tujuanku punya anak untuk apa?
Karena setelah punya anak, rutinitas mengasuh anak dan memerhatikan kebutuhannya bisa jadi mengaburkan apa yang dibilang ‘tujuan mulia’ dari memiliki anak.
Terkadang, diri yang dari dulu suka banyak tanya dalam benak ini, bertanya pula:
“Sebenarnya tujuanku punya anak itu untuk apa sih?”
Karena setelah punya anak, rutinitas mengasuh anak dan memerhatikan kebutuhannya bisa jadi mengaburkan apa yang dibilang ‘tujuan mulia’ dari memiliki anak.
Bisa jadi nampak seperti formalitas.
Bisa jadi ‘hanya’ sebagai ‘pengaman’ berbentuk ‘respon nonverbal’ untuk mereka yang bertanya kapan punya anaknya.
Bisa jadi. Bisa jadi. Bisa jadi.
Aku berpikir, memang berkembang biak adalah hal yang secara umum bisa dibilang alamiah. Ke-alamiah-an yang tak perlu dirumuskan maknanya secara paripurna sebelum memutuskan memiliki keturunan.
Berbekal untuk memiliki keturunan itu perlu, sangat perlu. Namun hasil perenunganku, perlu diiringi keimanan bahwa apa-apa yang teramat direkomendasikanNya (dalam konteks ini: memiliki keturunan) akan mendatangkan berjuta keberkahan jika diri ini merawatnya secara baik — kendati diri ini perlahan demi perlahan memahami, memaknai, dan mensyukuri kebaikan-kebaikan dalam perjalanan sebagai orang tua.
__
Peranku kini cukup musykil pula. Sebagai yang diarahkan suami untuk berkiprah di ranah publik, dan diajak olehnya berkiprah pula di sejumput dunianya — aku perlu mensiasati bagaimana dunia ‘aku’ dan dunia ‘sebagai ibu’ bisa berpadu, saling menguatkan.
Bukan dua entitas yang berbeda. Bukan dua entitas yang selalu harus didikotomikan secara teknis maupun maknawi.
Hingga ‘aku sebagai hambaNya’ adalah satu kesatuan dengan beragam spektrum yang tak saling berkecamuk, melainkan saling menari berkelindan. Termasuk di antaranya menjadi semanismanjanya istri, seberkasihnya ibu, dan seberdaya diri sebagai partisipan peradaban.