Di Bawah Bendera Bangsa Jepang

Apakah tuhan yang esa telah mengutuk tempat ini, apakah ia murka akan tindakan makhluk ciptaannya sendiri?

Rindang
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
6 min readFeb 4, 2024

--

Photo by Hasan Almasi on Unsplash

Pagi itu mendung membalut langit sepenuhnya. Sinar matahari tak diberi celah lewat menerobos pagar yang terbuat dari awan gelap pekat. Langit biru disertai segala perangkai indahnya telah disorongnya jauh entah ke mana, menyisakan bisikan pilu tentang suramnya hari depan.

Tanah berdentum kencang seolah dihantam palu raksasa bertubi-tubi bergetar bagai gempa. Dentuman mortir menggelagar kencang sejauh telinga mendengar lalu sejauh mata memandang ia mekar menjadi bara api, membakar rumah-rumah, pepohonan dan lebih lagi segalanya tergambar tak luput dari warna merah api.

Pagi yang basah membersihkan noda merah yang melengkapi pemandangan mata. Daratan yang semula tak berair kini berubah drastis menjadi lautan darah. Apakah tuhan yang esa telah mengutuk tempat ini, apakah ia murka akan tindakan makhluk ciptaannya sendiri?

Di belakang punggung pohon beringin besar dalam dekapan ibu dan bapa, aku menangis histeris sambil berharap sepenuh hati Tuhan menyambut kami dengan riang membawa pergi dari tempat terkutuk ini.

Tuhan, ia maha melihat, maha mengetahui lantas mengapa Tuhan memilih diam.

Entah apa yang salah, apa yang baik, orang bilang bencana ialah karma maka semua ini tak lebih buah dari ulah kami sendiri.. Katakan tuhan seberapa berat kesalahannya hingga kautega menyuguhi hukuman demikian keras.

Lalu tak lama datang gerombolan manusia bermuka kuning terang dengan mata yang terlihat hanya menyisakan garis lurus panjang. Mulut mereka berbicara pada kami.

Aku menangkap ucapan orang-orang ini tak beda seperti orang yang sedang kumur-kumur dibarengi penekanan begitu menyentuh koma.

Aku tidak tahu apalah maksudnya kecuali reaksi spontan muka ibu dan bapa yang seolah mengatakan, “Mereka malaikat penyelamat kita. Kamu jangan takut!” Ketakutan redup menjadi pertanyaan tentang siapa dan kenapa mereka membantu, inikah reaksi tuhan lalu mengirim malaikatnya?

Aku mengangguk membalas tatapan ibu dan bapa lalu waktu mengalir cepat seperti sungai yang begitu deras. Kita berhadapan dengan para tentara tanpa saling pandang. Pandangan hanya sekilas melihat wajah lalu jatuh tercenung pada dada hingga kaki.

Hina kami.

Tak pantas langsung menatap mata sipit itu. Kepala tertunduk menghormati. Selayaknya pada tamu bahasa yang kami pilih pun tersaring tata Krama.

Kemudian para tentara itu membawa kami ke sejenis pengungsian di mana terdapat orang-orang pribumi beraut muka heran penuh tanda tanya sekaligus senang bahwa ramalan Jayabaya tentang datangnya malaikat dari timur berkulit putih yang akan membebaskan bangsa ini ialah benar adanya.

Di tempat ini ramai sekali para bala tentara Jepang dan masyarakat pribumi yang sedang dilanda perasaan takut akan ketidakpastian. Tempat ini ialah aula keresidenan. Dalam kurungan ruangan aku tak bisa mengetahui badai perang besar apa yang terjadi di luar sana.

Apa yang kutangkap hanyalah rintikan hujan dan suara dentuman mortir yang kian samar, yang tak menyuguhi gambaran tentang hari esok.

Seorang perwira jepang berkumis tebal melintang berteriak lantang, keras dan tegas mengisi kekosongan dan menjadi sangat berarti, “Kita adalah sesama Asia. Tujuan dari perang ini adalah untuk membebaskan orang-orang yang hidup di bawah kekuasaan anjing barat. Kami adalah saudara tua kalian. Saya berjanji akan mengusir belanda dan memberi kebebasan kepada anda..”

Tiba-tiba, tepat disaat perwira jepang sedang berorasi seorang pemuda pribumi paling tinggi dan tegap di antara kami masuk membelah barisan tentara sambil menghunuskan samurai yang entah didapatnya dari mana.

Lelaki itu terus bergerak licin meski bayonet-bayonet telanjang jepang makin merapatkan barisan. Beberapa kali tubuhnya pun terbeset peluru serta bayonet itu, tak dihiraukan. Matanya tetap terpaku memandang ke arah depan seolah sedang dalam perlombaan berlari.

Di sebuah panggung aula, berdirilah sang pemuda kita. Sosoknya begitu dingin tanpa mengenal takut. Bising dari dalam serta luar semakin menghantam gendang telinga dengan bengisnya. Dia acuh pada kicauan para hewan bermata sipit itu. Acuh pula pada warna merah darah yang membasahi pakaiannya.

Lalu mulutnya bergerak melantukan kata-kata,

“Merdeka! Kalian sama bejatnya dengan para Londo itu, sama-sama serigala. Ayo kawan mari kita lawan!”

Dan astagaa!!

Sang pemuda rubuh tersungkur tertembak tepat pada dada. Ia jatuh bergelimpang menyusuri tangga panggung aula. Jatuhnya pemuda disambut dengan sorak dan sahutan para pribumi.

Ada yang ketakutan, ada yang makin membara untuk melawan. Ibu memelukku berusaha menenangkan lalu dengan lembutnya seperti tak terjadi apa-apa ia nembisikan, “Tenanglah dik, semua aman. Kita hanya perlu tunduk dengan perintah mereka dan jangan melawan.”

Suara-suara itu menyatu bergemuruh saling bertabrakan menjelma bising yang begitu kencang. Perwira Jepang menembakkan pistolnya keluar menembus jendela. Tembakan tiba-tiba itu memberi efek kejut. Semua kembali sunyi.

Namun betapa pun sunyinya suasana, tak bisa menghapus gelisah yang terpampang jelas pada mata dan wajah, berbagai pertanyaan kini mulai timbul mengganjal di benak kami, ‘Inikah malaikat yang diramalkan itu? Bukankah kita saudara tua lalu mengapa pemuda barusan dibunuh?’

Perwira jepang tampak kesal melihat adanya pembangkang. Kelihatan sekali dia orang yang sangat tegas dan juga kejam.

Mulutnya seperti hendak meluapkan kemarahan namun ditahannya, menyisakan bibir yang tersungging sinis. Lantas ia terus berjalan memutari kami. Dengan mata melotot yang kian memerah, ia kembali berseru,

“Hei kalian dengar! Lihat pembangkang barusan, jika di antara kalian ada yang melakukan hal yang sama maka nasib kalian akan seperti itu, mati! Kita disini untuk memberi kalian kemerdekaan, paham ini?!”

Ketika teriakan perwira Jepang itu kembali terdengar aku terkejut makin ketakutan. Kuraih tangan bapa dan ibu yang berada di samping kiri dan kananku, kupeluk, kukecup, hingga tangisku pecah membasahi kulit mereka. Bapa malah berkata dengan ringannya,
“Tenang. Kau diam disini. Kita aman. Mereka orang baik, hanya saja bertopeng menyeramkan. Kita akan bebas, hidup kita akan jauh lebih baik setelah ini.”

Aku jadi termangu. Muka ibu entah kenapa nampak menahan sesuatu yang sangat pedih. “Nak, sudah ya gak papa..”

Lalu ia mendekap aku ke dalam pelukannya lantas tertidur pulas. Pelukan itu tak kusangka jadi pelukan terakhirnya. Ketika mata kemudian terbuka, alangkah basah dan semakin memerahnya melihat ibu menangis diseret, dicambuk, digiring masuk ke dalam suatu rumah.

Teriakan tangisan ibu masih terdengar meronta minta tolong begitu memasuki rumah itu. Betapa bodoh dan tak bergunanya aku menontoni ibu sendiri tersiksa tanpa tahu harus berbuat apa.

Aku hanya mematung.

Baru sekarang aku merasakan kulit merinding dan bibir jadi gemetar seperti mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, namun sarat kegeraman hingga perlahan tubuh jadi terkulai lemas menggulusur di lantai-lantai.

Sementara begitu aku terbangun, bapa telah hilang raganya entah dibawa kemana.

Puluhan tahun sejak peristiwa itu suatu sore di sebuah apartemen dengan perasaan masih sama, aku melamun memandang megahnya kota melalui muka pasangan jendela yang membagi langit berwarna oren dan awan menjadi dua sambil mengingat, menulis, menerka-nerka betapa kejamnya para bajingan penjajah.

Aku masih memendam dan membungkus rasa marah serta sedih dengan begitu rapih karena dengan begini aku akan terus bersikukuh membenci segala bentuk penindasan.

Kini sudah hampir setengah abad aku tetap tak berpindah pikiran malah semakin banyak mengingat, seperti kali ini mampu menulis tulisan tentang betapa aku mencintai mereka.

Tak ada yang mengerti bagaimana kesendirianku hidup tanpa cinta. Hari-hari kulewati ditemani kehampaan tak berasa, tak ada warna, tak pernah lagi bahagia hinggap dan menetap.

Kosong.

Semua bagai berjalan melalui lintasan lurus panjang tanpa ada pemandangan apapun di sekelilingnya. Cinta yang hilang seperti alrloji yang rusak tak berdetak karena waktu tak lagi bergerak sudah sejak kepergiannya. Aku hidup namun mati.

Aku takut.

Apa yang menyeramkan sejatinya bukan tentang kematiannya, apa yang menakutkan ialah mengenang.

Kenangan itu tetap hidup walau semua pemerannya sudah hilang ditelan bumi. Ia hidup menyiksaku sepanjang malam sebelum tidur seperti tak berujung entah sampai kapan lalu tanpa aku tahu mengapa momen itu menggantung terhenti tak lagi berlanjut pada suatu titik. Mereka telah berubah, menyatu ke dalam tubuhku pada setiap aliran darah.

Jika keajaiban ada menghidupkan kembali mereka, ingin sekali kupeluk dan berkata,

“Bu, pak, anakmu sukses! Kini anakmu sudah tumbuh besar dan tinggi layaknya pohon yang pucuknya hendak meraih biru langit.”

Kutatap langit itu membayangkan derita yang mereka pikul berat hingga akhirnya merenggang nyawa dan tiada, lalu mengarang alur, membuat skenario, kemudian semoga kelak jadilah film yang akan berdiri sebagai pegangan hidup bangsa ini.

Derita mereka sungguh terekam nyata meneror. Kejadian itu membekas merasuki alam bawah sadarku abadi. Kalian adalah api tak mungkin padam yang hidup membara di tubuhku. Ia mekar menjadi pelajaran berharga serta dendam.

Aku janji bangsa ini tak boleh memikul lagi pahitnya hidup yang kalian rasakan. Bangsa ini bangsa besar dan kaya tak pantas direndahkan seperti hewan, malu dengan kebesarannya.

Tahun-tahun berlalu, kini masih banyak mata yang tangisnya belum sempat dikeringkan, masih banyak hati yang belum didinginkan, masih banyak manusia yang tertekan pula dengan dendam.

Namun, dendam seperti rasa puas yang semakin dipenuhi akan bertambah jauh untuk digapai, lalu hanya menyisakan hidup yang serupa lintasan berbentuk lingkaran. Hidup berputar-putar yang terus dihantui rasa minta dikenyangkan tanpa diakhiri dengan titik cerah.

Aku meyakini dendam kami tak bisa dihentikan, biarlah kami memikul dendam yang demikian besar supaya bangsa ini terbebas dari berbagai jerat penjajahan. Dendam ini adalah senjata disertai amunisi untuk membawa bangsa Indonesia berdiri di atas bangsa-bangsa lainnya.

Dampak penjajahan bukan hanya berbekas pada korban, tapi juga bangsa Indonesia secara menyeluruh. Pengalaman adalah sekolah kehidupan.

Kita tak boleh lagi membiarkan negeri ini kembali masuk ke dalam lubang yang sama. Waktu yang bijak lestari telah menghardik kita dengan begitu kerasnya. Saatnya macan sesungguhnya bangun dari istirahatnya yang panjang!

Malam ini aku akan tidur dengan mata terbuka.

--

--