media sosial memang memungkinkan terjadinya banyak transaksi terselubung itu. Penyebaran prostitusi online bahkan tidak hanya pada sosial media yang lebih personal. Situs dengan domain publik atau forum, kerap pula dijadikan tempat bertransaksi. Seperti Kaskus misalnya.
Forum bertemunya banyak kepentingan itu, di salah satu postingannya mewadahi praktik prostitusi online. Bahkan lebih spesifik ke daerah, seperti Makassar. Postingan berjudul Share All About ++Makassar itu menjadi wadah bertukar informasi tentang prostitusi di Makassar.
Customer Service Officer Kaskus ketika dikonfirmasi Independen.id mengatakan, kewenangan soal postingan atau thread sepenuhnya ada di tangan moderator, regional leader atau Kaskus support.
Meski begitu, pengguna bisa pula menggunakan fasilitas ‘lapor hansip’ jika menilai postingan tersebut mengandung unsur-unsur yang dilarang. Kewenangan penuh yang diberikan ke penggunakan ini membuat ada kelonggaran dalam kebijakan Kaskus. Thread tentang aktivitas prostitusi di Makassar yang ada di forum itupun belum dihapus hingga kini, padahal sudah sejak tahun 2015 ditutup untuk komentar.
Selain Kaskus, adapula beberapa blog dan situs yang isinya segala hal tentang prostitusi. Mulai dari info macam gadis terapis yang paling top di Makassar, hingga tutorial bagaimana bertransaksi dengan beragam jasa tersebut. Hanya dengan kata kunci spesifik, keberadaan mereka mudah dilacak melalui laman pencari Google.
Peningkatan tak Sejalan Penindakan
Jika benar yang dikatakan Makmur Payabo, bahwa prostitusi online terutama anak di Sulawesi Selatan sudah sangat mengkhawatirkan. Hal itu menjadi ironi, sebab Kepolisian baru membongkar lima kasus serupa di tahun 2016.
Sistem kepolisian yang menunggu laporan atau tidak jemput bola menjadi alasan kuat lambannya polisi mengatasi kasus prostitusi online. Hal ini dibenarkan sendiri Direktur Reskrim Khusus Polda Sulawesi Selatan, Kombes Yudhiawan Wibisono kepada Independen.id. Polda Sulawesi Selatan sebenarnya sudah memiliki Cyber Crime Reskrim Khusus, namun fokus kasus yang disoroti juga beragam. Misalnya disibukkan oleh pelaporan masalah ujaran kebencian dan kasus penipuan. Sedangkan prostitusi online, masih ditangani Reskrim Umum. “Jika laporan masuk ke mereka (Reskrim Umum), kasusnya baru ditindaklanjuti Cyber Crime jika perlu analisis digital,” katanya.
Tapi Polda Sulawesi Selatan telah membentuk tim khusus berantas praktek prostitusi online. Tim ini berada dibawah Reskrim Umum dengan dikomandoi Kompol Suprianto. Kepala Subdit IV Unit Pelayanan Perempuan dan anak (PPA) Reskrim Umum Polda Sulawesi Selatan.
Sejak dibentuk awal 2017, tim ini telah berhasil menangkap tiga orang yang dianggap sebagai mucikari. Salah satu diantaranya Bayu Munsir alias Ummi Jubaedah. Dia adalah pegawai non PNS di lingkup Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar. Dua rekannya Kahar dan Muh Idris ditangkap berselang sehari penangkapan Bayu.
Suprianto mengatakan, guna menekan angka prostitusi online di kalangan anak sekolah, polisi sudah berulang kali melakukan sosialisasi. Termasuk mendatangi langsung sekolah-sekolah dan mengkampanyekan sosial media sehat.
“Kami memang kesulitan melacak praktik prostitusi online, kalau bukan laporan yang masuk atau dilakukan penyamaran, maka tidak mudah membongkarnya,” kata Suprianto.
Kenyataan ini membuat, internet akan terus terbuka untuk praktik prostitusi. Andi Fauziah Astrid, Pemerhati Media Sosial menitikberatkan pengawasan di tangan orangtua. Ia mengatakan, remaja putri khususnya, bisa menghabiskan 3 hingga 5 jam di akhir pekan untuk menyebarkan kegiatan pribadinya di sosial media.
“Orangtua jangan membiarkan anak remajanya bermain media sosial tanpa pengawasan. Jangan sampai mereka tergoda untuk posting hal yang sifatnya vulgar dan mengarah ke pornoaksi,” kata dia.
Yang menyedihkan kata Fauziah, karena banyak anak-anak lebih ahli menggunakan teknologi dari orangtuanya. Sehingga fungsi pengawasan ini tidak berjalan baik. Pendidikan dan peningkatan literasi media juga harus ditingkatkan. Hanya dengan begitu, anak remaja khususnya perempuan punya filter sendiri ketika bersosial media.
Kekhawatiran banyak pegiat hak anak akan prostitusi online memang beralasan. Data National Human Trafficking Resource Center di Amerika menyebut, bahwa 70 persen prostitusi di negara tersebut dilakukan melalui sarana internet. Sebagian besar korbannya pun anak-anak.
Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2015 juga melansir data jumlah korban prostitusi online mencapai 96 orang. Tertinggi dari jenis trafficking dan eksploitasi anak lainnya. Anak sebagai korban Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA) di tahun itu saja, 61 orang. Padahal 2015 pengguna internet di Indonesia belum sebesar saat ini.
Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia dalam laporannya di tahun 2016, tentang perdagangan orang mengatakan, Indonesia sebagai salah satu negara asal utama, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak untuk menjadi pekerja paksa dan korban perdagangan seks. Sekitar 1,9 juta dari 4,5 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri dianggap rentan mengalami beragam bentuk kekerasan.
Iming-iming penghasilan besar tanpa perlu kerja berat membuat bisnis prostitusi secara daring kian populer. Ditambah pula dengan minimnya pengawasan semua pihak, arus deras bisnis ini membuatnya makin sulit dibendung.
Alita Karen selalu berharap, dibangunnya setiap pagi, tak lagi ada laporan anak-anak yang senasib dengan S. Begitupun dengan S, yang mulai lagi menata hidup dengan kembali ke bangku sekolah. Dia berharap, tak ada lagi anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia seperti dirinya.
Karena anak juga punya hak yang sama dengan yang lainnya. Mereka bukan milik orang tuanya, sehingga bebas diapakan saja. Mereka seharusnya sekolah, bukan jadi barang dagangan. “Kesempatan jadi korban perdagangan manusia bisa datang dari mana saja, teknologi satu diantara yang sering disalahgunakan, sebaiknya semua bijak menyikapi kemajuan,” tegas Alita.
Laporan ini pertama kali diterbitkan di Independen.id dalam empat seri. Laporan ini pula mendapat dukungan dana dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara melalui fellowship liputan “Kekerasan terhadap Perempuan Melalui Siber”.