Pelajaran yang Saya Dapat dari Melakukan Stakeholder Interview

Chandraditya Kusuma
Traveloka Design
Published in
6 min readOct 14, 2016

Sebelum bergabung di Traveloka, saya bersyukur telah memiliki beragam kesempatan untuk melakukan riset (dalam bentuk interview) dengan berbagai tipe partisipan. Dari berbagai tipe interview itu, perlahan-lahan tumbuh sense untuk melakukan interview dengan berbagai tipe interviewee.

Akan tetapi, rasanya jarang sekali (atau tidak pernah? saya lupa) saya menginterview orang-orang yang “berada dalam pihak saya” atau entah satu kantor atau satu tim dengan saya. Bahkan awalnya pun saya mempertanyakan kegunaannya, buat apa ya? UX bukannya U nya User? Kok pake urusan sama stakeholders segala sih?”

Oh, ternyata simpelnya karena kita bukan hanya perlu mengerti user, tapi juga business.

“UX isn’t all about the users. On the other side of the coin lurks the business and the UX pro that makes her users happy but fails to do the same for the business is the UX pro rapidly looking for a new job.”
www.interaction-design.org

Kutipan di atas merupakan jawaban dari pertanyaan “Kenapa kita harus mengerti business needs?” Akan tetapi, kalau pertanyaannya “Apakah mengerti business needs itu harus selalu dengan melakukan stakeholder interview?”, sebenarnya tidak juga. Stakeholder interview itu hanya salah satu cara untuk mengerti business needs.

Cara lainnya? Bisa sambil ngobrol-ngobrol santai dengan stakeholder waktu makan siang. Bisa juga di waktu yang lebih formal — saat meeting misalnya. Selain komunikasi langsung, kita juga bisa “ngobrol” via dokumen atau chat app. Semuanya tergantung kompleksitas project, kedekatan kita dengan mereka, waktu, budget, dsb.

Nah, sekarang mari saya antar ke pengalaman saya melakukan stakeholder interview di Traveloka beberapa waktu yang lalu. Banyak hal yang menjadi tantangan di dalam stakeholder interview ini — jumlah stakeholder yang banyak (10–15 orang 😅 ), konteks proyek yang butuh digali lebih dalam, product planning yang masih fleksibel, dan lagi, kegiatan ini merupakan tugas pertama saya ketika bergabung dengan Traveloka.

Berikut adalah hal-hal yang saya pahami dan pelajari selama melakukan stakeholder interview ini.

Interview bukan hanya untuk business needs gathering, tapi juga relationship dan trust building

Sambil membaca-baca artikel di internet dan menjalaninya langsung, saya sadar bahwa stakeholder interview punya manfaat lebih dari interview, yaitu relationship dan trust building.

Pertama, stakeholder interview merupakan kesempatan bagi saya untuk membangun hubungan yang baik dengan para stakeholder. Selain itu, stakeholder interview sangat bermanfaat untuk meningkatkan rasa percaya. Rasa percaya ini sangat bermanfaat di dalam proses kolaborasi seluruh fungsi ketika membangun sebuah produk. Di sini bisa menjadi tempat bagi saya untuk berkata “Halo, saya punya intensi untuk membuat produk ini menjadi lebih baik lho. Plan saya a, b, dan c. Mari bekerjasama!”

Mengundang partisipan bisa dijadikan momen untuk memicu partisipan lebih siap saat di-interview nanti

Biasanya waktu mengundang user untuk menjadi partisipan, yang kita lakukan sangatlah simpel: mencari waktu dan tempat yang tepat untuk dua belah pihak. Hal tersebut juga berlaku untuk stakeholder interview. Akan tetapi proses mengundang partisipan bisa dibuat sedikit berbeda karena kita bisa mendapat manfaat lebih dari sekadar mengundang.

Dalam design research, biasanya kita ingin user (sebagai partisipan) tidak mempersiapkan apa-apa. Kenapa? karena kita ingin mendapatkan spontanitas mereka, kita ingin mengerti bagaimana perilaku mereka dalam suasana yang se-natural mungkin.

Tapi kalau stakeholder interview, ada approach lain yang lebih baik. Justru, kita ingin mereka sesiap mungkin, sematang mungkin, supaya hasil interview bisa sejernih mungkin hasilnya. Oleh karenanya, ini bisa jadi kesempatan kita untuk memberitahu mereka apa saja yang kita expect dari mereka saat interview. Jadi, kita bisa kemas undangannya menjadi seperti ini:

“Halo Mario, untuk sesi interview ini, waktu yang paling sesuai untuk kalian kapan ya? apakah tanggal 20 di ruangan Heisenberg bisa? Oh iya, sebagai catatan, dalam sesi ini yang kita mau tanya-tanya adalah opini kamu tentang hal a, x, dan y ya.”

Gugup karena topik yang berat? Waktunya menjadi lebih kreatif dan menemukan trik yang tepat

Jujur waktu mau mulai membahas topik produk ini saya merasa gugup. Alasannya hampir sama seperti yang sudah saya jabarkan di atas: stakeholdernya banyak, konteksnya minim, product planning-nya masih fleksibel, terlebih-lebih lagi saya baru di perusahaan ini.

Tampaknya benar bahwa orang bisa menjadi lebih kreatif saat dia tersudut. Jadi, akhirnya saya coba lakukan a little bit of everything: dari mulai sekadar bercemas-cemas, bolak-balik bertanya ke Product Manager, hingga akhirnya tercetus inspirasi yang dicontek dari teknik diary: meminta stakeholder untuk mengerjakan initial assignment untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap produk dan peran mereka di dalam produk tersebut. Tentu cara memintanya dapat diatur sehingga tidak terkesan menyuruh mereka mengerjakan tugas 😂 .

Hasilnya ternyata cukup membantu saya menjadi lebih siap akan materi dan merasa lebih percaya diri (penting!) saat mewawancarai stakeholder.

Oh, sebagai tambahan saya juga menyadari bahwa di saat sesi wawancara, bukan hanya saya yang jadi lebih siap, tetapi juga para stakeholder. Menulis assignment memberikan kesempatan bagi mereka untuk memikirkan concern dan opini apa saja yang perlu mereka bagikan nanti.

Konteks masih ‘belum jelas’? Jangan buat pertanyaan interview yang terlalu detail

Karena nervous menghadapi interview dengan topik yang belum saya mengerti, saya berusaha keras untuk mempelajari topik tersebut dengan bahan seadanya dan menyusun panduan pertanyaan sedetail mungkin. Biasanya, menulis panduan pertanyaan sangat membantu interviewer menghadapi interview dengan topik yang berat, karena di situ kita meraba-raba apa saja hal yang perlu dibahas.

Tapi ternyata saya keliru. Pada dua interview pertama, jawaban-jawaban dari stakeholder menggiring saya untuk membuang panduan pertanyaan.

Kenapa? jawaban-jawaban mereka menunjukkan arah yang berbeda dari yang saya bayangkan akan berlangsung. Jadi, saya sadar bahwa di saat akses untuk mendapat informasi minim, jangan paksakan untuk membuat pertanyaan-pertanyaan detail.

Akhirnya, panduan interview saya berubah menjadi seputar 3 hal di bawah ini:

Panduan interview akhir

Di sini saya belajar bahwa saat melakukan interview, kita harus selalu siap menghadapi surprise dan mengubah approach kita bila perlu. Karena pada akhirnya, data yang lebih baik lebih penting daripada metode yang konsisten bukan?

Setiap interview bahasannya berbeda, bagaimana menganalisanya?

Ternyata multi stakeholder interview menghasilkan interview takeout yang berbeda-beda sekali dari satu sesi ke sesi lainnya. Alasannya simpel, sudut pandang dan latar belakang yang berbeda-beda, satu dari Marketing, satu dari Finance, lainnya dari Operational.

Biasanya interview dengan berbagai partisipan itu hanya partisipannya saja yang berbeda-beda, bukan topik yang dibahas (misalnya, topik: penggunaan aplikasi mobile, partisipan: anak remaja, eksekutif muda, dan ibu rumah tangga). Sehingga, kita bisa membuat analisa dengan framework semacam ini:

Framework reporting yang umum

Akan tetapi dalam case ini topik dan partisipannya berbeda-beda. Apakah framework analisisnya masih sama? Ternyata tidak. Ada cara lain yang lebih cocok untuk menganalisis case seperti ini. Daripada mencari pattern di dalam topik, lebih baik kita zoom-out sedikit dan cari koneksi (dan diskoneksi) antara satu interview dan interview lainnya. Seperti ini:

Selain partisipan interview, mereka juga stakeholders lho! (obvious, tapi bisa jadi lupa 😬) Jadi, follow-up itu perlu!

Waktu itu saya membawa kebiasaan meng-interview user, asas ‘hubungan kita selesai setelah keluar dari ruangan ini’ masih saya ikuti. Sampai akhirnya, saya bertemu dengan salah satu partisipan (a.k.a stakeholder) di lift kantor yang bertanya “Hai Chandra, gimana kelanjutannya product X? Udah sampai mana?” — Sambil menjawab, saya langsung berpikir dalam hati “waduh, kok sampe ditanya ya, harusnya gue yang inisiatif meng-update”

Setelah itu saya berusaha untuk memberikan update kepada mereka. Saat itu, kebetulan sekali ada sebuah diagram yang dibagikan Arie di sebuah media komunikasi internal perusahaan.

Sumber: Interaction-Design.org

Ternyata, stakeholder interview ini serupa tapi tak sama dengan user interview. Tidak perlu membangun skill-set yang sepenuhnya berbeda, cukup beradaptasi sedikit dan melakukan beberapa penyesuaian. Semoga bermanfaat!

--

--

Chandraditya Kusuma
Traveloka Design

Casual life-observer who always have time for cycling and coffee. Digital product designer