Langit Tanpa Bintang

Ruang tanpa harapan

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
2 min readMay 12, 2018

--

Malam itu dia termenung, di atap rumahnya yang dikelilingi gedung bertingkat. Ia memandang langit, lurus ke atas sehingga ia harus merebahkan diri agar bisa melihat hitam di atas sana. Ia melamun sendirian, ia melihat titik-titik bercahaya. Sebagian berpendar, sebagian lain bersinar.

Ia kemudian bertanya dalam hati, mungkinkah langit malam dapat hidup tanpa bintang? Ia membayangkan langit yang gelap tanpa titik-titik cahaya mungil. Gelap tanpa batas layaknya kegelapan yang memakan cahaya.

Sambil bertanya-tanya ia terus mengamati langit yang ia pandang malam itu. Warnanya pucat, kemerahan dan keabuan bercampur dengan terangnya cahaya kota. Di atap satu-satunya rumah yang tersisa di blok itu, Ia kemudian melanjutkan pertanyaannya.

“Langit tanpa bintang, seperti semesta tanpa sebuah harapan. Mungkin manusia tidak akan berharap untuk meraih bintang-bintang itu. Tidak teleskop, tidak ada konstelasi, tidak ada roket,” katanya.

Ia merasa, semesta tanpa sebuah harapan adalah seperti dirinya saat ini yang merasa hampa. Hampa tentang apa yang dia inginkan. Ia tidak tahu apa yang benar-benar ia inginkan. Satu hal yang ia tahu, ia berharap agar rumah yang ditempatinya kembali ditemani rumah-rumah kecil lainnya seperti masa kecilnya dahulu.

Masa itu, kampung itu bergitu hidup. Terdengar teriakan anak-anak berlarian dan bermain setiap hari. Suara pedagang asongan berseliweran, dan suara surau yang bersahut-sahutan. Kini, itu semua telah musnah berganti dengan tembok-tembok beton raksasa yang menghalangi dirinya untuk memandang langit dengan leluasa.

Photo by prottoy hassan on Unsplash

Ia menyadari dirinya kini berdiri sendiri. Tanpa kawan yang akan membantu, namun lawan akan siap untuk mengganggu setiap saat. Lahan yang ia terima dari warisan orang tuanya itu diincar banyak orang dengan harga yang fantastis. Tapi ia bergeming, karena hanya itu harta tersisa yang ia miliki. Sebuah memori sebuah noktah bercahaya dalam hidupnya.

“Cahaya satu-satunya milikku, aku tidak akan melepaskannya. Meski harus tenggelam dalam gelapnya gemerlap peradaban,” tegasnya dalam hati.

Malam itu, tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Lambat laun matanya begitu berat, ia terlelap. Tertidur dalam senyap.

Dalam tidurnya ia kemudian bermimpi. Berdiri dalam gelap, tak mampu melihat apapun. Hanya sedikit kliatan-kilatan cahaya remang. Sekelilingnya terasa begitu dingin bergoyang-goyang. Tak lama, ia merasakan ada gelembung udara menerpa. Ia kemudian melihat gelembung itu bergerak ke atas. Ia akhirnya menyaksikan langit tanpa bintang. Dalam sebuah ruang dalam, di tengah lautan.

--

--

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata

Content Performer with over 7 years experience, I've led content teams for 10+ tech brands, achieving 500,000+ traffic. Reach me at bagusdr@teknoia.com.