Lubang Jiwa

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
2 min readApr 8, 2018

--

Photo by Dmitry Ratushny on Unsplash

Malam itu ia terjaga dalam remang-remang lampu LED biru yang masih menyala. Tubuhnya penuh peluh yang bercucuran, efek panasnya iklim kota. Kota yang tidak pernah tertidur, kota yang membawanya tumbuh dewasa.

Kepalanya begitu panas, berpikir tanpa batas. Ia mencari sesuatu, sesuatu yang akan bsia membuatnya puas. Jawaban.

Jawaban yang ia percaya akan membuatnya tumbuh berkembang. “Benarkah?” Ia meragukan diri.

Perlahan malam itu tanpa ia sadari, bukan jawaban yang ia dapati. Tapi ada sosok lain yang menghampiri. Sosok itu menyelinap dari hati, menuju jiwanya dan menggali. Mengubur harap dan melahirkan lubang jiwa.

Raganya terlihat begitu segar, berat badannya bertambah. Baik-baik saja.

Namun jiwanya mengering, hingga kurus kering. Sekarat.

Lubang itu mengaga begitu besar dalam benak dirinya. Namun ia abaikan begitu saja. “Ah, masa bodoh. Aku masih bisa hidup,” cetusnya.

Sayangnya, itu bukan sesuatu yang bisa ia berikan untuk orang lain. Interaksi manusia menjadi pintu terbukanya cacat jiwa.

Ia baru menyadari saat malam itu ia menaruh perhatian pada seseorang. Orang yang membawanya terbang ke angan-angan. Cerita-cerita menerbangkannya menjulang. Ia bersamanya bertualang. Namun ia sadar, tubuhnya masihlah berlubang.

Tahukah engkau, lubang itu mampu menghisap seluruh energi kebaikan dan mengubahnya menjadi kegelapan. Melahirkan sorot jiwa yang redup remang padam. Sungguh mencekam. “Pantaskah jiwa ini untuknya?” suatu ketika ia bertanya.

“Manusia macam apa yang rela untuk bersama dengan kengerian?” katanya.

“Aku tidak mampu melakukannya, aku akan pergi mengasingkan diri!” serunya spontan.

Ia tahu keputusan itu bisa membuatnya begitu tercemar. Orang-orang mengatainya, menggunjingnya, membicarakan keburukannya. Tapi ia tidak peduli. Lubang jiwanya bukanlah untuk orang lain. Lubang itu adalah kanker miliknya dan hanya untuk dirinya.

Jarum jam mulai terdengar. Pikiran liarnya berhenti dan bertanya, “Apa yang akan mampu mengobati?”

“Kebahagiaan..” ujar suara perempuan yang terdengar dari kejauhan. Sayup-sayup tedengar berkata “carilah kebahagiaan.”

Ia kebingungan, kemana ia harus mencarinya? “Bukankah di kota ini semua orang datang untuk mencari kebahagiaan?” “Aku pun demikian, tapi lubang inilah yang aku dapat.” katanya lirih dalam hati.

Dalam sunyi, ia kemudian berangan-angan. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan seseorang yang tidur di bawah langit. Ia tidak melakukan apapun, ia hanya memandanginya. Terlihat gurat senyuman pada orang itu. Sementara ia begitu tenang memperhatikan. Di antara gigitan serangga mematikan, orang itu dengan pulas tersenyum. Entah apa yang terjadi dalam kepalanya. “Ia seperti begitu bahagia, dan aku merasa bahagia melihatnya,” gumamnya

Ia menyadari sesuatu dan berbicara pada lubang jiwanya, “dirimu rela terisi dengan kebahagiaan orang lain? jika memang seperti itu aku akan berikan. Tapi temanilah aku.” “Setuju” jawab sang lubang tiba-tiba.

Sejak saat itu ia memilih untuk membahagiakan orang lain. Sementara ia menyendiri berdua dengan diri. Menyepi dalam ruang-ruang yang entah kapan akan terisi. Ilusi yang akhirnya membuatnya tertidur malam ini.

--

--

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.