Bertahan di Tengah Kehancuran Lingkungan
Segalanya seperti runtuh mengancam dan menakutkan. Berita kekacauan, penderitaan, penyelewengan, skandal, bencana dan huru hara terjadi di mana-mana.
Kamu pernah melewati pandemi yang mengerikan. Lalu bencana ekonomi dengan tiada kepastian. Pemecatan jadi pilihan pemegang kepemilikan. Kamu kembali mencari peruntungan.
Bertahan, dengan segala kemampuan. Meski kita tahu, tubuh ini mendapat gempuran emosi-emosi menakutkan. Gemetaran.
Perlahan kamu mulai menemukan cara mengabaikan gangguan dan kekhawatiran. Lalu menyadari pagi ini, situasi tidak juga ada perubahan.
Polusi menyambut pagi, bukan lagi embun yang penuh kesegaran. Tapi partikel jahat yang merusak pernapasan.
Bergegas memacu kendaraan, menuju stasiun pancoran yang sudah penuh kendaraan. Melompat ke kereta penuh penumpang, dengan pikiran yang sama: bertahan di tengah kekacauan.
Kamu melihat layar terang, membuka aplikasi hijau pemutar musik favorit. Kemudian headset kw murahan kamu colok kan. Sembari berdesakan, kamu nikmati dendang kesukaan.
Hari ini semua berjalan seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja, pikiranmu berkecamuk ga karuan akibat pernyataan petinggi liga bangsa-bangsa itu.
Bumi mendidih, katanya. Kebakaran di mana-mana. Kekeringan melanda. Sedangkan kamu, sedang meluncur menuju kantor yang katanya tidak terkena dampak langsung partikel tak kasat mata.
Mudah saja untuk acuh. Tapi ternyata tidak. Bencana itu seperti di depan mata. Saat sadar, pikiran kembali runyam, emosi mengambil alih badan. Wawancaramu hari ini tidak sesuai harapan.
Mereka hanya memintamu untuk membuktikan apa janjimu pada perusahaan jika kamu diterima bekerja. Sedang kamu bukan siapa-siapa. Tidak ada yang bisa menjanjikan pencapaian. Kamu hanya mampu memberi upaya dan usaha bukan mewujudkan impian.
Tapi itu pun tidak tersampaikan. Para atasan yanga menerima pekerja unggulan yang mau untuk menjadi suruhan.
Kekalutanmu pagi ini mengacaukan pikiran. Semua yang kamu rencanakan, berantakan.
Mukamu merah padam. Marah pada nasib kehidupan yang kamu anggap selalu tidak punya keberpihakan.
Mimpimu untuk ikut kontribusi pada pelestarian lingkungan, nyatanya tidak jadi kenyataan. Hanya jadi angan, jadi lamunan.
Kini di tengah kegentingan, kamu malah mencari belas kasihan. Supaya bisa hidup tiap bulan.
Persetan dengan lingkungan.