“are you REALLY what you are feeling about you?”

Sebuah refleksi dari video viral Daniel Mananta dan toilet ‘gender neutral’.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati
4 min readAug 19, 2023

--

Photo by Nik on Unsplash

Beberapa minggu yang lalu, sempat heboh ya pemirsa — ialah reels cuplikan wawancara Daniel Mananta dengan Quraish Shihab.

Yep. Di video tersebut Kak Daniel memaparkan pengalamannya ketika berkunjung ke salah satu sekolah internasional di daerah Jabodetabek. Ia kaget bahwa ada tiga jenis toilet di sekolah tersebut: men, women, dan… gender neutral.

Kak Daniel — yang kuketahui merupakan kristen taat. Sebuah niscaya jika dalam video tersebut ia menyatakan kekagetannya perkara ‘toilet gender neutral’ ini. Alhasil, ia tidak mau mengajak anaknya untuk ke sekolah itu lagi.

Nope. Bukan soal gender atau LGBTQ+ dan isu-isu turunannya yang akan kubahas pada tulisanku kali ini (Hehe maaf ya, soalnya isu ini sensitif, butuh empati mendalam sekaligus keberanian untuk memaparkan standpoint-ku berlandaskan value yang kupegang).

Apa yang ingin kubahas: melainkan apa yang menjadi concern Kak Daniel, tentang parenting — dan lebih luasnya lagi mengenai stigma hidup ‘you are what you are feeling’ (kamu adalah apa yang kamu rasakan) yang menurut beliau kebablasan.

Untuk seterusnya, frasa ‘you are what you’re feeling’ kusingkat saja dengan (YAWYF) aja yee. Wgwg.

Jika dengan dikaitkan dengan konteks ‘isu toilet gender neutral’ — paham YAWYF ini bisa jadi mendasari mengapa bisa ada ‘toilet gender neutral’.

Ada sekelompok manusia yang memiliki beragam gejolak rasa — merasa dirinya sungkan didikotomikan sebagai perempuan atau pria.

Atau merasa dirinya pria terjebak dalam tubuh perempuan, atau sebaliknya.

Dan ‘perasaan’ itulah yang meng-guide dirinya, apakah ia akan operasi transkelamin, atau melabeli diri sebagai gender neutral. Dlsb.

______

Duhai, perasaan. Apakah sebegitu menentukankah dirimu, hai perasaan, dalam menentukan pilihan hidup — bahkan: jati diri.

Aku tidak ‘anti-perasaan’ — in fact — aku adalah seorang perasa — bahkan bisa dalam taraf over-feeler.

Tapi, bagiku — perasaan semacam teka-teki musykil yang tidak bisa disimpulkan begitu saja. Tidak bisa diacuhkan, namun juga dimaknai sesuka hati.

Aku percaya, bahwa perasaan adalah seperangkat pertanda dari Yang Maha Kuasa — dan butuh berpikir untuk menginternalisasi dan merefleksikan pertanda itu.

Photo by Matthew Henry on Unsplash

Prosesnya bisa jadi puanjangg, sulit, dan berliku. Namun biasanya buah dari hasil perenungan panjang akan perasaan-perasaan sulit — menjadi wawasan super berharga dalam menghadapi hidup.

Aku mengutip paragraf salah satu esai dari buku yang kubuat:

Aku berpendapat jika perasaan– datangnya langsung dari Ilahi. Direct. Perasaan adalah anugerah. Saking tebal dan kaya-nya sebuah perasaan, butuh upaya manusia untuk menyederhanakan abstraksi ini. Hasil penyederhanaan inilah yang dinamakan pemikiran. Pemikiran merapikan dahsyatnya perasaan yang hinggap.

Aku ingat betul ayat ini. Bagiku tanda-tanda ‘..dan pada diri mereka sendiri.’ bisa jadi perasaan yang tersembul dalam jiwa masing-masing manusia.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasan) Kami di cakrawala dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Tidaklah cukup bahwa sesungguhnya Rabb-mu menjadi saksi atas segala sesuatu?” Q.S. Fushshilat ayat 53.

Ada juga beberapa tulisan orang lain yang bilang, ‘feeling is a cloud’. Ia berlalu lalang dalam langit jiwa kita. Namun, apakah akal kita dapat menangkap maksudnya, dan tentu maksudNya?

Menurutku — menurut pengalamanku — bagaimana perasaan bergejolak, dan bagaimana ia dapat dinavigasi sangat bergantung pada kecenderungan value yang kupilih.

Jika value-ku adalah kepercayaanku, dan berusaha membiasakan diri dengan hal-hal terkait kepercayaanku — maka penafsiran akan perasaanku akan mengarah pada kepercayaanku. Kepercayaan yang kuyakin diridhaiNya.

Aku sendiri berpendapat, ketika diri ini menempatkan kecenderungan kita berdasarkan ‘apa aja deh yang kita mau’ — maka kita bersandar pada sesuatu yang sangat rentan bias serta subjektif: diri kita sendiri. Terkadang apa yang kita mau— bisa jadi destruktif buat diri sendiri bukan? Bisa jadi nggak. Tapi suka sulit membedakan kalau dibutakan subjektifitas.

Beda ketika kita bersandar pada tuntunan Sang Pencipta yang tentu — lebih memahami betul mengenai manusia dan kehidupan secara general.

Hmm. Hehee.

Jadi menurutku, we are not merely our feelings. We are a product of our thoughts about our feelings, and it is influenced by our tendency into conscious and/or subsconscious values.

Pertanyaannya, mau pilih value yang mana? Lagi-lagi, sih.

Pasti akan sangat sulit jika perasaan tersebut sangat kompleks, yang berakar dari luka-luka masa lalu yang bahkan tak diundang. Semoga semua yang mengalami dikuatkan untuk memahami, serta menindaklanjuti segala gejolak tersebut dengan tepat.

Wallahu’alam bish shawaab.***

--

--