pamit dari pola emosi buruk yang tentu, butuh proses.

— plus kalimat-kalimat sugesti yang membantuku pulih.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati
2 min readSep 14, 2023

--

Photo by Jr Korpa on Unsplash

Selama bertahun-tahun, aku memendam pola emosi yang menurutku destruktif.

Pola emosi ini, kemudian memantik default mindset yang secara tidak sadar memengaruhi cara pandangku terhadap kejadian-kejadian dalam hidupku.

Membuatku terlalu berharap akan sesuatu-sesuatu yang belum tentu berharga, belum tentu feasible, dan kemungkinan besar tidak diridhaiNya.

Sebelum aku melanjutkan tulisan ini lebih lanjut, aku memohon maaf tidak bisa mendetail-kan pola emosi ini. Pola emosi ini terlalu personal dan memiliki keterkaitan dengan pihak lain (agar tidak salah sangka, suamiku bukan si ‘pihak lain’ itu dan beliau memahami betul ‘ujian’ emosiku ini, huehehe).

Tentu saja, si otak ‘rasional’ ku ini paham mengenai konsep-konsep ideal yang berlandaskan dari value yang kuanut, Islam. ‘Jangan bergantung pada pihak lain’. ‘Jangan berharap pada orang lain, nanti sakit.’ Dan lain sebagainya.

Namun, barangkali ada kebutuhan-kebutuhan emosi — yang bersumber dari kesejarahan hidupku — yang menganga dan pada akhirnya terisi pada pola emosi dan kerangka berpikir subconscious yang semakin destruktif.

Yang pada akhirnya, ketika hal tersebut kian buruk — kian mengganggu — aku terketuk untuk memunculkan beberapa kalimat sugesti.

1- Bahwa bisa jadi aku sangat insignifikan dalam mata pihak lain. Tetapi aku masih punya Allah — aku selalu dihargai dan disayangiNya. Fokus penuhi kewajiban-kewajiban dan jauhi larangan dariNya sebagai jalan penyembuhanku. Jalan penyembuhan ini sakit — tak memberikan instant reward — tapi menyehatkan.

2- Bahwa tak perlu menuntut pihak lain mencintaiku. Karena jika aku mengizinkan Sang Maha Penyayang memenuhiku — maka aku adalah lautan cinta. Bukan berarti aku naif memberikan cinta tanpa berhati-hati — dan membiarkanku terluka secara tak sehat. Karena tiap pihak memiliki caranya tersendiri untuk kuberikan cinta, tanpa perlu ‘menghabisi’ diri.

Namun tetap, tiap orang layak akan cintaku yang terkurasi masing-masingnya secara ciamik. Butuh proses untuk mempelajari keunikan tiap individu dan pembahasaan cinta yang tepat untuk tiap-tiap mereka, tak apa, kok.

Dan jika mereka tidak balas memberiku cinta — tidak apa-apa. Tetaplah bahagia. Aku bahagia, karena aku menjadi perantaraan kasih sayangNya pada makhluk-makhlukNya.

3- Bahwa memaknai resapan cintaNya memang lebih sulit daripada memaknai ‘cinta-cinta’ dari pihak lain. Namun bahwasanya ‘cinta’ dari pihak lain pun adalah cinta dariNya yang sedang Ia perantarai. Dan ingat, bahwa terkadang pihak lain tak memadai untuk menjadi perantaraan cintaNya — maka Ia sedang melatihku untuk merasakan resapan cintaNya tanpa perantaraan pihak lain.

4- Bahwa lepas dari pola emosi destruktif ini butuh waktu. Butuh proses. Terkadang kambuh. Terkadang sakit. Tapi kembali pada Allah dan ingat kepadaNya membuat pulih semakin mudah. Tangis pilu pun menjadi indah dan menyehatkan jiwa.

Kuharap ini dapat menjadi proses penyembuhanku, sebagai titik awal untuk pamit dari pola emosi buruk ini. ***

--

--