Meraba Wajah Jurnalisme Menghadapi Revolusi Digital

Ancha Hardiansya
This is Indonesia
Published in
5 min readJan 13, 2018
Terbitan terakhir Harian Joglosemar (by Jawa Pos)

“Tradisi Baru Pergantian Tahun”, begitulah judul headline yang dipilih Joglosemar, Koran Harian terbitan Solo dipenghujung 2017. Terdapat pula judul kecil “Setelah satu dasawarsa, mohon pamit”. Mereka tutup edisi cetaknya dipenghujung tahun.

Entah darimana datangnya diksi tradisi untuk sebuah perpisahan. Tapi, kita sepakat, selalu ada yang bersedih ketika itu terjadi.

Hanya saja kata ‘baru’ yang mengikut di belakangnya sesuatu yang tidak mutlak baru 10 tahun terakhir. Karena 1 Desember 2018 pun, tragedi serupa turut menyusul. Majalah Rolling Stone Indonesia juga berpamitan, mungkin lebih tragis lagi karena versi onlinenya ikut dilepas.

“Apa yang saya lewatkan?,” mengutip kata-kata Loren Willis yang diperankan Dan Stevens dalam film Marshall (2017). Kala itu, Sam Friedman (Josh Gad) tetiba menerima Mrs. Richmond sebagai juri untuk menilai perkara tuduhan pemerkosaan seorang berkulit hitam kepada wanita berkulit putih.

Padahal Mrs. Richmond secara lisan lebih mengarah membela tuntutan jaksa ketimbang pelaku. Tapi Sam Friedman malah menerimanya dan menjadikan dia juri ke-12. Itu setelah Thurgood Marshall yang diperankan Chadwick Boseman menceritakan tanda tak terkatakan dari Mrs. Richmond.

Entah apa jadinya ketika Marshall tak mampu membaca tanda-tanda tak terkatakan itu. Mungkin film Masrhall tak akan pernah dibuat dan namanya tak akan dikenang sebagai pengacara kulit hitam pertama yang lantang menentang rasisme di Amerika.

Tapi begitulah kehidupan. Selalu ada tanda-tanda yang luput kita perhatikan. Industri media pun setali tiga uang. Ia hanya representatif berbeda dalam satu fase. Pada dasarnya, selalu ada tanda-tanda yang menyertai. Sehingga kalimat “Apa yang kita lewatkan?,” selalu relevan dipertanyakan.

2014 lalu Nielsen telah menemukan fakta, kalau orang Indonesia lebih dominan mengomsumsi informasi dari televisi, disusul internet, radio, surat kabar, tabloid dan majalah. Tahun itu padahal, pengguna internet di Indonesia baru 88,1 juta. Tapi ia mampu menyalip kedikdayaan surat kabar.

Tapi sekali lagi, masih banyak yang terlena. Internet belum dianggap saingan berat apalagi akan jadi pembunuh massal kala itu. Memang media online pada akhirnya bukanlah penggali kubur yang baik, tapi salah satu yang ikut membersihkan lubang.

Pembunuh massal itu bernama media sosial. Sesuatu yang lahir dari internet dan jangkauannya kian meluas. Tidak lebih dari separuh penduduk Indonesia saat ini yang bangun tidur dan sebelum tidurnya memilih mengecek sosial media miliknya. Entah sekedar mengintip jumlah like di postingannya atau mencari tahu netizen lagi ramai membicarakan apa.

Beberapa majalah di Indonesia yang menerbitkan edisi terakhir sepanjang 2017 (Andi Baso Djaya /Beritagar.id)

Pada tahap ini, media cetak sudah tentu tidak mampu bersaing. Media digital sedikit punya angin segar. Karena flesibilitasnya dan medium yang sama-sama diciptakan secara maya. Mampu dilihat tapi tak mampu dipegang -kecuali gadgetnya.

Tetra Pak Index mencatat di 2017 pengguna internet di Indonesia menembus 132 juta orang. 40 persen diantaranya penggila media sosial. Tak perlu pula saya menjabarkan usia mereka. Sama-sama kita ketahui, saat ini mayoritas penduduk Indonesia berada di usia produktif, yang yakin saja mereka punya akun sosial media.

Layaknya generasi ke generasi, selalu ada trend yang tumbuh bersama. Memang pengguna internet di Indonesia kian menjamur dan jadi angin segar bagi pelaku media digital. Tapi ibarat dua sisi mata pedang, selalu ada yang besebrangan. Hoaks juga membanjiri lini massa kita. Itu pertanda, bukan hanya media cetak yang terancam, tapi jurnalisme secara keseluruhan juga ikut berdiri di ujung jurang.

“Apa yang kita lewatkan?,” kembali harus dipertanyakan. Jangan-jangan kita berdiri hanya untuk saling tikam.

Menghadapi Revolusi 4.0

Mengutip keyakinan Martin, tokoh dalam novel Origin, Dan Brown yang melihat jurnalisme yang bertanggung jawab adalah dasar kemerdekaan dan demokrasi, maka sangat tidak elok ketika hoaks menjadi dasar keyakinan sejumlah orang. Ironisnya lagi, banyak yang memilih mengaminkan dan ikut menyebarkan.

Bagi mereka yang melihat jurnalisme seperti cara Martin memandang, maka akan banyak kegelisahan yang muncul ketika membaca satu laporan. Entah itu di televisi ketika seorang reporter bertanya bagaimana perasaan korban pemerkosaan atas apa yang menimpanya, atau laporan media cetak yang sama dengan media digital sehari sebelumnya.

Jurnalisme memang tidak seburuk itu. Tapi nyatanya banyak yang melakukan itu.

Saban hari, saya duduk berdiskusi dengan sejumlah mahasiswa. Mereka punya ketertarikan jadi jurnalis dan ingin memulainya dari citizen journalism. Satu ambisi baik yang lahir dari kegelisahan atas kian minimnya media membicarakan perkara layanan publik, kehidupan sosial dan orang-orang termarjinalkan.

Mereka adalah mahasiswa yang masih berjuang mendapatkan gelar sarjana, tapi prihatin dengan kondisi media yang kian absurd. Bukan hanya media cetak, televisi bahkan media online pun jadi biang kerok semua kerancuan. Olehnya, mereka hanya mau memanfaatkan media sosial sebagai tempat menyebar informasi.

Kemajuan teknologi memang membuka ruang baru untuk jurnalisme berkreasi. Jika pernah mendengar Now This News, itu satu lompatan jauh bagaimana kita memandang media itu sendiri. Karena pada dasarnya, Now This News lebih banyak berkreasi dengan menggunakan medium sosial media. Bukan berbentuk portal online seperti kebanyakan media baru bermunculan.

Pilihan memasuki pasar memang langkah cerdas. Tapi nyatanya mereka tetap punya tim di balik setiap karya.

Yang menarik diamati, media saat ini juga telah terjangkiti wabah revolusi industri 4.0. Dan sudah seharunya memang begitu. Pertanyaan kemudian, akan seperti apa wajah media di Indonesia menghadapi menjamurnya internet of things (IoT).

Ilustrasi by Adweek

Beberapa ada yang berdamai dengan itu. Mereka memanfaatkan robot untuk tujuan jurnalistik. Adapula yang memaksimalkan big data untuk kepentingan publik. Lalu tidak sedikit yang berkomitmen merobohkan tembok bernama ekslusifitas dan memulai kolaborasi.

Pada era kecepatan informasi melebihi kecepatan jari mengetik kata ini, ekslusif dalam artian sempit bukan lagi milik media. Ia sudah milik publik dan merekalah yang menentukan arus informasi. Yang tersisa oleh media tinggal konfirmasi, klarifikasi dan bagaimana informasi itu disajikan dengan baik.

Hanya saja, fungsi itu sepertinya sulit terwujud ketika jurnalis hanya memantau timeline tokoh-tokoh atau orang-orang yang membuat kegaduhan di sosial media. Menjadi juru kampanye pasangan tertentu atau jadi jurnalis pinjam kata. Apalagi turun ke lapangan sudah dianggap tabu di tengah kian mudahnya seseorang duduk di balik meja redaksi.

Laporan indepth atau investigasi misalnya, tidak akan bernyawa dan bernyayi nyaring kalau semuanya dilakukan di warung kopi. Sementara, hanya itu yang saat ini paling bisa dilakukan seorang jurnalis untuk menguji kebenaran satu informasi. Tulisan straight news telah mampu dibuat oleh semua kalangan. Anak Sekolah Dasar sekalipun cakap melakukan itu.

Pada tahap ini, yang harus dipikirkan bersama, bukan mencari penyebab saling membunuhnya media, karena itu sudah berlangsung dari dahulu kala. Dulu radio berjaya, lalu pelan-pelan fungsinya diambil alih televisi. Pernah pula, media cetak berkuasa, hingga digeser media digital.

Semua itu penuh pertanda baik yang terang-terangan tertulis bahkan yang tak terkatakan. Tapi, jurnalisme tidak pernah seteracam hari ini. Dimana informasi menyesatkan lebih populer dari klarifikasi yang dilakukan dengan cara-cara jurnalistik.

Jangan sampai, ketika kekalahan sudah di depan mata kita baru menanyakan apa yang salah dan terlewatkan. Baiknya tanyakan lebih dini dan lebih sering. Hanya dengan begitu, kita bisa melihat ada yang berubah dan harus mengambil langkah seperti apa menghadapinya.

Tulisan ini pernah ditayangkan di Alagraph.com dengan judul : Wajah Media di Revolusi 4.0

--

--