7 Proses Belajar Saya Menjadi Desainer

Beberapa paragraf mengenai cerita proses transisi saya dengan background setengah-seni menjadi seorang desainer

Azis Pradana
Traveloka Design
8 min readSep 3, 2016

--

source: picjumbo.com

Perbincangan sore sebelum pulang kantor. Cuaca mendung dan secangkir kopi 3000 perak dari warung kopi belakang kantor adalah momen yang tepat menikmati sore. Bunyi gerimis dengan gemricik air di kolam ikan ditambah dengan beberapa rekan berbincang mengenai hal apa aja yang telah dikerjakan seharian didepan meja kerja masing masing. Niat melepas penat sekalian pulang, eh tak berasa hari sudah semakin petang.

Ya, pengalaman baru bagi saya bekerja di sebuah startup. Rekan sejawat dengan background yang luar biasa hebat. Dari pengalaman dan akademis mereka, saya bukanlah apa-apa selain hanya fresh graduate kemarin sore, lulusan dari kampus swasta di Jogja yang tak banyak orang tahu. Sudah bangunan kampus peninggalan Jepang, dengan ornamen beton klasik nan kokoh anti gempa serta warna biru langit dan putih, makin jadi gedungnya menyerupai pabrik susu.

“Hah, pabrik susu? seriusan? Emang ambil jurusan apa di kampus? Jangan jangan lo anak peternakan yak…”

“Broadcasting bro, masih ada campuran media sama seni lah. Jangan heran banyak orang gak jelas di kampus gue, hahaha…”

Sudah saya tebak. Bakal terheran-heran salah satu teman di samping saya, yang notabene pernah kuliah di kampus negeri ternama. Bahkan beberapa dari mereka pernah kuliah di luar negeri. Beasiswa lagi. Minder bin ngeri.

Buatlah karya sebanyak mungkin dan biarkan karyamu yang berbicara!

Jujur, salah satu ucapan dosen saya di atas sangat abstrak bagi saya saat masih kuliah. Maklum anak muda yang masih dengan pemahaman seadanya. Yang penting jalan, hasil belakangan. Di kampus saya, sedini mungkin sudah dididik untuk berkarya, berkarya, dan berkarya. Bisa jadi karena efek dari kurikulum diploma yang masih banyak materi praktikum daripada di dalam kelas. Keren memang. Anak muda bisa menghasilkan karya khususnya di bidang seni, dan mampu berpenghasilan pula dari karyanya. Salut.

Pola pikir dan orientasi yang berbeda serta lingkungan di sini membantu saya dalam proses transisi dari yang dulu bisa dibilang agak “nyeni”, menjadi pengembang produk yang cukup jauh dari ekspektasi saya. Dan masih bertahap untuk menjadi desainer hingga sekarang. Untungnya bekal dari kampus yang lebih ke seni visual mulai dari lukis, drawing, hingga gambar bergerak atau film bisa saya amalkan di sini walaupun hanya beberapa.

Hingga sekarang pun saya masih berproses dan belajar. Beberapa fase yang dulu saya jalani, dan perlahan beradaptasi dan dipengaruhi dari lingkungan kerja yang kadang cukup impulsif, mengarahkan saya pada apa yang saya geluti sekarang ini dalam berkarya.

1. Untuk user, bukan penonton

Tidak heran banyak karya buah tangan para seniman menimbulkan banyak pertanyaan bagi para audience yang sesaat/setelah menikmati karya mereka. Salah satu pertanyaan yang populer salah satunya :

“Maksudnya lukisan ini apa ya?”

Composition VII (The Three Graces) karya Theo van Doesburg. Sumber: pinterest.com

Di sinilah letak perbedaan yang cukup mencolok. User anda bukan audience yang hanya melihat, mendengar, dan duduk manis membawa soda atau kacang goreng. Mereka manusia yang menggunakan produk anda dengan maksud mendapatkan sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi mereka. Aset dari produk anda adalah user itu sendiri. Dan berkat bantuan rekan-rekan Interaction Designer saya bisa perlahan memahami user context secara benar.

Produk anda adalah sarana komunikasi, bukan sesuatu yang hanya dilihat dan membiarkan user meninggalkan komentar “Wow, awesome, bla bla …” User menggunakan produk anda — getting experienceuser feedback, make the loop. Ingat, feedback adalah komunikasi 2 arah, dan sebenarnya feedback bisa di-“skenario” berdasarkan experience mereka menggunakan produk kita. Jadi, kembangkanlah produk anda dengan cara yang benar :)

Menentukan goal yang jelas dan berpegangan pada user context yang tepat menjadi panduan saya agar tidak keluar dari jalur.

Saat merencanakan sebuah solusi, tidak sedikit rekan saya atau diri saya pribadi langsung bependapat dengan solusi akhir dalam bentuk grafis / high fidelity. Jika saya saja tidak yakin dengan pendapat saya sendiri, bagaimana dengan user yang tidak tahu konteks dari solusi ini? Maka validasilah.

2. Desain dengan suatu sistem

Dari poin pertama di atas, banyak user mencari produk yang berharap mampu membantu menyelesaikan masalah mereka. Setiap hari kita menerima masalah dari user, juga concern dari mereka yang sudah menggunakan produk kita. Masukan seperti itu bisa dijadikan case study untuk iterasi selanjutnya pada produk, mengingat kebutuhan manusia tidak ada habisnya dan sifat kita yang tidak mudah puas.

Sistem yang saya maksud di sini adalah kita memiliki pola dan cara dalam sebuah proses desain. Tidak hanya proses dari ide lalu dieksekusi ke high fidelity, tapi juga menjaga skalabilitas dan meminimalisir berbagai perubahan yang akan dihadapi user melalui interface yang kita berikan. Karena sistem yang telah ditetapkan, kita terjaga untuk tetap stay on the line mulai proses developing, iterasi, hingga delivery ke user. Learning curve para user untuk beradaptasi dengan hal yang baru menjadikan salah satu patokan kita dalam mendesain sebuah interface.

Banyaknya jenis stakeholder dan kebutuhan bisnis, banyaknya desainer dengan beragam background dan ide, serta bekerja dengan banyak platform dan device adalah beberapa bahan pertimbangan mengapa kita mengolah sistem desain ini secara universal agar bisa dikonsumsi bersama sebagai salah satu bahasa komunikasi. And we are still working hard on this part :D

3. Jadilah pendengar yang baik, pekalah pada produk yang anda kembangkan

Tidak sekedar diam dan mendengar, tapi juga memahaminya dengan konteks yang tepat. Saat tahapan validasi contohnya, di mana anda menjalani testing produk bersama user, bisa menjadi feedback bagi kita. Atau dari ocehan social media mengenai produk kita yang lebih sering menjadi hal yang menyakitkan, bisa kita baca untuk menjadi bongkahan berlian nantinya.

Di sinilah kepekaan saya diuji. Bagaimana menyikapi dari sekian banyak feedback atau opini yang ada, yaitu ambil tindakan untuk mencari solusi bersama. Bagaimana bring them up pada sebuah forum, atau buat sebuah sesi short meeting agar bisa didengar dan dieksekusi bersama oleh stakeholder dan product manager, bahkan hingga ke engineer atau copywriter sekalipun.

Terkadang hal yang tiba-tiba muncul di pikiran anda bisa menjadi sebuah bahan perbincangan menarik. Tarik saja rekan semeja anda untuk turut andil dalam brainstorming. Ya sesimpel itu. Karena jika tidak segera di-share akan sangat disayangkan. Bisa seberapa lama anda mampu mengingat hal tersebut? Tidak ada yang tahu ide brilian datang dari mana bukan? Sekali lagi bukan hanya feedback dari user yang anda dengar. Feedback dari rekan kerja yang sudah mengerti tentang produk itu sendiri juga bisa menjadi masukan yang sangat bagus.

4. Kolaborasi dan teamwork, prioritaskan komunikasi

Sudah jelas disebutkan di atas bahwa saya dan desainer-desainer di sini tidak bekerja sendiri. Bukan pula seorang Clark Kent atau Bruce Wayne. Proses development sebuah produk adalah tahapan yang cukup panjang, belum dengan iterasi saat produk akan/telah selesai dikerjakan.

Kolaborasi adalah hal yang jarang saya lakukan di bangku kuliah. Ternyata, kolaborasi bukan hanya duduk bersama bertukar pendapat, tapi juga proses end-to-end development yang mengikutsertakan banyak pihak. Proses apa saja yang dilakukan, kendala apa saja yang ditemui, dan tahap evaluasi adalah penentu iterasi selanjutnya untuk pengembangan produk/fitur itu kedepannya.

Oleh karena itu, komunikasi adalah hal yang sangat vital di sini. Keterbukaan antar sesama anggota team adalah kuncinya. Mulai dari penyampaiannya, hingga maksud yang akan dicapai dari kolaborasi ini. Maka tidak heran, beberapa obrolan serius bisa dimulai di pantry kantor, jeda makan siang atau saat menyeduh kopi. Yep, ngobrol saja dulu, but coffee first ☕️

5. Berkaryalah sesuai schedule dan belajarlah kendalikan mood

Ini salah satu yang cukup sulit pada awalnya bagi saya. Belajarlah untuk membuat daftar prioritas bersama rekan satu team. Ingat, ini pekerjaan team. Mengetahui workload rekan satu team sangat membantu saya selama ini dalam mengatur prioritas pekerjaan. Selain itu, pertimbangkan pula dari sisi business needs dari proyek yang akan/sedang anda kerjakan, serta seberapa besar impact-nya dalam sebuah periode proyek.

Sebagai contoh, di sini saya biasa mengatur task dalam setiap quarter. Jika memang dirasa task anda cukup santai, anda bisa mengunjungi backlog. Siapa tahu ada task yang bisa diselesaikan selain menjaga saya tetap produktif. Kontribusi, bukan yang penting jadi.

Saya yakin seniman ataupun desainer memiliki jadwal atau to-do-list untuk mengatur pekerjaan mereka. Namun, mengendalikan mood adalah perkara lain. Konon katanya banyak yang sangat tergantung pada mood untuk berkarya, tak terkecuali saya.

Di saat anda brainstorming misalnya, tidak jarang opini yang kita dengar kurang berkenan. Asumsi yang terlalu mengada-ada kadang membuat kita jengkel. Pembicaraan out of context membuat kita mudah terdistraksi dengan pengambilan opini yang kurang benar. Hal ini bisa berpengaruh pada hasil akhir yang padahal perlu tepat guna, efektif, dan solusinya sesuai menjawab permasalahannya. Perlu belajar fokus untuk siapa, mengapa, dan bagaimana, untuk win-win solution.

6. Teruslah belajar, jangan mudah puas pada hal yang sudah dikuasai

Hanya beberapa ilmu yang bisa saya pahami sekaligus saya terapkan. Dan beruntung saya mendapatkan pengalaman baru menjadi seorang desainer.

Langsung pada solusi, belum mampu memahami permasalahan dengan benar, adalah beberapa kekurangan saya yang masih harus dibenahi. Di beberapa kesempatan harus meningkatkan tempo, dan di kesempatan lain menjaga tempo agar stay on the right track and pace adalah sesuatu yang baru dan menarik bagi saya. Pengalaman saya sewaktu masih freelancer adalah menyesuaikan pekerjaan saya dengan jadwal dan mood. Kalau kosong dan mampu ya cari-cari kerjaan :D

Selain dari technical side saya berkembang, pelajaran mengenai self-management dan proses desain berdasarkan analisis yang tidak asal-asalan, bisa bekerja secara dekat dengan product manager dan engineer, adalah hal yang sangat saya syukuri dan belum tentu saya dapat di tempat lain.

7. Saat kesalahan menjadi sebuah pembelajaran

Semakin saya sadar akan kekurangan yang bisa saya benahi, semakin beruntungnya saya mendapatkan feedback dari apa yang sudah saya kerjakan. Karena saya mendesain bukan untuk desainer, tapi untuk user. Hal yang langka bagi saya mendapat feedback karena sebelumnya saya hanya mendesain berdasarkan permintaan dari klien lewat sebuah brief saja.

Ya, karena feedback adalah bagian dari proses.

Saya sadar kenapa banyak desain saya menjadi gagal karena workflow yang kurang tepat. Beberapa hari kemarin, saya tidak sengaja menemukan postingan mas Sigit Adinugraha di laman facebook Tech in Asia Indonesia. Beruntungnya beberapa gambar dari artikel di sana mirip dengan apa yang saya lakukan dulu:

Pelan namun pasti, saya masih mencoba untuk menerapkan workflow berikut:

Selain dari bantuan teman-teman tim Product Design, meningkatlah keyakinan dan semangat saya dalam proses menuju “jalan yang benar” ini setelah membaca banyak referensi dan buku. Di antaranya, artikel dari Goran Peuc berjudul “Design is not art” dan beberapa publication dari Don Norman hingga beberapa buku seri dari A Book Apart.

Terima kasih sudah menyimak artikel perdana saya di Medium ini. Sebenarnya artikel ini sudah berada di draft list selama hampir 1 bulan, namun baru akhir-akhir ini sadar jika menunggu artikel ini sempurna sama saja tidak akan pernah publish, hahaha. Sampai ketemu di artikel selanjutnya. Last but not least…

--

--

Azis Pradana
Traveloka Design

Conditional coffee lover and traveler. Live for bike, photography, and design. Mostly writing in Bahasa Indonesia 🇮🇩 https://azis.webflow.io/