Rasanya Menjadi Saksi Pertengkaran Suami Istri dengan Teman Perempuannya

Ancha Hardiansya
This is Indonesia
Published in
3 min readJan 10, 2019
Image from pixabay

Mobil, motor dan segala jenis yang bisa berjalan di jalanan masih tampak sibuk. Di ufuk barat, frekuensi kecil berwarna merah, jingga dan kuning dipertontonkan alam dengan indah. Warna-warna menenangkan itu terus bergerak melewati atmosfer ke dunia di sisi yang lain.

Pancarannya membentuk salam ke musim panas di benua biru. Sayup-sayup, suara Childish Gambino melantunkan ‘Feels Like Summer’ saya dengar dari headset yang rusak sebelah.

Sore dengan segala rutinitasnya itu seperti sore kemarin dan kemarinnya lagi. Meski seminggu yang lalu terlalu basah untuk merasakan sensasi musim panas yang hangat. Tapi tetap. Ini adalah sore yang selalu berakhir dengan adzan di toa-toa masjid.

Tiba-tiba suara pecahan kaca terdengar dari cafe sebelah. Bersama dengannya gesekan besi dan granit mengilukan gigi. Gaduh seketika membuat senja hari itu tak senikmat kemarin.

Lirik syahdu Donald McKinley II Glover terasa langsung teresapi. I know you know my pain…

Saya beranjak meninggalkan pengalaman summer yang semu itu. Melihat ada pertempuran apa di sebelah. Baru saja saya melongo keluar. Jantung saya tetiba berdegup kencang. Suasana tidak lagi terkontrol. Suara perempuan itu melampaui teriakan knalpot-knalpot racing yang lewat.

Entah mengapa, setelah puluhan kali melihat perkelahian. Saya selalu tak mampu mengontrol darah dalam tubuh ini. Ia terus bergemuruh. Seperti mendidih hingga memompa jantung saya bekerja lebih cepat dari biasanya.

Semasa hidup kosan dulu. Perkelahian dua hingga lima perempuan sampai jambak-jambakan biasa saja. Tapi sejak melihat perkelahian menggunakan samurai hingga menebas kepala seorang mahasiswa beberapa tahun lalu. Saya makin tak biasa melihat pertikaian.

Soal pengalaman mengerikan yang membuat saya mematung sesaat itu, nanti akan saya ceritakan. Biar ia jadi cerita yang berbeza.

Kembali ke perempuan bertas Chanel dan kacamata hitam yang mengamuk itu. Meski sepasang wedges dengan hak tebal terpasang di kakinya, ia sangat cekatan. Mendorong. Berusaha memukul. Dengan segenap kekuatannya. Dengan kata-kata bernada tinggi.

Ia berusaha menggunakan kemampuan suaranya melampaui dua oktaf kebanyakan manusia. Meski seharusnya ia mengambil suara alto, tapi emosinya tak mampu dikontrol sehingga hanya mezzo-sopran yang keluar. Bayangkan sendiri, bagaimana nada A3 di bawah C natural digunakan untuk ngerap.

Tahukan, suara tinggi itu selalu mengirim sinyal buruk untuk perasaan. Apalagi kalau sambil ngebeat. Itulah yang saya rasakan kala itu.

Beberapa orang berusaha menenangkan perempuan yang sedang mengamuk tersebut. Seorang lelaki bercelana chino hitam senada dengan warna kaosnya terus memeluk dan menghalau. Saya berasumsi, itu suaminya. Karena berulang kali berkata ‘sudah, sudah beb…’

Tapi ia malah semakin marah. Ia sempat lepas sebelum adegan sore itu usai. Inilah dialog yang paling saya suka. Seperti dejavu, saya merasa pernah mendengar dialog ini. Mungkin di salah satu sinetron yang membosankan tapi tak saya sadari itu.

“Perempuan tak tahu malu,” sambil teriak.

“Kamu tau kan dia sudah punya istri,” tangannya tidak berhenti dorong-dorongan.

Si perempuan yang dituduh entah sebagai apa itu masih saja diam. Ia berusaha ke parkiran dan masuk mobil. Tampak di wajahnya. Ia hanya ingin pergi meninggalkan suasana memalukan dan canggung itu.

“Ih.. ih dia pukul aku beb”

“Siapa yang pukul kau an**ng,” kata perempuan yang duduk dengan suaminya di cafe itu lalu membuka pintu mobil. Ia pun pergi melesat jauh.

Tapi sebelum mobil benar-benar pergi. Si perempuan yang ngamuk itu mendekati mobil dan memukul-mukul kacanya. Lagi-lagi celetukan suaminya yang menyuruhnya berhenti ditanggapi penuh emosi oleh sang istri.

“Oh, jadi gitu ya. Kamu lebih memilih dia. Tidak tahu malu. Sudah punya istri dan anak… (dan selanjutnya tidak jelas karena suaminya berjalan kembali masuk ke cafe)”.

Begitulah. Sore saya sedikit penuh drama hari itu. Sembari suasana aman kembali. Ibu di seberang jalan yang sedari tadi mengintip dari balik tirai jendelanya juga pergi. Saya yang hanya mampu menonton, karena ini masalah pribadinya, pun kembali ke depan laptop.

Tapi sebelumnya, sempat saling berbagi cerita dengan yang lain. Soal apa yang baru saja terjadi. Tau-tau dia punya cerita yang lebih menyenangkan untuk dipergunjingkan. Atau bagaimana kejadian awal hingga sepotong adegan itu ditayangkan live.

Cukup tahu dan sekedar tahu saja. Tapi bagaimanapun, ia telah merusak pengalaman musim panas saya sore ini. Bayangan tentang anak-anak yang di tubuhnya penuh rajah lalu lalang dengan papan luncur. Orang-orang bergembira bermain air dan daun pohon oak yang menguning. Semuanya hilang. Dan dihadapkan pada kenyataan, bahwa ini masih di Indonesia.

--

--