Transparansi rantai pasok dapat menjadi aspek penting untuk meredakan ketegangan di sektor kelapa sawit di Indonesia

Trase
Trase dalam bahasa indonesia
6 min readJul 29, 2019

Romain Pirard, Pejabat Riset Senior di Global Canopy/Trase, dan Caspar Timmer, Penulis dan Editor Sains di SEI/Trase

Foto oleh Icaro Cooke Vieira/CIFOR di bawah lisensi creative commons Flickr

Bagi sebagian orang, di beberapa wilayah di dunia, sektor minyak kelapa sawit di Indonesia memiliki reputasi yang nyaris buruk. Sejak kurun 1990-an, sektor minyak kelapa sawit di Indonesia telah dicap menjadi salah satu komoditas pertanian dengan reputasi paling buruk di seluruh dunia. Tetapi sejauh mana pembenaran atas reputasi ini? Apakah perubahan positif diabaikan? Dan apa makna rencana yang ada saat ini bagi keberlanjutan sektor tersebut di masa mendatang? Data Trase yang akan datang dapat memberikan kejelasan yang sangat dibutuhkan.

Kecaman dan hambatan perdagangan

Indonesia tampaknya terus-menerus menghadapi rentetan kritik, terutama dari Eropa, terkait kerusakan lingkungan dan sosial akibat industri minyak kelapa sawitnya: deforestasi, kerusakan lahan gambut dan kebakaran, bencana asap tahunan yang menyelimuti ratusan kota hingga berkilometer jauhnya, perampasan lahan, distribusi keuntungan yang tidak merata antara perusahaan besar dan petani lokal, emisi iklim, dan banyak lagi.

Kendati kritik sebagian besar berasal dari juru kampanye, kelompok-kelompok konsumen, dan LSM, namun telah diterjemahkan ke dalam perubahan kebijakan pada tingkat tertinggi di Uni Eropa (UE). Yang terbaru adalah diadopsinya revisi regulasi yang didelegasikan oleh Komisi Eropa pada bulan Maret 2019, sebagai bagian dari kajiannya terhadap Direktif Energi Terbarukan UE (RED II), yang terwujud dengan berlakunya pelarangan bahan bakar hayati berbasis minyak kelapa sawit asal Indonesia dari pasar Eropa pada tahun 2030. Regulasi tersebut memperketat aturan terkait cara menentukan bahan bakar dengan risiko perubahan tata guna lahan tidak langsung (ILUC) yang tinggi dan rendah. Kelapa sawit Indonesia cenderung dikategorikan sebagai ILUC tinggi yang artinya tidak dapat diperhitungkan terhadap target energi terbarukan dari negara-negara anggota. Diskusi ini tampaknya akan terus berlanjut hingga setidaknya 2021, ketika Komisi akan meninjau regulasi yang didelegasikan. Untuk saat ini, impor minyak kelapa sawit untuk penggunaan energi di UE mengalami peningkatan.

Terlebih lagi, beberapa negara konsumen di Eropa merupakan negara pendukung Deklarasi Amsterdam yang berniat menghapus impor komoditas yang berisiko deforestasi secara bertahap, salah satunya secara khusus menangani minyak kelapa sawit. Perancis baru-baru ini mengadopsi Strategi Nasional Terhadap Deforestasi Impor, yang secara eksplisit juga menarget minyak kelapa sawit.

Kemajuan yang tidak diakui?

Banyak pihak di Indonesia yang menuding bahwa kritik telah memberikan stigma yang tidak adil terhadap negara tersebut akibat kesalahan di masa lalu, dan mengabaikan banyak langkah positif yang telah diambil, serta perbaikan signifikan dalam keberlanjutan produksi minyak kelapa sawit. Satu hal yang perlu dicatat bahwa deforestasi terkait minyak kelapa sawit dianggap telah mengalami penurunan sejak tahun 2012, setidaknya di area ekspansi utama, yaitu Pulau Kalimantan. Lebih lanjut, Indonesia telah menerbitkan moratorium minyak kelapa sawit yang ambisius pada tahun 2018, yang mewajibkan peninjauan kembali berbagai lisensi perkebunan. Pemerintah juga meluncurkan inisiatif Satu Peta untuk menghindari tumpang tindih antar penggunaan lahan, kepemilikan lahan, dan lisensi, di antara berbagai kebijakan lainnya.

Dan kendati debat kandidat yang menghasilkan terpilihnya kembali Joko Widodo (alias Jokowi) sebagai presiden tahun ini berhasil menyoroti beberapa keterkaitan (hukum) antara elite politik dan beberapa investasi minyak kelapa sawit besar, yang jauh lebih signifikan adalah keselarasan antara kebijakan yang diusulkan kandidat dan tujuan yang dikemukakan berkenaan dengan minyak kelapa sawit. Pemerintah yang baru memiliki rencana ambisius untuk sektor tersebut secara keseluruhan, termasuk dukungan bagi petani kecil, penerapan standar Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), dan subsidi untuk meningkatkan produktivitas perkebunan yang sudah ada.

Pada saat yang sama, kedua kandidat menegaskan bahwa menstimulasi pasar bahan bakar hayati dalam negeri dengan kebijakan Mandat Biodiesel menjadi prioritas, sebagian besar untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil impor yang memakan biaya besar. Pertanyaan besar seputar keberlanjutan adalah bagaimana industri minyak kelapa sawit yang baru dapat memenuhi tuntutan ini.

Terdapat pula gelombang komitmen keberlanjutan yang belum pernah ada sebelumnya dari pelaku sektor swasta dalam perdagangan minyak kelapa sawit global dalam beberapa tahun belakangan, serta peningkatan pangsa ekspor minyak kelapa sawit mentah dengan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) — standar keberlanjutan paling umum dalam sektor tersebut, yang juga menghasilkan perubahan positif terhadap aturannya yang diadopsi pada tahun 2018.

Faktanya, hingga 86% ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia saat ini dicakup oleh setidaknya satu komitmen antideforestasi (ZDC) berdasarkan analisis Trase. Trase versi pertama yang menunjukkan keterkaitan dari distrik produksi individu dengan pasar impor global minyak kelapa sawit Indonesia akan dirilis di www.trase.earth pada musim gugur.

Beberapa pedagang bahkan telah beranjak lebih jauh dengan melakukan eliminasi tidak hanya terhadap deforestasi tetapi juga terhadap konversi lahan gambut dan eksploitasi buruh dalam rantai pasoknya.

Ketidakpastian melahirkan ketidakpercayaan

Dengan terbatasnya informasi yang jelas dan kredibel mengenai sektor minyak kelapa sawit Indonesia — khususnya keterkaitannya dengan deforestasi, dan peran berbagai pelaku di sepanjang rantai pasok — maka tidak mengherankan jika beredar beragam narasi berbeda tentang keberlanjutan.

Salah satu masalahnya adalah bahwa rumitnya tumpang tindih antara ikrar keberlanjutan, komitmen atau pedoman perilaku sukarela, skema sertifikasi, kebijakan, langkah-langkah impor, dll. menjadikan pemantauan terhadap implementasi dan dampaknya semakin menyulitkan. Ini semua menjadi lebih penting mengingat tenggat waktu 2020 dari Deklarasi New York tentang Kehutanan yang menjadi sorotan dalam rangka mengakhiri deforestasi dalam produksi komoditas pertanian tampaknya masih belum jelas — dengan harapan kesuksesan yang kecil, berdasarkan Penilaian Kemajuan yang berkelanjutan.

Dan kompleksitas serta kurangnya kejelasan itu sendiri cenderung melahirkan sikap skeptis. Merasa tidak jelas mana perusahaan yang berhubungan dengan deforestasi dan komitmen skema mana yang kredibel, menjadikan banyak konsumen berusaha untuk menghindari produk yang mengandung minyak kelapa sawit.

Pada saat yang sama, sejumlah pelaku dagang dan sebagian besar perusahaan yang berada di hilir rantai pasok (perusahaan barang konsumen, peritel, dll.) memiliki sedikit informasi tentang pemasok mereka, sehingga semakin menyulitkan pemenuhan komitmen antideforestasi dan pembelaan diri mereka sendiri terhadap tuduhan adanya praktik yang buruk yang dilayangkan oleh publik. Dan bahkan mereka yang terus memantau dan berhasil mengurangi masalah keberlanjutan dalam rantai pasok mereka bisa merasakan bahwa klaim mereka disambut dengan kecurigaan karena ketiadaan data independen pendukung.

Tampak perkebunan kelapa sawit dari udara

Membersihkan udara

Trase dapat mengurangi ketidakpastian sektor tersebut secara drastis. Trase menghubungkan beragam rangkaian data untuk memetakan aliran seluruh komoditas pertanian yang berisiko terhadap hutan seperti minyak kelapa sawit dari lokalitas produksi hingga negara-negara pengimpor, dengan mengidentifikasi para pelaku dagang yang terlibat. Platform ini juga menyediakan indikator risiko deforestasi dan dampak keberlanjutan lainnya dalam yurisdiksi produsen, serta mengalokasikan dampak “tertanam” terhadap berbagai aliran perdagangan dan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok.

Data Trase mendatang tentang minyak kelapa sawit di Indonesia akan memberikan gambaran umum netral yang dapat diakses mengenai kinerja keseluruhan sektor, dan masing-masing perusahaan, pelaku, yurisdiksi, dan pasar impor yang terlibat, dari tahun ke tahun.

Ini semua akan membantu perusahaan dalam mengidentifikasi risiko dalam rantai pasok dan berinteraksi secara langsung dengan pelaku dagang dan produsen, sebagaimana yang dilakukan platform tersebut terhadap kedelai Brasil dan beragam komoditas lainnya. Dan membantu pihak lain dalam memantau kinerja mereka.

Lebih lanjut, data Trase dapat membantu pemerintah Indonesia dalam mengambil keputusan penting terhadap, misalnya alokasi pendanaan. Portal ini juga dapat bermanfaat bagi pendekatan yuridis yang baru muncul — rencana untuk memperbaiki praktik-praktik dalam unit administratif dengan kebijakan yang konsisten — karena Trase dapat membantu memperlihatkan praktik yang baik dalam yurisdiksi pelaku terdepan (yang dapat menerima insentif dari pemerintah), sembari menciptakan peluang interaksi bagi perusahaan yang progresif apabila situasinya memerlukan investasi lebih besar.

Selain itu data Trase juga akan membantu menyoroti berbagai dampak terkait pasar ekspor utama minyak kelapa sawit di luar Uni Eropa, yang belum menciptakan tuntutan keberlanjutan yang kuat: India, importir teratas minyak kelapa sawit Indonesia; Tiongkok, yang terlihat siap mengambil alih posisi Uni Eropa di tempat kedua; Pakistan dan Bangladesh, juga muncul sebagai importir teratas. Lebih lanjut, sepertiga total produksi minyak kelapa sawit Indonesia dikonsumsi di pasar dalam negeri. Semua pasar ini dapat memberikan pengaruh besar terhadap masa depan produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.

Trase bukan satu-satunya inisiatif transparansi yang aktif dalam sektor tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengumpulkan informasi dan bekerja sama dengan Departemen Pertanian dalam mengelola basis data lisensi untuk perkebunan kelapa sawit — sekali pun pemerintah juga menunjukkan sedikit penolakan terhadap transparansi yang lebih besar. Dan, di bawah tekanan dari masyarakat sipil dan kelompok konsumen, semakin banyak perusahaan besar dalam sektor tersebut yang juga telah bersikap terbuka dan mengungkapkan lebih banyak informasi tentang rantai pasok mereka.

Upaya peningkatan transparansi seputar sektor minyak kelapa sawit di Indonesia ini berpotensi menghadirkan lebih banyak kejelasan yang dibutuhkan, memperjelas berbagai asumsi, dan mengidentifikasi upaya konkret untuk ke depannya.

Keputusan yang diambil dalam beberapa tahun mendatang dapat membentuk aspek keberlanjutan dan citra yang baik pada sektor tersebut selama beberapa dekade mendatang.

--

--