Melewatkan Jakarta

30.1

BP Noeringtyas
Tiga Puluh
4 min readAug 13, 2024

--

Penanda Taman Ismail Marzuki (TIM) di sore hari

catatan dari notes hp, 27 Maret 2024

Apabila Jessie Choi, suami Maudy Ayunda, malah mendatangi Jakarta dengan begitu banyak alasan menakjubkan, aku justru sebaliknya. Untuk saat ini, Jakarta perlu aku lewatkan.

Pak Luthfi dalam jumpa terakhir saat menemuiku dengan Mbak Lili mengeluarkan sebuah tanya tentang kemana kawan-kawanku yang “di atas rata-rata” kini berada. Seraya menungguku menjawab, pak Luthfi telah menyiapkan jawabannya dengan bungkus paling menawan: Jakarta.

Memiliki pengalaman berkuliah di barat Indonesia (meski masih di Jawa juga), membuatku semakin yakin bahwa opsi bekerja dimana saja selepas lulus, termasuk Jakarta itu: mungkin. Sebagai episentrum dari pergerakan apapun di Indonesia, Jakarta memberikan peluang sekaligus ruang bagi mereka yang siap dan memiliki mental petarung. Mereka yang punya daya lenting, akan merangsek naik ke posisi penting. Itu teorinya. Kebanyakan memang seperti itu. Namun tidak sedikit, praktik licik jadi tontonan asyik tiap harinya.

Jika bukan sebab orang tua dan kehendak untuk berperilaku adil sejak dalam pikiran, Jakarta akan menjadi nomor wahid. Hidup dan bekerja Jakarta bagiku seperti satu kali kesempatan seusia hidup. Kini saat usiaku telah masuk kepala tiga, kesempatan itu kututup – untuk sementara. Walau banyak juga yang menghalau untuk berangkat ke Jakarta, atas beban kota yang mega kompleks, atas jam-jam yang terbuang, atas adab-adab yang lenyap, atas tenang yang hilang. Tapi toh, mereka juga yang selorohnya paling kencang supaya tidak ke Jakarta, tetap jua hidup berkolongkan langitnya yang keruh.

“Sementara” yang kumaksud bukan bermakna masih ada asa untuk ke Jakarta maupun bukan tentang ketidaksesuaian hidup saat ini yang hendak disubstitusikan dengan Jakarta melainkan ada hal lain. Aku tetap menyukai kehidupan “di luar Jakarta” atau “selain Jakarta”. Karena kehidupan di manapun harusnya sama saja. Meskipun kata Olga, hidup itu tergantung dengan siapanya. Namun, menutup sama sekali jalur kesana juga bukan hal yang bisa dibilang bijak. Mungkin, apabila garis langit yang luhur itu telah datang wujud tasbihnya, maka niat bumi mana yang paling kuat bisa menolaknya.

Melewatkan Jakarta dalam usia 20an-ku sebenarnya tidak terlalu menyedihkan. Malah banyak sukanya. Menyadari bahwa Jakarta terlewati begitu saja justru membuatku lebih sadar bahwa mungkin aku tidak begitu siap dengan usiaku yang kepala dua kemarin menjejak di Jakarta. Mungkin aku tidak akan menjadi apa-apa jika kesana. Atau justru sebaliknya(?). Mungkin fitur warga kota yang kumiliki akan jauh lebih kompleks. Atau sebaliknya(?). Mungkin aku tidak dengan mudah menemukan komunitas yang mampu mendukungku. Atau sebaliknya(?). Dalam segala kontradiksi, “apa-apa yg mungkin” dan “apa-apa yg tidak mungkin”, semua terberanikan dengan harapan bahwa puisi “The Road Not Taken” benar-benar jadi kenyataan.

Tidak hidup di Jakarta bukan kumaknai dengan ketidakmampuanku untuk bisa kesana, tapi kumaknai sebagai bentuk pilihan sadar. Tanpa paksaan dan penuh dengan kecermatan & pertimbangan. Sehingga jangkar alasan akan mengakar lebih kuat; entah karena beratnya bahan jangkar tersebut atau karena kuatnya dia terkait dengan sesuatu. Akhirnya, diriku memasuki perjalanan hidup yang tidak sekadarnya, namun penuh dengan ‘secukupnya, sewajarnya’. Tidak keras kehilangan sesuatu. Tidak merasa kemrungsung.

Aku sepakat sekaligus skeptis dengan apa yang Pak Luthfi bilang bahwa universitas besar akan tetap dan cenderung terus membesar sedangkan universitas kecil akan tetap kecil dan cenderung mengecil. Sebab orang-orang besar akan mengejar lautan yang besar. Sebaliknya orang-orang kecil akan nyaman di kolam kecil. Tapi, kenapa ini pun diperdebatkan? Toh mereka sama-sama himpunan yg di dalamnya adalah air(?). Jika memang besar selalu baik dan bijak, mengapa kecil dicitrakan sebagai pinggiran dan kelas dua(?) bukankah segala yg besar selalu dan terdiri dari hal-hal kecil(?). Perumpamaan ini jika ditarik menjadi diskursus tentang Jakarta, maka Jakarta akan selalu teranalogikan sebagai lautan besar, sedang kota lainnya diasosiasikan sebagai kolam atau danau — perwakilan dari sebuah lautan. Walau sebenarnya tergantung disisi mana kita memandangnya. Dari atas danau Toba akan terlihat seperti danau raksasa. Tapi dari samping danau, Toba layaknya lautan di serambi belakang rumah.

Sebaliknya, mbak Lili mengajukan pendapat bahwa melewatkan Jakarta berarti pemerataan. Berarti penguatan. Berarti tidak ada yang dikesampingkan. Divergensi. “Ikan-ikan besar berpotensi menjadi raksasa” ditebar dalam kolam-kolam agar mampu menunjukkan kepada ikan-ikan kecil bahwa ada sesuatu yang bisa membuat mereka berharga. Bahwa besar dan kecil juga bukan melulu ukuran tapi juga tentang dampak. Tapi, jika seluruh ikan besar ditempatkan pada wadah yang sama, maka juga bukan perkara yang baik dan bijak. Sebab mereka akan nampak sama bukan(?) Lagi-lagi, aku (akan) kehilangan kemampuan komparasiku.

Maka, menaruh — terlepas dari besar maupun kecil — di suatu wadah terlepas dari sempit maupun luas itu selalu tentang seberapa kita terampil menempatkan diri.

Ahhhh, melewatkan Jakarta telah membuatku berpikir sejauh dan sedalam ini. Sebuah keputusan yang disarikan dari segala harapan, kekhawatiran, kekecewaan, serta sambatan warga ibukota. Dan aku yakin, setiap kita punya “Jakarta”-nya masing-masing. Entah itu masih terpeluk atau telah runtuh. Entah itu masih datang tiap malam atau yang terpanggang oleh matahari siang.

In the end, we own nothing. All things came to us are not always belong to us. Or totally not for us.

--

--

BP Noeringtyas
Tiga Puluh

Seizing subtle things thru writings while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ