Tilik Indonesia dari Seni dan Pornografi

sebuah tulisan lama tentang museum tanpa tanda jasa

Atik R. Widyasari
Tonggeret Peristiwa
5 min readJul 3, 2017

--

BAGI SAYA, datang ke sebuah museum merupakan suatu hal yang cukup mewah. Bukan karena tiket masuk yang mahal layaknya pergi ke Dufan, tetapi betapa jarangnya hal ini untuk bisa dinikmati dikarenakan jumlahnya yang sedikit dan kontennya yang tak kunjung beragam. Pameran bertajuk “Museum Tanpa Tanda Jasa” merupakan perwujudan museum keliling berisikan replika dan juga berbagai artikel mengenai karya-karya seni yang mempunyai sejarah dalam dunia seni rupa Indonesia. Replika ini merupakan karya-karya besar seni rupa yang telah diketahui orang banyak, sekaligus menjadi sebuah skandal tersendiri dalam publik khususnya di Indonesia.

Diselenggarakan di Ruang Gerilya Bandung, tanggal 15 Desember 2016 yang lalu, pembukaan pameran ini diiringi dengan sebuah diskusi mengenai demokrasi dalam era reformasi. Kita sewajarnya mempunyai hak untuk bebas berpendapat dan seorang seniman menggunakan hak itu dalam berkarya. Hanya saja, ada beberapa hasil cipta mereka dianggap komunis, pornografi, dan menyinggung fraksi tertentu sehingga dipaksa ditarik dari publik, diberi pakaian atau kain untuk menutupi ‘aurat’, bahkan dibumihanguskan; mempertanyakan kembali hak rakyat untuk berpendapat.

Kelompok seniman penggagas pameran ini membuat replika dari karya Nyoman Nuarta “Tiga Mojang”, Agus Suwage & Devy Linggar “Pink Swing”, Tisna Sanjaya “Special Prayer for The Dead”, Dadang Christanto “They Give Evidence”, Petrus Agus Herjaka “Lurung Kamulyan”dan Pius Sigit Kuncoro. Tamara Pertamina sebagai pemandu wisata mengajak pengunjung untuk mengelilingi ruangan sembari menjelaskan secara singkat karya dan permasalahannya.

Tur ini diakhiri di ruang baca dengan sebuah meja dan kursi melingkar. Di atas meja tersebut terdapat cetakan ragam artikel mengenai seniman-seniman terkait, baik dari kuratorial, katalog pameran, juga permasalahan yang disebarluaskan di media massa yang ditulis oleh para pengamat seni maupun bukan. Tak luput pula sebuah linimasa fenomena seni dan publik ini di mana kita bisa membacanya selama masa pameran berlangsung.

Tentunya artikel-artikel tersebut membantu saya untuk memahami lebih jauh permasalahan publik dengan karya seni sehingga dapat menilai permasalahan menjadi lebih objektif.

Walaupun pameran ini memiliki tujuan mulia untuk memperkenalkan dan mengedukasi publik terhadap seni mengenai fenomena-fenomena yang ada, satu hal yang disayangkan adalah tempat diselenggarakan pameran ini masih berada di dalam galeri. Mengingat mobilitas masyarakat umum terhadap seni masih kecil, ada kemungkinan tujuan mulia proyek seni ini tidak sampai pada publik dengan baik.

Publik dan Pandangannya Terhadap Seni

Suatu karya yang dianggap secara umum ofensif, tidak selamanya mengandung nilai-nilai negatif. Salahkan keterbatasan wawasan yang akhirnya mencerna citra secara literal, membuat orang-orang melihat suatu hal dari satu sisi saja. Padahal ada banyak kisah di balik itu yang tidak kita ketahui.

Alih-alih mencari tahu dan memahami makna di balik sebuah karya ataupun nilai historisnya, sering saya melihat orang-orang di ruang pamer memperlakukan karya sekadar sebagai objek maupun latar belakang fotografi. Ada perasaan kecewa sekaligus — anehnya — maklum melihat perlakuan publik dalam sebuah ruang pamer. Mungkin hal ini disebabkan dari kurangnya literasi maupun pendidikan mengenai dunia seni itu sendiri.

Pandangan umum publik terhadap seni tak jauh dari sekadar gambar bagus yang bisa dibuat oleh dirinya sendiri. Subjek ini pun dianggap sebagai perihal sekunder, bahkan tidak penting. Padahal jika kita bercermin dari sejarah barat dan peradabannya yang maju, fenomena ini berjalan pararel dengan perkembangan dunia seni. Sementara itu, di Indonesia, seni rupa telah menjadi hal yang eksklusif serta alien bagi masyarakat umum.

Tidak banyak orang yang dapat mengakses sejarah seni rupa Indonesia dan campur tangan pemerintah untuk pembangunan sebuah museum seni pun tidaklah banyak.

Kurangnya literasi merupakan salah satu faktor akan bagaimana masyarakat dapat mengolah, mengapresiasi, dan menanggapi karya seni. Tak heran jika banyak orang menganggap kain berwarna hitam dan tali merah yang digunakan pada karya Dadang Christanto semata-mata hanya identik dengan komunis, padahal banyak bahasa lain yang dapat dibicarakan hanya dari kedua warna itu.

Suasana diskusi di Ruang Gerilya (sumber: cupulado.blogspot.co.id ; Aliansyah Caniago)

Perbincangan bersama Riri Wirayadi (pembina dan salah satu pendiri Srikandi Pasundan) dan Frans Ari Prasetyo (peneliti dan salah satu pendiri Center for Urban Societal Studies) tidak begitu banyak menyinggung karya-karya yang berada di ruang pamer, tetapi lebih ke arah kesiapan publik untuk menerima karya seni sebagai bentuk aspirasi seniman dan hak asasi manusia.

Sebagai seorang warga negara di sebuah negara demokrasi di era reformasi, kita seharusnya bebas untuk berpendapat. Namun lucunya seringkali terasa sangsi. Batasan-batasan pemahaman tentang SARA, ekonomi, dan paham komunis membingkai kerangka berpikir orang-orang dalam menikmati karya seni dan bentukan aspirasi lainnya. Pemahaman yang terbatas mengenai ketiga hal itu terkadang membuat seorang individu menjadi egois, mengabaikan hal-hal selain pemahamannya dan menilai suatu objek dari satu sisi saja. Hal ini membuat seseorang takut untuk berkarya dan berpendapat karena enggan dikecam oleh sekelompok orang yang dapat berkoar dengan alasan membela suatu fraksi maupun agama tertentu.

Sebut saja sebuah patung tanpa busana yang dikecam oleh salah satu ormas karena dianggap pornografi. Patung itu dipaksa untuk dipakaikan baju, bahkan bisa jadi dirobohkan. Terkadang hal ini membuat saya berpikir kenapa orang-orang begitu takut akan tubuh perempuan, apakah karena takut membangkitkan birahi? Jika ya, apakah salah jika saya menyimpulkan orang-orang tidak bisa menahan nafsunya hanya dari melihat sebuah patung yang menunjukkan lekuk tubuh perempuan?

Kenapa dari niatan awal untuk menikmati keindahan karya seni harus ditutup-tutupi karena dianggap pornografi, padahal bukan? Apakah jika saya seorang pematung dan ingin membuat sebuah karya tanpa busana harus dalam bentuk pixel agar bisa diterima publik? Lantas di mana hak seniman untuk bebas beraspirasi melalui karya?

Mungkin ada pula pengaruh upaya pemerintah untuk menghilangkan sejarah kelam Indonesia tahun 1965 dulu. Kurangnya keterbukaan paham tersebut membuat banyak orang hanya memahami bahwa komunis buruk dan yang lain baik; hitam dan putih. Belum lagi dengan pengasosiasian yang semena-mena, menganggap suatu hal buruk, dan tak patut untuk dikonsumsi publik padahal banyak kisah di luar itu.

Ironis bagaimana seorang guru waktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar dulu mengatakan semboyan Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda tetapi tetap satu. Hal ini seolah-olah buyar karena kacamata kuda yang banyak orang pakai. Kesalahpahaman dari ketidaktahuan membuat kesenjangan dari berbagai aspek menimbulkan sikap-sikap yang cenderung egois.

Mudah mungkin untuk mengatakannya — bahkan mungkin terlalu naif — tetapi saya yakin pada akhirnya sikap-sikap ini bisa ditangani dengan rasa simpati yang berujung pada sikap toleransi. Namun perasaan simpati itu harus diperkaya dengan edukasi. Memperluas wawasan setidaknya membukakan mata kita akan hal-hal baru, menyadari akan ragam gagasan dan pemikiran, membentuk demokrasi yang ideal dengan intelektualitas yang sepantasnya.

--

--