Untuk Almamater yang Lebih Baik

Atik R. Widyasari
Tonggeret Peristiwa
3 min readOct 30, 2016
image credit: ganecapos

APALAH HAK saya untuk ikut campur memberi suara terhadap kejadian 115 anak tingkat pertama diskors secara sepihak oleh fakultasnya sendiri? Saya baru menjadi rakyat sipil dan baru resmi pergi meninggalkan kampus ganeca dua minggu yang lalu. Saya sudah terlanjur memegang janji alumni untuk tetap menjaga nama baik almamater. Tetapi saya gemas. Apakah luka-luka yang tercipta selama mengemban ilmu selama empat tahun itu harus selamanya dikubur dalam-dalam?

Betapa kecewa dan terkejutnya saya mendengar berita itu. Amarah berkecamuk dengan alasan-alasan yang tidak logis dan akhirnya mempertanyakan: Kenapa?

Dari tahun ke tahun sudah wajar akan adanya arak-arakan menyambut para wisudawan dan dikerjakan oleh mahasiswa tingkat pertama. Saya pun dulu melakukan hal yang sama, tetapi toh baik-baik saja. Jika mengkhawatirkan nilai akademis, nilai saya dulu juga baik-baik saja. Teman-teman saya yang melakukan hal serupa pun sama. Lantas apa yang ditakuti? Senior-senior galak yang hobinya perpeloncoan? Oh, ayolah, namanya juga kuliah. Kami hanya senang menjahili dengan maksud baik dan memberi dorongan bermain kok. Caranya saja agak ‘menggemaskan’. Tekanan batin seperti ini tidak seberapa dibandingkan dengan hidup yang sebenarnya ‘kan? Apa gunanya jika kita hanya mempertajam logika serta otak tapi tidak dengan emosi dan rasa yang seimbang?

siapa yang salah?

Saya tidak tahu menahu lagi mengenai regulasi peraturan pelibatan anak-anak tingkat pertama dalam perayaan wisuda. Beritanya simpang siur. Ada yang bilang tidak boleh, ada yang bilang boleh. Ada yang bilang peraturannya tidak resmi dari fakultas, dan sebagainya, dan sebagainya.

Mungkin memang dari pihak mahasiswa dan juga pihak fakultasnya sama-sama salah. Mungkin memang kurang komunikasi dan koordinasi, tapi apa daya saya hanya bisa berkomentar. Pada akhirnya kita harus kembali ke diri masing-masing, bercermin, dan menilai diri sendiri: berhak tidak kami menumpahkan amarah kami? Apakah mereka benar-benar salah? Apakah kami yang salah? Apa jalan tengahnya?

Mengesampingkan itu semua, saya hanya mau mempertanyakan kenapa keinginan untuk berkarya begitu dipersulit oleh kampusnya sendiri. Saya kira adanya seni dalam kampus ganeca ini untuk menyeimbangkan ilmu dan teknologi yang selalu dijunjung tinggi. Saya kira yang membuat kampus ini unik dan dibanggakan salah satunya akan adanya kegiatan-kegiatan yang berakar pada pemikiran-pemikiran otak kanan. Tapi kenapa selalu menjadi anak tiri? Apa karena tindakan kami terlalu kiri?

Mungkin karena kami tidak dominan. Pemikiran kami pun seringkali dianggap terlalu nyeleneh. Masalahnya, otak terus menggagas dan pikiran akan selalu berkeliaran bebas. Untungnya masih belum ada hukum tertulis untuk berpikir liar. Untungnya masih belum ada penjara untuk menahan gagasan-gagasan gila. Yang menahan perwujudan suatu gagasan pada akhirnya hanyalah birokrasi, uang, sarana, dan prasarana.

Oleh karenanya, kami mempunyai cara sendiri untuk bersuara: berontak. ‘Bandel’ sudah menjadi label di jidat kami; ‘aneh’ apalagi. Tidak menerima dan menganggap kami badung, ya tidak masalah. Toh kami hanya berusaha untuk dilihat dan didengar. Karena kami tahu, mungkin, apa yang kami lakukan tidak sepenuhnya salah.

Pada akhirnya kami dan mereka hanya meminta untuk didengar dan diberikan haknya untuk berkarya bersama. Karena saya tahu kita bukanlah Institut Takut Berkarya.

“Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater. Merdeka!” katanya.

--

--