Big Bad Wolf Bandung 2019: Berburu Buku di Sarang Serigala

Novrian Ogie
Travel-iing Indonesia
6 min readJul 1, 2019

Sabtu, 29 Juni 2019, gue menyempatkan diri buat dateng ke bazar buku (yang katanya) terbesar di dunia: Big Bad Wolf Bandung 2019.

Poster BBW Bandung 2019 yang ada gambar Jembatan Pasupati, Gedung Sate, dan Observatorium Bosscha, padahal letak venuenya relatif jauh dari ketiga ‘landmark’ tersebut. (Sumber: bigbadwolfbooks.com)

Ini pertama kalinya gue dateng ke acara bazar buku. Gue bahkan baru tau kalo bazar buku itu bener-bener ada. Lagian, kalo gue lagi kepengen buku murah, palingan gue carinya di toko buku bekas, atau di pojok obral buku Gr*media.

Awalnya gue gak berminat buat dateng. Masih ada beberapa buku yang belum gue selese baca. Tapi, gara-gara ada satu temen gue, namanya Brama, ngeracunin gue buat nyari bukunya Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a F*ck, akhirnya gue memberanikan diri buat nyari buku yang satu ini. Gak tanggung-tanggung. Gue nyarinya sampe ke sarang serigala!

Awalnya temen gue, Zaki, agak skeptis soal rencana besar gue buat berangkat ke sana. Gue yang kemana-mana selalu pake sepeda ini, apa bisa datang ke sana, yang kalo berangkat dari Bandung pasti harus lewat Cimahi, baru bisa nyampe ke Padalarang dan Kota Baru Parahyangan?

Gue pun tertantang!

Untungnya, KRD Bandung Raya siap menyelamatkan hari!

Sabtu pagi, sekitar pukul 08.30 WIB, gue memarkir sepeda gue di Pintu Selatan Stasiun Bandung dan segera membeli tiket seharga Rp. 5.000 saja dengan tujuan akhir Stasiun Padalarang. Murmer!

Selalu ingat untuk naik KRD Bandung Raya dari pintu selatan, bukan pintu utara Stasiun Bandung.
Berbeda dengan KRL Jabodetabek, KRD Bandung Raya masih mengandalkan sistem karcis kertas.

Butuh waktu sekitar 30 menit hingga kereta tiba mengangkut gue ke Padalarang, yang gue habiskan dengan, yah, update story.

Begitu kereta dateng, gue harus berjubel dengan penumpang lain yang lagi turun dari kereta. Ini bodoh sebenernya, karena harusnya gue ngeduluin penumpang yang keluar dulu baru masuk gerbong. Setelah beberapa lama mencari kursi, akhirnya gue menemukan satu spot kosong.

Perjalanan KRD Bandung Raya dan KRL Jabodetabek punya satu kesamaan: gak banyak pemandangan yang bisa dilihat sepanjang perjalanan. Tapi, lewat dari Stasiun Cimahi, pemandangannya berubah sedikit lebih baik.

Lumayan ada gunung nongol dikit.

Begitu tiba di Stasiun Padalarang, gue langsung pesen ojek online buat ke Mason Pine Hotel, Kota Baru Parahyangan. Tarifnya Rp. 10.000, yang karena ada promo jadi cuma Rp. 3.000 aja! Sekali lagi, murmer!

Spanduk yang menandakan kalo gue gak kesasar.

Waktu yang gue tempuh buat ke venue gak lebih dari satu jam dengan ongkos kurang dari Rp. 15.000. So, cepet dan murah kan?

Tiba di venue, gue agak kaget karena disambut dengan antrian yang mengular dari pintu masuk utama.

Tertib dan teratur, padahal didalamnya lagi ada diskon.

Ternyata gak butuh waktu yang terlalu lama buat mengantri. Sekitar 15 menit kemudian, gue pun disambut oleh sekuriti yang dengan sopan meminta gue menitipkan botol minuman karena ga boleh bawa makanan dan minuman ke dalam venue. Untunglah karena yang gue bawa adalah tumbler, gue dibiarkan masuk begitu aja.

“Jangan minum di dalem venue ya mas!”, kata sekuriti yang jagain pintu.

Agak aneh aja kenapa masuknya dijatah begini. Baru boleh masuk kalo ada yang keluar. Kayak diskotek aja.

Namun, setelah masuk, barulah gue paham.

Seperti kata pepatah, “Bagai serigala yang kerampokan”.

Venue utamanya gak sampe seukuran lapangan sepak bola. Mirip-mirip ukuran venue buat nikahan lah. Dan venue sekecil ini dijejali beraneka buku bertumpuk-tumpuk, ditambah dengan manusia-manusia yang berjubel diantaranya. Salah satunya gue sendiri.

Perburuan pun dimulai.

Venue yang penuh sesak memang jadi tantangan tersendiri dalam perburuan ini. Gak cuma itu, buku yang disusun bertumpuk juga menyulitkan gue untuk menemukan buku yang gue cari sehingga gue perlu sesekali berjinjit dan menyibak-nyibak berbagai judul buku. Belum lagi dengan ada buku yang diletakkan sembarangan dan pengunjung yang dengan bodohnya membaca buku diatas tumpukan buku, menghalangi upaya gue berburu buku.

Baca-baca sih boleh mas. Tapi minggir napa! Kan bisa bacanya gak sambil ngehalangin orang yang lagi cari buku.

Buku-buku yang dijajakan disini genre-nya cukup beragam, mulai dari seni dan fotografi, pengembangan diri, bisnis, agama, fiksi, olahraga, anak-anak, dan sebagainya. Selain berbahasa Indonesia, buku yang ditampilkan juga banyak yang berbahasa Inggris. Selain itu, gue juga sempet menemukan semacam board game diobral disini.

Namanya juga berburu buku di bazar buku. Sangat mungkin gue akan menemukan hal yang gue gak sukai…

“I hate snakes!”, kata Indiana Jones pas ketemu uler.

… dan yang gue sukai.

Mbaknya disensor sama KPI.
Visual Novel bisa ditemukan di section fiksi di gedung sebelah venue utama.

Setelah satu jam, gue masih gagal menemukan buku yang gue cari.

Lelah dengan ketidakpastian ini, ditambah ransel yang kayaknya makin lama makin berat, akhirnya gue memutuskan untuk nanya ke bagian informasi.

Harusnya gue lakukan ini dari awal.

Setelah gue nanya ke bagian informasi, akhirnya semuanya menjadi jelas: buku yang gue cari ternyata memang tidak ada. Jadi, usaha perburuan gue selama 1 jam berjubel diantara lautan buku dan manusia ini sia-sia belaka.

Dayum!

Daripada beneran sia-sia gue dateng kesini, gue pun memutuskan untuk ambil satu buku dan langsung check out. Gue kembali ke tumpukan buku-buku self-help dan mengambil buku The 7 Habits of Highly Effective People seharga Rp. 90.000. Setelah gue periksa, ternyata harga pasarannya bisa mencapai sekitar Rp. 250.000.

Diskon 64% fams!

Tanpa berlama-lama, gue langsung menuju kasir, membayar dengan tunai, dan segera melarikan diri dan belanjaan gue dari venue.

Puas menjajal diskonan di sini, gue pun segera beralih ke food court yang terletak di area parkir venue.

Area food court yang diramaikan oleh lebih dari 30 stand makanan.

Di area food court ini, gue menemukan berbagai jenis jajanan mulai dari seafood, thai tea, kopi, dimsum, pempek, baso, rice box, kue kering, wedang ronde, seblak, kebab, bakmi, sate lilit, sandwich, masakan Sunda, dan sebagainya. Daftar menunya tipikal food court yang biasa ditemukan di acara-acara lain.

Selesai menikmati jajanan, gue langsung memesan ojek online buat balik ke Stasiun Padalarang, kemudian naik kereta menuju Stasiun Bandung.

Kesimpulan dari gue yang pertama, perjalanan menuju venue dari Bandung dapat ditempuh dengan waktu relatif singkat (kurang dari satu jam) dengan ongkos kira-kira Rp. 15.000 aja tanpa kendaraan pribadi. Sangat masuk akal menurut gue.

Kedua, judul buku yang ditawarkan disini, meskipun banyak, tapi gak selengkap itu. Bisa jadi ada, bisa juga gak. Namun, pihak acara gak ngasi info secara online judul buku yang tersedia disini. Jadi, mau gak mau, harus dateng dan nanya langsung stok buku yang ada. Kalo punya teman yang bisa direpotin buat nanya stok buku, itu juga sangat bisa dilakukan.

Ketiga, harga yang ditawarkan emang sangat murah. Harganya bisa tinggal setengahnya harga awal. Konon, diskon yang ditawarkan bisa lebih tinggi lagi menjelang penutupan acara, yaitu tanggal 8 Juli.

Nah, sebagai penutup, buat yang lagi di Kota Bandung dan sekitarnya dan lagi kepengen buku, bisa buat dibaca sendiri atau untuk keluarga, saudara, atau temen, bisa banget nih dateng ke acara Big Bad Wolf Bandung 2019 di Mason Pine Hotel, Kota Baru Parahyangan. Acara ini bakalan terus berlangsung sampe tanggal 8 Juli 2019 dan buka sampe 24 jam. Dan buat yang gak sempet ke Bandung jangan berkecil hati, karena event ini diadakan tahunan di berbagai kota, tidak hanya di Indonesia, tapi juga se-Asia Tenggara. Selamat berburu!

--

--