buat apa sih ber-medsos?

Terpicu mikir soal fungsi media sosial di kehidupan saat Threads hadir.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati
5 min readJul 19, 2023

--

Seperti netizen pada umumnya, tatkala ada pertanda jika app media sosial baru muncul — dan sangat mudah proses sign in dan instalasi-nya — aku tentu ikut kepo.

Sebenarnya tiada harapan untuk bisa thriving atau eksis di media sosial baru tersebut. Hanya saja dalam diri ini sudah tertanam mindset “mau lu aktif dalam suatu tren atau nggak, lu perlu tau dan take a look (selama nggak harom).” Secara wawasan, aku ingin selalu relevan tanpa terhanyut arus.

Thread. Begitu nama media sosial baru yang disinyalir mirip (bahkan kata Pakdhe Elon: imitasinya) Twitter. Ya tentu, aku unduh aplikasi tersebut.

Sehabis itu: aku cueki. Wgwgwg.

Alasannya? Aku pikir akan menghabiskan banyak waktu untuk aktif mengurusi media sosial lain selain Instagram (dimana aku fokus menggunakan media sosial ini).

Aku install TikTok, punya Twitter, punya Facebook, dan si bungsu Thread — tapi aku hanya sesekali mengecek mereka. Hanya sebatas untuk tahu apa yang sedang ‘in’. Bukan fear of missing out (FOMO) — tetapi lebih untuk iqra atau membaca keadaan supaya tidak kudet.

Meng-edit kembali tujuan bermedsos dan penggunaannya

Namun, jujur — saat Threads lahir— aku jadi agak ovt (overthinking, gaesss) soal fungsi media sosial secara umum. Baik untuk manusia secara umum maupun untuk spesifik diriku.

Betapa mudah orang mencoba dan mengunduh aplikasi itu (seperti aku — atas nama r e l e v a n s i, wgwg). Beberapa di antaranya mungkin curiga. Tapi tetap saja mencoba threads.

Aku merenung — sempatkah kita berpikir secara matang apakah aplikasi threads ini akan meningkatkan nilai tambah bagi diri kita? Atau justru malah membuat hidup makin terdistraksi?

Nggak hanya threads, tapi bisa juga dua pertanyaan di atas juga bisa banget digunakan untuk meng-evaluasi penggunaan media sosial lainnya.

Menurutku, keputusannya nggak harus take it or leave it. Tapi lebih ke arah — ketika kita lebih mindful menggunakan media sosial — maka kita bisa lebih memaksimalkan manfaat dan meminimalisasi dampak buruk dari media sosial.

Dan tentu, tiap pribadi memiliki preferensi yang berbeda dalam penggunaan media sosial. Tergantung oleh kepribadian, dan juga kebutuhan yang masing-masing unik (betapa aku overused kata ini tapi esensyel nggak, sih). Nggak bisa judge satu sama lain.

Setidaknya ada buah pemikiran— nggak baru-baru amat — tapi reminder bagiku.

Aku menyadari bahwa tiap orang beda-beda. Jangan judge.

Aku suka takjub beneran sama orang-orang yang menggunakan multi media sosial sama-sama aktifnya di segala platform. Terutama active user di ragam media sosial. IG iya, twitter kejalanin, tiktok aktif. Beuh.

Jujurly, pada awalnya aku skeptis. Lah, ini orang aktivitasnya di media sosial aja — di kehidupan nyatanya pegimane.

Tapi semenjak aku belajar studi kepribadian (talents mapping, MBTI, dll), jadi sadar: bahwa ada pribadi-pribadi yang tercipta jago untuk multitasker menggunakan medsos — dan justru itu kuasa menambah nilai hidupnya.

Ada juga yang memang karena memang itu bagian dari pekerjaannya.

Ada juga yang kayak aku. Menggunakan secara aktif berbagai media sosial justru makin puyeng.

Aku teler mengikuti perbincangan Whatsapp sangat intens (apakah itu grup ataupun percakapan intens pribadi per pribadi), dan sekalinya aku terhanyut dalam percakapan dunia maya — aku bisa melupakan kewajiban-kewajiban dunia nyataku. Di sisi lain ada orang-orang yang memang superjago bisa aktif di Whatsapp tanpa kehilangan kendali di dunia nyata.

Hipotesisku: dari hasil talents mapping-ku — terketahui jika talent FOCUS aku tinggi — aku akan maksimal beroperasi jika hanya ada sedikit fokus di depanku.

Di satu sisi, kebutuhan dan aktivitasku membutuhkanku untuk tahu ini itu — minimal garis besarnya. Aku pun perlu terhubung secara fungsional melalui messaging app. Maka meninggalkan media sosial secara telak bukan opsi.

Ada juga yang memang memilih pamit undur diri dari media sosial. Karena memang semisal mengusik isu mentalnya barangkali.

You do you.

Intinya, gunakan secara mindful — sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan masing-masing.

Here’s my social media rules of thumb yang tentu dimungkinkan untuk di-edit secara berkala.

  1. Instagram is my main social media and I am no longer feel guilty about that. Aku punya beberapa akun Instagram, tapi hanya dua yang kupakai rutin. Pertama, akun yang kugunakan untuk scrolling mengetahui informasi secara garis besar (misal akun-akun berita, lifestyle, parenting, dan tentu tausiyah spiritual ahaha, dll) supaya tetap update dan relevan dengan apa yang kubutuhkan. Kedua, akun dengan nama asliku yang kugunakan untuk sharing pemikiran (dan ke-ampas-an ku wgwgw) dan tentu untuk pertemanan. Aku post secara aktif di akun ini, namun scrolling dan cek story di akun ini sesekali karena apa yang di-share teman-temanku kadang relevan kadang nggak denganku. Tapi sebisa mungkin seminggu sekali kusempatkan sekadar like-like tipis atau bisa jadi berkomentar/reply story untuk jaga silaturahim secara virtual.
  2. Aku punya waktu tertentu untuk cek aktif media sosial (Siang setelah soliskan dan Dini Hari) walau aku memperbolehkan diriku untuk posting kapanpun supaya nggak kehilangan mood-nya, ehehe. Dan aku menyengaja menyulitkan akses untuk membuka Instagram. Ia hanya bisa dibuka melalui menu Settings di HP-ku. It works. Tapi harus niat sih. Perpaduan willpower+system to prevent you to overusing social media. Kalau ada app/hack lain drop komentar aja.
  3. Nggak perlu langsung respon pesan di WA jika memang nggak important dan urgent. Utamakan pribadi dan apa-apa yang ada di dunia nyatamu — prinsip ini jadi ‘tempat berpulang’ ketika aku terlalu lama memandang layar. Tapi tetap sempatkan membalas pesan-pesan yang lalu. Aku juga punya jadwal balas pesan dan cek WA dan berupaya untuk mengacu terus ke sini.
  4. Aku sesekali buka media sosial yang lain. Facebook masih suka tapi ya bentar banget dalam seharinya (flash silent reader). TikTok jarang, paling buat editing video sesekali aja. Threads dan Twitter apalagi. Tiga trio T biasanya aku buka dua kali sampai sekali dalam sebulan kayaknya. Haha. Aku berpikir belum bisa mengutilisasi secara maksimal tiga media sosial tersebut. Dan nampaknya aku oke-oke saja sampai saat ini dengan cukup aktif-berIG. Nggak perlu ngeksis di semua platform juga, nggak ada ayat di Quran juga kan harus eksis di segalanya. Hahahaa. Mungkin akan sesekali kugunakan untuk sekadar sharing link tulisan Medium (Threads dan Twitter).

___

Begitulah, sejumput pemikiranku untuk menjawab tanya yang terselip pada judul. Jika punya pemikiran mengenai per-medsos-an dan perannya dalam hidup, boleh berbagi yaa.

--

--