3 Kisah Klasik Tentang Sebuah Komunitas
Hal-hal yang kerap terjadi di tubuh komunitas
Berkelompok dan berkomunitas di era digital seperti saat ini rasanya menjadi sebuah kebutuhan bagi saya pribadi. Selain mampu membuat saya bertemu dengan banyak orang baru, berkomunitas juga akan membuka perspektif saya tentang berbagai hal.
Lewat komunitas pula saya bisa mengurangi ketergantungan diri terhadap layar. Baik itu layar televisi, laptop, ataupun ponsel pintar. Sehingga lebih banyak melatih komunikasi secara verbal maupun komunikasi secara bahasa tubuh yang dampaknya akan bisa memberikan pertumbuhan emosional utamanya mental.
Namun berkomunitas pun tidak selamanya memiliki kisah manis, sebab komunitas, sebagai bentuk dari organisasi non-formal juga merupakan organisasi yang memiliki konsensus atau kesepakatan bersama di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Tanpa adanya kesepakatan, ikatan-ikatan dalam sebuah komunitas dapat runtuh dan bubar tanpa bekas.
Sebagai seseorang yang masih seumur jagung di dunia komunitas, saya melihat ada beberapa kisah klasik yang harus dijalani sebuah komunitas untuk selalu bisa bertahan hidup. Kisah-kisah klasik ini menurut saya bisa dipandang sebagai titik-titik paling krusial yang harus dijaga untuk menjaga keberlangsungan kelompok. Apa saja itu?
1. Kepemimpinan
Sebuah kelompok tidak akan mampu untuk hidup tanpa adanya pemimpin yang akan menjadi kepala. Tanpa kepala makhluk apapun rasanya tidak akan bisa bertahan hidup, kalaupun masih hidup, umur kehidupannya tidaklah akan lama (seperti kecoa misalnya).
Pemimpin dalam komunitas umumnya adalah orang yang berpengaruh dan sebagian besar adalah pendiri komunitas. Saat komunitas baru lahir, punggawa ide kelompok dilakukan oleh pendiri adalah sesuatu yang wajar. Sebab sebuah ide harus tetap hidup hingga ada pemimpin baru yang mau untuk melanjutkan.
Namun tantangannya adalah, bagaimana untuk menemukan pemimpin yang tepat ketika pendiri harus memindahkan tampuk kepemimpinan ke orang yang baru. Inilah yang kemudian sering kali menjadi kisah klasik sebuah komunitas. Salah satu penyebab komunitas yang gagal untuk bertahan umumnya adalah kegagalan untuk memberikan estafet ide kepada generasi selanjutnya.
Alasannya pun bermacam-macam, bisa jadi karena komunitas terlalu egaliter (interaksi horisontal) dan non-formal sehingga tidak ada satupun yang bersedia untuk mengambil posisi tertinggi. Menurut saya ini kerap terjadi akibat tidak adanya kebiasaan untuk mendelegasikan sesuatu dan memberikan amanah pada rekan-rekan komunitas. Akibatnya rekan komunitas tidak merasakan seperti apa kira-kira posisi sosok yang memiliki amanah. Empati dan rasa memiliki akhirnya tidak tumbuh. Padahal menurut saya dua elemen inilah yang menjadi bagian penting seorang pemimpin komunitas pada ide yang dibawanya.
Saya pun merasakannya ketika diberi amanah oleh rekan-rekan Sebung Surabaya untuk menjadi koordinator selama satu tahun. Banyak pelajaran yang saya petik, namun pelajaran terpenting yang pernah saya dapatkan adalah bahwa ternyata saya merasa gagal untuk mengkader sosok yang bisa menggantikan peran koordinator di tahun keempat Sebung Surabaya berjalan. Saat saya harus berpindah tugas kerja ke Jakarta di tahun 2015, saya meninggalkan Sebung Surabaya dengan kekosongan kepemimpinan dan menyerahkannya pada rekan-rekan yang masih berada di Surabaya.
Hasilnya pun mengejutkan, bahwa ternyata Sebung Surabaya harus dipimpin kembali oleh salah satu pendiri komunitas. Di satu sisi saya merasa lega. namun di sisi lain saya merasa begitu kecewa karena rasanya ini adalah sebuah langkah kemunduran. Sebab dalam tiga tahun Sebung Surabaya, komunitas ini mampu dipimpin oleh tiga koordinator berbeda setiap tahunnya. Dan seharusnya di tahun keempat, koordinator itu lahir dari sosok yang baru. Tapi toh karena dipimpin seorang pendiri, Sebung Surabaya bisa menyegarkan kembali nilai-nilai yang dulu ditanam. Dan benar, tahun kelima ini Sebung banyak berhasil mencapai pencapaian penting.
Namun dibalik sesal, saya juga merasa beruntung untuk menemukan beberapa talenta yang kemudian berperan penting dalam keberlangsungan Sebung Surabaya. Salah satunya adalah menemukan sosok humas yang berdedikasi untuk komunitas kecil yang kini telah cukup berpengaruh di Surabaya. Dia adalah Permata Dyah Putri yang akrab kami panggil sebagai Mita.
Saya sampai saat ini kesulitan untuk mengingat momen apa yang kemudian memutuskan untuk memintanya menjadi bagian dari tim internal Sebung Surabaya. Namun saya cukup ingat bahwa saat itu saya memintanya bergabung dengan mengontak melalui Line. Tidak jelas apa yang waktu itu saya katakan, tapi kemudian Mita telah banyak berjasa untuk Sebung Surabaya dua tiga tahun kemudian.
Dan malam kemarin, Mita harus mohon pamit dari Sebung Surabaya setelah ia menyelesaikan studinya di Surabaya. Tepat di edisi sebung yang ke 250 atau tepat di ulang tahun Sebung Surabaya yang ke 5 tahun.
Menjaga api idealitas, dan menemukan talenta, keduanya tugas seorang pemimpin dalam sebuah komunitas.
2. Kebosanan
Kisah klasik lain yang harus dihadapi oleh komunitas adalah tingkat kebosanan yang memuncak dari tahun ketahun. Hal ini sering disebabkan oleh monotonnya kegiatan sebuah komunitas. Setiap pertemuan setiap kegiatan begitu-begitu saja. Ya kebosanan adalah musuh semua orang, ketika anggota mengalami kebosanan, lambat laun mereka akan mengendur dan menghilang.
Namun saya mencoba melihat sisi lain dari kebosanan ini, yakni dengan melihat bahwa kebosanan yang timbul dari kegiatan yang monoton adalah hasil dari sebuah prinsip mendasar dari sebuah gerakan, yakni konsistensi. Tanpa konsistensi, memang gerakan akan lebih variatif namun gerakan tersebut tidak akan memberikan kekuatan. Karena gerakan itu akan muncul dan hilang tanpa bekas.
Sebung Surabaya di tahun kedua menuju tahun ketiga kami mendeklarasikan tag line, Konsistensi Tanpa Henti terus Semangat berbagi. Konsistensi yang dilakukan Sebung Surabaya, menurut saya adalah kekuatan yang kami miliki. Saya jamak menemukan, komunitas berbagi yang serupa atau juga berbeda dari Sebung Surabaya muncul namun tidak lama mereka mati dengan sendirinya karena tidak ada kegiatan. Berbeda dengan Sebung Surabaya yang meski mengalami pasang surut, tapi terus konsisten untuk berbagi nasi setiap minggunya, 50 kali dalam satu tahun.
Berkat konsistensi ini, kebosanan rasanya dapat terobati karena ada kegiatan yang konsisten, penggerak baru datang satu persatu. Semakin banyak penggerak baru yang datang, maka suasana kegiatan akan berbeda. Silih berganti, kita akan mengenal orang-orang baru sehingga setiap minggu ada perasaan untuk ingin merasakan suasana yang baru. Orang baru, jejaring baru, wawasan baru, pacar baru. #eh.
Obat kebosanan yang dijawab dengan konsistensi berkegiatan rasanya sangat kontradiktif, namun rasanya itu saya pelajari selama di Sebung Surabaya. Itulah kemudian saya meyakini bahwa untuk membuat sebuah komunitas yang dapat konsisten bergerak, kegiatan harus dibuat sesimpel mungkin dan dapat dilakukan oleh siapapun tanpa perlu persiapan yang begitu rumit.
Sebung Surabaya berhasil melakukannya dengan punya prinsip harus berbagi setiap minggunya, berapapun penggeraknya, berapapun nasi bungkus yang terkumpul dan seperti apapun kondisi cuaca. Meski hanya berdua misalnya (seperti saat para pendiri lakukan) dengan belasan nasi bungkus (modal puluhan ribu rupiah saja) dan cuaca yang mungkin hujan, berbagi nasi tetap dilakukan.
3. Scale Up
Kisah klasik yang satu ini cukup dilematis untuk dijabarkan sebenarnya. Karena karakter komunitas pada umumnya hanya sebatas pada kegiatan rutin tanpa memikirkan bagaimana memperbesar dampak dari keberadaannya di masyarakat.
Scale up secara pengertian adalah meningkatkan skala atau memperbesar ukuran. Istilah ini banyak digunakan dalam konteks kewirausahaan yang biasanya terkait dengan ukuran sebuah perusahaan atau organisasi. Scale up menurut saya adalah konsekuensi logis dari sebuah keberadaan komunitas yang telah berjalan cukup lama (sekitar 4–5 tahun). Sebab komunitas yang telah eksis selama itu tidak akan lagi mampu untuk mengobati aspek kebosananannya hanya dengan bergerak konsisten.
Mengapa? Karena konsistensi mereka di tahun-tahun berikutnya telah diketahui oleh banyak orang. Orang yang kemudian tergerak untuk bergabung akhirnya melihat bahwa komunitas tersebut telah mengalami over capacity atau kelebihan muatan. Misal dalam kasus Sebung Surabaya adalah, rasio antara nasi bungkus yang dibagikan dengan jumlah penggerak yang bergabung setiap minggunya tidak seimbang. Akibatnya alih-alih kegiatan tiap minggu memberikan kesan, kegiatan itu malah memberikan kekecewaan karena tidak mampu untuk memberikan peran yang cukup untuk orang baru misalnya.
Atau ekspektasi publik telah berubah meningkat dari sebelumnya. Jika kegiatan yang sebelumnya telah diterima, kini ekspektasi bertambah. “Masa udah bertahun-tahun kegiatannya itu-itu aja?” mungkin kira-kira seperti itu.
Itu sebabnya, komunitas yang menyadari bahwa kapasitasnya telah berlebih, seharusnya mulai untuk berfikir bagaimana untuk mengembangkan diri tanpa meninggalkan konsistensinya. Ini adalah tantangan yang sangat berat sebenarnya. Sebab selain harus dituntut untuk konsisten, komunitas juga dituntut untuk bisa mengembangkan kegiatannya. Bukan untuk menjawab ekspektasi orang baru ataupun masyarakat, tetapi untuk memperlihatkan bahwa adanya sebuah pertumbuhan dari sebuah inisiasi. Dari benih, kemudian menjadi tunas, dan tumbuh menjadi tanaman tentu diharapkan akan bisa menghasilkan buah.
Di Sebung Surabaya, saya pribadi pun sebenarnya tidak banyak membayangkan seperti apa pengembangan yang akan terjadi. Di masa saya menjadi koordinator, saya saat itu hanya membayangkan untuk bisa membawa Sebung Surabaya menjadi sebuah Foodbank, namun itu belum terwujud meski saat ini Sebung Surabaya sepertinya memiliki bentuk yang lain.
Arah sebuah pengembangan dan scaling up memang tidak pernah bisa ditebak meski telah direncanakan. Dan rasanya itulah kekuatan sebuah komunitas, pertumbuhannya menurut saya lebih organik. Memang lebih sulit untuk dikelola, tetapi bagi saya, itulah sebabnya sebuah komunitas akhirnya mampu untuk lebih banyak mengembangkan pribadi-pribadi di dalamnya. Tumbuh dewasa dan memiliki karakter yang unik. Walaupun kadang kala dampaknya pada masyarakat belumlah maksimal.
Menurut saya, rasanya tiga kisah klasik itulah yang seharusnya menjadi perhatian bagi setiap inisiator yang ingin membentuk, membangun dan mengelola sebuah komunitas di lingkungannya.
Tulisan ini saya tulis semata untuk memberikan sebuah persembahan kecil untuk keluarga yang pernah membesarkan saya. Berkat komunitas ini, saya mengenal banyak orang, bertahan hidup, keluar dari lubang depresi dan mendapatkan harapan baru. Komunitas ini pula yang akhirnya mengajarkan sebuah tujuan hidup bagi saya, bahwa segala hal yang saya miliki dapat saya bagikan ke orang lain. Jiwa, raga, ide dan pikiran saya hanyalah amanah yang harus diberikan pada yang berhak menerima.
Akhir kata,
Selamat ulang tahun Sebung Surabaya untuk kelima tahun. Semoga terus menginspirasi dan berkontribusi menyebarkan semangat berbagi di Indonesia.
Tulisan ini bagian dari kampanye #Sabtulis (Sabtu Menulis) yang mengajak pemuda-pemudi Indonesia menuliskan gagasan, catatan, cerita dan ekspresi melalui tulisan. Mengenal diri, mengapresiasi diri, menjadi percaya diri.