Mengunjungi Muncikari di Dalam Penjara
“Tunggu sampai jam besuk dibuka kembali ya,” kata Ahmad Lamo kepada saya. Itu artinya masih satu jam lagi.
Antara lapar dan adrenalin yang membuncah, saya tak banyak melakukan apa-apa. Setelah membeli sekaleng minuman dingin di warung, saya bergabung dengan pengunjung lainnya. Duduk di bawah kanopi yang tetap panas terpapar matahari.
Siang itu, debu entah mengapa sangat mudah tersapu angin. Hujan memang telah lama tak bertamu ke bumi. Sendalu yang seharusnya menenangkan malah jadi mengerikan karena menerbangkan ribuan mikroba.
Selama menunggu, tangan saya kian basah dan kaki yang terus bergerak bak tukang jahit. Situasi itu membuat saya seperti sedang menunggu jawara koboi di masa-masa Wild West Amerika. Antara saya yang akan menembaknya dulu, atau saya yang malah di kubur lebih cepat.
Ini memang kunjungan yang aneh. Selain pertama, juga yang dicari tak tahu rupanya seperti apa. Bermodal nama dan catatan kasusnya, saya nekat menemui orang asing ini. Untuk sekedar tahu, apa dan bagaimana ia menjalankan kejahatan yang membuatnya meringkuk di penjara.
Seorang anak berusia dua tahun tiba-tiba menyentuh paha saya. Dia melihat, saya pun membalas. Ia tersenyum, saya senyum balik. Setelah itu ia berlari menemui ibunya. Di sisi lain kursi panjang yang kami duduki.
Anak kecil yang belum fasih bicara itu seakan mengirim pesan untuk tenang saja. Ia dan ibunya datang menemui sang ayah yang dipenjara karena kasus pencurian. Saya tahu, karena akhirnya bercerita dengan sang ibu. Ia orang Makassar dan ini tahun kedua suaminya dipenjara.
“Pasti mi sulit hidup tanpa suami yang cari nafkah,” katanya sambil menatap nanar wajah anaknya. Di tangannya ada jaket merah dan mainan senjata. Ia juga bawa rantang makanan untuk sang suami. Isinya ikan cakalang tumis dan sayur tuttu.
Katanya, itu kesukaan suaminya. Meski telah melakukan kesalahan. Ia tak marah dan telah memaafkan segalanya.
Toa besar di ujung pekarangan telah memanggil para pembesuk untuk masuk. Saya mengajak mereka berdua untuk beranjak. Tapi membiarkan saya pergi terlebih dahulu, alasannya masih harus membereskan ini itu.
Setelah melewati pintu besi yang tebal. Saya menemui seorang petugas perempuan. Ia menanyakan nama lengkap tahanan yang hendak saya jenguk. Ternyata, hari itu bukan jadwal yang bersangkutan menerima tamu. Ia sempat meminta untuk kembali Rabu mendatang.
“Semua sudah diatur Pak Lamo,” kata saya tak ingin sia-sia.
Ia kembali sibuk dengan berkas-berkas di depannya. Lalu menghubungi seseorang di ujung telepon. Beberapa saat kemudian, ia mempersilahkan saya melewati pintu x ray. Petugas lainnya memeriksa tas yang saya bawa dan handphone ia minta di titip di loker.
Saya keberatan. Karena alat itu akan sangat berguna saat ketemu dengan Azis. Orang yang dua pekan belakangan saya pelajari dan cari tahu asal usulnya. Ia kemudian membolehkan dengan syarat selama di dalam akan terus didampingi.
Setelah dari pintu x ray, saya diminta berjalan sekitar 20 meter ke dalam. Menuju gedung lain di kawasan itu. Lagi-lagi tembok tebal dan pintu besi terlihat. Setelah menunggu hingga dua puluhan orang berkumpul, baru pintu itu dibuka.
Seseorang berbadan tegap menghampiri. Ia orang yang akan mendampingi saya selama di dalam. Ia polisi yang kebetulan di tempatkan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Makassar. Saya berupaya mengakrabkan diri dengannya.
Masih ada satu pintu besi yang harus saya lewati. Tapi tangan saya harus dicap basah terlebih dahulu. Setelah masuk, saya kaget karena dalam ruangan itu ada banyak bilik-bilik.
“Ini untuk warga binaan yang sudah berkeluarga,” kata sang pendamping sambil menunjuk bilik-bilik itu.
Awalnya saya pikir akan bertemu Azis di ruangan tersebut. Potongan adegan Derek Vinyard dikunjungi Doris ibunya dalam film ‘American History X’ terbayangkan. Kami akan bertemu sambil bertatapan dan bicara lewat sambungan telepon. Ternyata tidak.
Ia menggiring saya mengitari ruang itu. Di sudut terluar ada sepotong lapangan yang dibatasi tembok dengan celah-celah besi. Lagi-lagi saya membayangkan gelapnya penjara Thailand di film ‘A Prayer Before Dawn’. Bagaimana Billy Moore bertemu dengan Patumsuk yang tersiksa dari bilik kecil.
Tidak. Kami terus berjalan melewati ruang perkantoran. Menuju sepotong lapangan kecil yang saya lihat sebelumnya. Ada kanopi besar dengan hanggar yang luas. Di sudutnya beberapa kedai penjual makanan dan minuman tersedia.
Beberapa lelaki berbaju coklat dengan sigap membentangkan terpal biru. Setelah sebagian besar lantai tertutupi dan puluhan orang duduk mengambil posisi. Segerombolan orang-orang berbaju biru keluar dari sudut kiri.
Tak lama kemudian mereka berhamburan menemui wajah-wajah yang dikenali. Ada yang terisak. Ada pula yang tertawa. Mereka saling berbagi cerita. Tentang kabar orang-orang di luar dan bagaimana kesehatannya.
Saya melihat ibu dan anak yang tadi telah ramah mengajak ngobrol. Mereka mengambil posisi sudut. Sedikit menjauh dari kerumunan. Sambil membuka rantang yang berisi makanan, mereka tampak asik bercengkrama. Wajahnya merekah bahagia.
Bersama pendamping, saya duduk di kursi warung. Sepintas mirip cafe bergaya vintage dengan aksen kayu yang natural. Saya memesan es jeruk. Dia kopi panas. Konon tempat ini khusus pengunjung yang berduit. Karena untuk duduk saja harus membayar.
Tak berselang lama, seseorang berbaju jingga berjalan dengan mata yang mencari dari dalam lorong yang tadi saya lewati. Saya langsung tahu itu Azis, karena ia tampak kebingungan dan seragam yang beda sendiri. Saya melambaikan tangan dengan sedikit memanggil namanya.
Ia masih bingung. Setelah saya jelaskan siapa dan tujuan saya datang. Ia mengiyakan untuk wawancara. Saya meminta waktu berdua dengan Azis sedikit lebih jauh dari kerumunan. Sambil berdiri kami mengobrol dengan posisi terus merekam.
“Jangan rekam wajah saya penuh,” syaratnya.
Setengah jalan wawancara, seseorang menghampiri. Nadanya tidak menyenangkan. Ia meminta mematikan rekaman dan duduk. Saya hanya menunjuk ke pendamping saya yang berjarak 10 langkah dari situ. Mereka berbicara, saya lanjut wawancara.
Waktu saya cukup singkat kala itu. Untuk menjawab puluhan daftar pertanyaan, rasa-rasanya tidak mungkin. Gadget yang saya gunakan untuk merekam pun kehabisan daya. Saya harus mengandalkan ingatan selebihnya.
Selain mencari tahu tentang kasusnya, ia juga bercerita soal kehidupannya di dalam penjara. Bagaimana tuntutan 10 tahun oleh jaksa hanya dipenuhi tiga tahun oleh hakim pun ia buka-bukaan.
“Ratusan juta habis,” katanya.
Tapi karena berkelakuan baik, ia menikmati setiap detik waktunya dalam penjara. Lagi pula, ia masih bebas menggunakan telepon di dalam sana. Saya lantas meminta nomor kontak agar lebih mudah menghubunginya dari luar.
“Saya tidak pernah menjual orang, mereka yang datang dan minta dicarikan pelanggan,” belanya soal prostitusi online yang dituduhkan padanya.
Azis ditangkap di Kabupaten Bulukumba, 187 kilometer dari Makassar. Ia dalam pelarian kala itu. Aksinya menjual anak sekolah terbongkar polisi dan jadi kasus prostitusi online pertama di Sulawesi Selatan yang berhasil diungkap.
Sejak kasus Azis 2015 silam, berderet kasus serupa akhirnya terbongkar. Meski ia mengaku tidak kenal baik dengan pelaku lainnya, namun tahu siapa mereka. Ia kapok masuk penjara. Tapi itu tak menjamin untuk ia kembali lagi. Meski berupaya untuk tidak tergoda.
“Mungkin saya akan kembali bekerja di bidang entertain,” impiannya setelah bebas tiga bulan kemudian.
Hari itu, saya jadi pengunjung terakhir yang pulang. Keluar dari sana, saya merasa lepas. Sepertinya menginjak tempat itu sama beratnya bagi para penghuni. Kendaraan kembali saya deret menembus kepadatan kota. Menjadi bebas itu pasti satu kenikmatan.