mengapa aku tidak setuju dengan ‘filosofi mengosongkan gelas’?

daripada menjelma gelas kosong, jadilah telaga.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati
2 min readSep 23, 2023

--

Ilustrasi dari sini.

Tatkala memasuki beberapa pelatihan, atau seminar, atau yang sejenis itu — aku kerapkali mendengar nasihat mirip.

“Kosongkan gelasmu, agar dapat menerima sepenuhnya ilmu yang disampaikan.”

Aku memiliki dua poin, yang mendasari mengapa aku tidak setuju sepenuhnya dengan kredo itu.

Pertama, sekalipun manusia bersikeras untuk ‘mengosongkan gelasnya’ — kupikir tidak akan bisa ‘gelas’-nya 100% ‘kosong’.

Bahwa apa-apa yang ia dapatkan dalam hidup, semenjak bayi hingga kekiniannya (bahkan dari genetiknya)— akan membentuk pola berpikir dan merasa yang tersadari dan unik.

Pola-pola tersebut, menurutku tidak selamanya buruk, selama kita bisa menempatkan dan mengutilisasinya secara tepat. Dan tidak selamanya kok pola-pola subliminal itu menjadi blocking untuk menyerap wawasan yang baru.

Kedua, alih-alih ‘mengosongkan gelas’ — aku lebih memilih untuk memposisikan diriku sebagai telaga luas yang menampung wawasan baru yang mengaliriku — untuk kemudian nantinya dipilah-pilih bersamaan dengan wawasan lama yang bersemayam di dasar telaga

Kemudian secara berkala, aku menengok wawasan-wawasan yang baru teraliri tersebut pada telaga pemikiranku, termasuk juga pada wawasan-wawasan lamaku.

Kira-kira mana wawasan baru yang bisa kuadopsi, yang bisa tersintesakan dengan wawasan lamaku. Atau bahkan mana saja wawasan lamaku yang sudah tidak relevan dan lebih baik ditukar oleh wawasan baru yang lebih oketapuoll.

Wallahu’alam bish shawab.***

--

--