ragam spektrum aktualisasi diri — baik bagiku, belum tentu bagimu.

Ketika terlalu banyak melihat ke luar, atau tertawan idealisme sendiri, hingga lupa bincang syahdu kepadaNya: soal apa yang terbaik bagi diri.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati
6 min readFeb 24, 2023

--

Ilustrasi dari: burdge.tumblr.com

“Aku nggak berani buka LINKEDin.”

Begitu ujar rekanku.

Kala itu, ia seorang ibu rumah tangga, tanpa ada aktivitas lain selain mengurus keluarga. Aku berpikir sejenak. Kemudian mengerti.

Aku merelasikan ucapannya dengan lintasan-lintasan narasi di media sosial ihwal kaum ibu yang mempertanyakan kiprah dirinya. Seolah-olah, menjadi ibu rumah tangga ‘tidak lebih keren’ ketimbang menjadi perempuan yang berkiprah pula menjadi social media manager di perusahaan hybrid-working yang tengah naik daun.

Narasi klasik. Tapi sejujurnya membuat aku nggak habis pikir, sejak kapan karir jadi semacam prestige yang lebih mentereng ketimbang non-karir?

Mengapa kubilang non-karir — nggak hanya menjadi ibu rumah tangga?

Karena bagiku ada hal-hal yang sebenarnya begitu mulia dan keren ketimbang pencapaian ‘karir’, seenggaknya dalam subjektivitasku. Semisal menjadi buruh pabrik yang juga ketua RT amanah serta sigap melayani kebutuhan warganya, atau perempuan reseller multibarang — yang juga fokus merawat ibunya yang sakit-sakitan. Itu juga keren!

Di satu sisi, ada semacam ‘gerakan counter’ yang sebenarnya tentu saja tidak disengajakan untuk melawan narasi ‘karir adalah aktualisasi’. Pada awalnya, barangkali sebagai sarana positif untuk bersyukur akan peran yang sedang diemban selain berkarir ‘prestisius’.

Di ranah ibu-ibu, terdapat postingan-postingan yang memperkuat the beauty of being ‘full-time mom’ (yang saya persepsikan sebagai perempuan yang memiliih tidak berkarir di ranah publik).

Kemudian karena full-time mom kerap kali ‘dipersepsi’ sebagai titel inferior, maka timbul riak-riak sensi (yang mungkin unconscious) yang pada akhirnya menyudutkan pihak ibu yang berkarir — seperti kurang waktu dengan anak, kuantitas itu tak dapat digantikan, dan lain sebagainya. Tanpa mengetahui bahwa beberapa ibu berkarir pun sudah menstrategikan dengan segala lebih dan kurangnya — bagaimana anaknya mendapat pengasuhan yang layak.

Nah, di ranah secara umum, terdapat postingan-postingan yang terlalu mendramatisasi keapesan sebagai ‘budak korporat’ berkedok pahlawan perusahaan. Atau jadi ‘ba(m)bu’ institusi negara. Lebih baik punya usaha sendiri. Padahal barangkali bekerja di perusahaan tersebut, atau jadi ASN di institusi negara tersebut memberikan timbal balik kebermanfaatan bagi sebagian orang (tentunya dengan cara yang sebisa mungkin halal).

Lantas, aku ingin menarik kerumunan fenomena di atas pada satu frasa lumayan beken. A k t u a l i s a s i d i r i.

Jika menilik pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktualisasi adalah: ak·tu·a·li·sa·si/ n perihal mengaktualkan; pengaktualan. Sedangkan aktual itu sendiri, bermakna 1 betul-betul ada (terjadi); sesungguhnya: cerita itu diangkat dari kejadian yang — ; 2 sedang menjadi pembicaraan orang banyak (tentang peristiwa dan sebagainya); 3 baru saja terjadi; masih baru (tentang peristiwa dan sebagainya); hangat: berita — ;.

Kusimpulkan, tanpa metode kodifikasi njilimet, aktualisasi diri adalah perihal menyibak diri yang sesungguhnya dan menjadikannya ‘betul-betul ada’. Seperti bagaimana kesejatian diri ini pada akhirnya diwujudkan dalam dunia nyata.

Menurutku, aktualisasi diri itu bisa jadi serangkaian proses yang puanjaaaaang dan akan terus mengalami lapis-lapis revisi, dan berhenti hingga kita bermukim di makam kelak.

Dan hal tersebut, sepanjang pengalamanku kini, didapat dengan:
(1) Ngeuh, kalau tujuan di dunia ialah beribadah, menambah nilai manfaat
(2) Mengenal fitrah manusia secara umum (bahwa kita butuh berjuang sekaligus istirahat, etc.)
(3) Mengenal lebih-kurang diri yang unik dan nggak sama tiap orangnya (bahwa aktivitas yang membuat kita berenergi semisal adalah ngotak-ngatik mesin)
(3) Membaca sekitar, apa arena yang jadi amanah bagi saya dan saya bisa memberi nilai tambah terhadapnya — bukan digiring sama aktualisasi pihak lain seperti ‘ih dia udah kerja di tech-startup di perusahaan anu, sekarang pencapaiannya udah jadi C-level, minder gua’, atau ‘ih temen aku nggak pakai ART, ibu sejati banget. aku berasa kalah sebagai wanita’.
(4) Banyak nanya dan minta ditunjukkan Yang Maha Kuasa, orbit yang tepat buat kita yang seperti apa. Output-nya, insyaallah biasanya Allah kasih pertanda-pertanda kuat.

Kalau dibikin diagram, mungkin seperti ini. Ada persamaan kayak diagram Ikigai, tapi ada bedanya juga~

Praktiknya gimana sih buat meramu si Golden Intersection itu? Menurutku, Allah akan kasih pertanda kuaat di tiap ragam spektrum buat kita menjalani peran yang mana.

Semisal, aku nih. Peran ‘golden intersection’ utama yang kini sedang ku-ikhtiarkan adalah menjadi istri dan ibu yang berkuliah di program doktoral Perencanaan Wilayah dan Kota. Ragam pertanda dari aspek-aspek menjadi clue-ku untuk memperkuat diri.

Ketika aku menjalankan peran ini, ternyata Allah permudah bagiku untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, psikis, dan spiritualku (2). Aku tidur rata-rata 6–8 jam per hari, makanku terjaga, waktuku untuk beribadah dan mengobrol padaNya juga tersedia. Peran menjadi mahasiswa doktoral, komunikasi asertif ke suami akan kebutuhan-kebutuhanku menjadi kunci. Aku butuh me-rumah, berdomestik ria — tapi ada sisi dimana aku butuh pula terlibat di ranah publik dalam taraf tertentu.

Mengenal keunikan diri, aku tipikal pemikir (huehehe — terlalu banyak mikir malah). Suami senang berdiskusi, jadi hobi berpikir mendalam dan berdialektikaku setidaknya bisa memuaskan suami (acieww). Aku harap etos berpikir mendalam juga akan bermanfaat untuk anakku kelak. Tentu, kecenderunganku untuk berpikir hingga ke akar cukup banyak membantuku di studi S3. Aku juga nggak menyangka, menelusuri ilmu baru di studi S3-ku ternyata seru juga. Ada rasa ‘kasmaran’ yang tumbuh dan kupikir itu pertanda pula dariNya.

Society di sini, tentu termasuk suami dan anakku (beneficiaries utama dari peran yang kujalani). Namun juga termasuk extended families (ortu, adik, mertua, ipar, dan juga relasi-relasi lainnya).

Segimana aku denial dan nekat ingin berhenti S3, suami berkali-kali bilang ‘Tristi pertahankan S3’, yang kusimpulkan nampaknya Allah ingin aku S3 dan mengondisikan hati suamiku agar ia teguh ingin aku pertahankan S3. Supporting system untuk mengasuh anakku bersama pun tersaji dan selaras dengan gaya parenting yang kuamini. Keluargaku juga mujur tak menuntut banyak dariku.

Kendati demikian, untuk society yang lebih luas, aku masih berpikir ketiga ilmu kuliah S1-S2-S3 ku bagaimana bisa berpadu yaa. Namun aku terpikir untuk membuat buku-buku (fiksi-nonfiksi) menggunakan ketiga ilmuku itu (S1-ilmu jurnalistik untuk mengemas tulisan; S2-bisnis-untuk pemasaran bukuku; S3-perencanaan wilayah dan kota-untuk konten-konten bukuku yang memadukan unsur sosial-psikologi yang bersinggungan dengan ranah publik).

Terakhir, aku sebisa mungkin meluangkan waktu untuk meneguhkan peranku apa di dunia — dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Untuk saat ini, kusimpulkan aktualisasi yang paling best deal dan nampaknya paling Allah ridhai — adalah dengan menjadi istri-ibu yang berkuliah doktoral.

___

Aku percaya, jika Allah sangat berkehendak seorang hambaNya mengaktualisasikan diri menjadi semisal wirausahawan yang tetap setia mengurusi istrinya yang sakit keras, Ia akan menggiring semesta untuk memberikan banyak pertanda serta bala bantuan pada hamba tersebut untuk menjalani peran tersebut.

Jika Allah berkehendak hambaNya mengaktualisasikan diri menjalani peran sebagai menteri yang tetap menjaga quality time dengan anak-cucu, Ia pun akan menggiring semesta untuk memberikan banyak pertanda serta bala bantuan pada hamba tersebut untuk menjalani peran tersebut.

Begitu pun dengan peran-peran lainnya. Peran nggak hanya menyoal jadi pegawai korporat dan wirausaha. Atau (lagi-lagi tok) ibu rumah tangga dan ibu berkarir.

Please, spektrum aktualisasi diri yang Allah mau bagi tiap hambaNya sangat luas dan sangat unik per individunya, kok, aku percaya itu.

Adapun yang bikin kita (tepatnya aku berkali-kali) galau akan peranku, adalah ketika:

(1) terlalu kaku/terpaku pada peran ideal untuk kita (dalam kasus aku: ingin cari kiprah yang 80% bisa terus nempel sama suami padahal barangkali menurut Allah ‘ya ga harus gitu juga keles’);
(2) terlalu banyak lihat kiprah orang sana-sini
(3) kurang banyak ngobrol sama Sang Pencipta, jadi mata hati sedemikian kurang jeli membaca dan mengolah pertanda-pertandaNya di kehidupan kita.

Wallahu’alam. Selamat mengaktualisasikan diri, wahai diri dan kawan baiik.

Ehm, in case ingin konsultasi soal minat-bakat ke aku, sangat masih bisa lho. Ke bit.ly/reg-konsultasitristi, iyess.***

--

--