Humanisasi Teknologi!

Annabelle Wenas
Traveloka Design
Published in
4 min readJun 27, 2016
Ekspansi horison mengenai peran lulusan psikologi

Tanpa terasa dua tahun telah berlalu sejak kelulusan saya dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia — rumah kedua — di mana para penghuninya bernafaskan empati. Terletak di dekat gerbang utama dan stasiun Universitas Indonesia, fakultas yang didominasi 70% kaum hawa ini mudah untuk ditemukan, apalagi dilengkapi dengan mini market, ATM, toko buku, dan cafe. Alhasil fakultas ini dijadikan jalan pintas bagi mahasiswa dari fakultas tetangga, termasuk Fakultas Ilmu Komputer, alma mater dari banyak rekan-rekan saya di Traveloka.

Taman Akademos Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

“Psikologi dan Ilmu Komputer, dekat tapi terasa jauh”

Di Universitas Indonesia, letak kedua fakultas ini berdekatan. Namun, jika dilihat dari fokus ilmu yang dipelajari, keduanya berjauhan. Satu mempelajari perilaku manusia, dan yang lainnya mempelajari teknologi informasi. Lulusannya pun jarang bekerja di bidang yang bersinggungan; sampai suatu saat, gelombang start-up menghampiri. Gelombang ini menyebabkan produk berbasiskan teknologi berkembang pesat, bersaing, dan masing-masing berkompetisi untuk menghasilkan yang terbaik. Tidak sedikit dari start-up hanya hidup seumur jagung. Mengapa? menurut saya karena mereka lengah dalam menentukan definisi “terbaik”.

“Terbaik” ini ditentukan oleh Anda, saya, dan homo sapiens lainnya di muka bumi. Kita, sebagai manusia, merupakan inspirasi terciptanya suatu produk, tapi kita juga yang membuatnya bertahan. Ini bukan fakta baru. Banyak yang mengetahui hal ini, namun masih sedikit yang bisa memahaminya. Pemahaman tentang manusia semakin penting sebagai kiblat desain, terutama untuk produk teknologi digital yang bersentuhan langsung dengan hidup penggunanya (user). Hal ini membuka peluang yang masih belum banyak terisi, peluang kolaborasi antar individu berlatar belakang ilmu sosial-humanis (psikologi, antropologi, sosiologi), dengan individu berlatar belakang ilmu teknologi informasi (ilmu komputer, sistem informasi). Sayangnya, masih banyak rekan-rekan se-alma mater saya yang belum mengetahui bagaimana bidang ilmu kami dapat diaplikasikan dalam proses terkait — alasan utama saya bertamu ke kampus alma mater pada Jumat, 10 Juni 2016 lalu.

Saya (Design Researcher, Traveloka) bersama dengan Dhea Sekararum (Product Manager, Yogrt App), dan Qonita Shahab (Product Designer, Traveloka) bertamu untuk ngobrol santai dengan sekitar 40 mahasiswa jurusan psikologi dari beberapa universitas, antara lain Universitas Indonesia, Mercu Buana, dan Universitas Negeri Makassar. Dalam ngobrol yang bertemakan “Psychology Meets Technology: How Psychology Graduates can contribute in Improving Technology”, kami menjelaskan peran lulusan psikologi melalui tiga perspektif, masing-masing pembicara mewakili salah satunya. Saya menceritakan pengalaman saya selama berkarir di bidang riset yang jauh dari konstelasi lulusan psikologi. Lalu, Mbak Dhea menceritakan suka duka yang dialaminya sebagai ujung tombak perusahaan start-up social networking app. Terakhir, Mbak Qonita menceritakan perpindahan minatnya dari teknologi informasi ke perpaduan desain produk dan ilmu perilaku.

Mahasiswa psikologi lintas angkatan dan universitas

Dalam kesempatan ini kami (saya, Mbak Qonita, dan Mbak Dhea) menerima beberapa pertanyaan menarik dari para audiens, berikut beberapa di antaranya yang sudah dikemas ulang:

1. Selain bisa empati, kenapa anak psikologi cocok di bidang desain produk? Bukannya kemampuan itu juga ada di lulusan disiplin ilmu lainnya?

Empati merupakan soft skill yang tidak dapat diajarkan secara instan dalam pelatihan dengan nilai “investasi” tertentu, melainkan diperoleh dari proses belajar yang didukung pengalaman yang konsisten — kondisi yang diperoleh para mahasiswa psikologi dan mendukung pertumbuhan empati. Selama setidaknya empat tahun, mereka didorong untuk mempelajari manusia secara sistematis, baik melalui pendekatan kualitatif seperti wawancara, ataupun kuantitatif seperti analisis statistik, sehingga mereka memahami luasnya rentang kognisi, emosi, dan perilaku manusia yang membantu untuk memisahkan subjektivitas dalam pembuatan kesimpulan. Apabila empati diibaratkan sebagai padi, Ia tumbuh lebih subur di tanah yang sudah dibajak (mahasiswa psikologi), dibanding tanah yang belum dibajak (mahasiswa bidang ilmu lainnya). Same skill, different receptiveness, different growth!

2. Apabila dalam suatu start-up terdapat peran hustler, hacker, dan hipster seorang lulusan psikologi biasanya berperan sebagai apa?”

Hustler. Karena berbekal empati, lulusan psikologi menjadi pihak yang tepat untuk menengahi “si otak kanan” (hipster) dan “si otak kiri” (hacker). Secara konkret dalam kondisi ini mereka berperan dalam mencari titik temu antara luasnya ide, kebutuhan user, tujuan bisnis dan market, serta batasan implementasi. Fiuh!

3. Bagaimana cara membuat persona yang ideal?”

Persona adalah deskripsi fiksional yang dibuat berdasarkan tujuan, motivasi, dan kebutuhan nyata dari user produk. Deskripsi ini membantu pihak-pihak yang terkait untuk memiliki pemahaman setara tentang user dan atau target user (market segment). Idealnya pemahaman inilah yang perlu terus diperbaharui. Jangan sampai terpaku pada pembuatan persona yang “ideal” yang justru menghambat atau bahkan menghalangi kita dalam mendesain fitur atau produk baru. Keep in mind that persona is a way, yet not the only way to reach that understanding.

Kesimpulannya, lulusan psikologi dapat membantu mencari jalan pintas dari ketidakpahaman menuju pemahaman yang lebih manusiawi mengenai user produk teknologi. Sayangnya banyak pelaku bisnis di bidang terkait, bahkan lulusan psikologi pun belum menyadari hal ini. Besar harapan tulisan ini dan juga sesi ngobrol kemarin, dapat menjadi salah satu titik mula ekspansi manfaat ilmu perilaku terkhususnya di Indonesia. Sekali lagi, humanisasi teknologi!

Terima kasih kepada Biro Kewirausahaan @BEMPsikoUI atas bantuannya dalam menyelenggarakan sesi ngobrol di kampus alma mater tercinta.

--

--