Mengembalikan Momentum yang Patah Menjadi Duri
Sesuatu yang patah biasanya langsung dibuang begitu saja. Tidak ada yang kembali peduli, dan tidak ada yang mau untuk memperbaiki. Ini adalah fenomena yang terjadi di era saat ini. Era di mana sesuatu yang gagal akan bisa digantikan dengan yang lain lagi.
Saya tidak sedang ingin bicara soal filsafat ekonomi modern, atau tentang kritik sosial. Tapi saya ingin bicara tentang bagaimana saya harus berjuang untuk mengembalikan semangat akibat kegagalan yang terjadi belum lama ini.
Kegagalan tersebut memang tidak berdampak fatal pada orang lain, karena seperti biasa saya paling tidak ingin memberikan efek samping pada orang lain. Tapi dampaknya sering kali cukup serius pada diri sendiri.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Saya akan sedikit cerita tentang apa yang terjadi selama masa pandemi ini. Di awal pandemi di Indonesia, pada bulan Maret yang lalu saya memutuskan untuk memulai sebuah projek pribadi untuk membuat konten carousel di Instagram.
Saya berharap agar konten tersebut bisa melatih saya untuk bisa membuat desain yang sederhana dan cepat sekaligus untuk mengembangkan akun instagram saya yang selama ini isinya tentang konten-konten pribadi.
Langkah itu saya ambil dengan perlahan. Mulai dari desain yang buruk, sampai berkembang menjadi lebih baik. Proses kreatif menjadi lebih singkat dan saya mulai menikmati.
Kenikmatan untuk mengerjakan projek tersebut akhirnya menyampingkan target awal tahun saya yang sebenarnya berharap untuk bisa menulis 1.000.000 (satu juta) kata dalam satu tahun. Saya tidak lagi fokus pada target tersebut dan lebih mementingkan projek Instagram.
Hasil yang saya dapatkan dari Instagram begitu beragam sebenarnya, saya mendapatkan komunitas baru, saya berkenalan dengan teman baru, saya juga menemukan ilmu-ilmu baru tentang sosial media yang memang selama ini saya belum memiliki keahlian di sana.
Akun saya berkembang dari yang hanya ratusan menjadi ribuan. Target saya tentu saja bisa mencapai 10.000 follower dalam enam bulan. Target itu sebenarnya cukup realistis karena kebanyakan coach di Instagram mengatakan bahwa banyak yang bisa mencapai angka itu hanya dalam waktu kurang dari enam bulan.
Tidak bisa dipungkiri harapan untuk bisa mencapai angka tersebut terus menggoda. Awalnya saya hanya berharap agar bisa berbagi manfaat pada orang lain menggunakan konten-konten saya. Namun seiring waktu dalam hati kecil saya berharap untuk bisa mendapatkan “hasil” yang menyenangkan.
Mendapat undangan untuk mengisi kelas, mengajar tentang konten di beberapa tempat, dan mendapatkan uang dari kesempatan itu rasanya masih belum cukup menyenangkan bagi saya. Karena itu bukan sebuah pencapaian utama.
Jalan panjang, tahu kapan harus berhenti
Membuat 180 konten secara beruntun bukanlah masa yang singkat. Menjaga konsistensi, menjaga inspirasi terus ada, menjaga semangat untuk terus menyala. Saya harus terus memproduksi kemudian mempublikasi.
Proses kreatifnya berlangsung begitu cepat. Bahkan terkadang saya tidak sempat untuk melakukan verifikasi informasi dan melakukan sentuhan akhir seperti periksa salah ketik atapun mengubah template.
Tidak hanya itu saya juga masih harus berinteraksi, membalas komentar yang masuk, berinteraksi dengan kreator maupun audiens lain, dan juga berkomunikasi untuk berkolaborasi dengan yang lain.
Saya sempat menghitung berapa banyak waktu yang saya butuhkan untuk melakukan itu semua dalam satu hari. Seingat saya, rata-rata saya habiskan waktu sekitar 3 jam dalam satu hari.
Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti sejenak. Saya menuntaskan projek 6 bulan pada akhir bulan September yang lalu dan sebenarnya berharap bisa memulai kembali pada November ini.
Ketika jalan yang panjang harus ditempuh, kadang kala kita harus tahu kapan harus berhenti. Garyvee mungkin akan menertawakan saya karena hal ini. Tapi nyatanya memang hustle untuk terus meniti jalan kesuksesan yang ingin kita capai membutuhkan daya tahan yang luar biasa.
Saya selalu salut dengan teman-teman yang bisa begitu sabar dalam waktu. Musuh yang mereka hadapi tidak lagi pesaing-pesaingnya atau musuh-musuhnya. Tetapi yang menjadi musuh baginya adalah waktu dan masa lalu. Mereka terus berusaha untuk bisa lebih baik dari hari kemarin apapun caranya. Dan akan melakukannya setiap hari.
Nilai ekonomi dari kebiasaan
Tidak bisa dipungkiri, pola pikir kapitalisme memang membuat manusia harus berpikir layaknya roda mesin produksi. Manusia dituntut untuk bisa terus menerus bekerja untuk bisa mengkapitalisasi waktu. Bahkan istilah produktifitas pun lahir dari pola pikir ini.
Bagi mereka yang menjalani hidup tidak produktif dianggap tidak berguna dan tidak memiliki nilai. Saya termasuk yang setuju dengan istilah hidup produktif dalam tataran tertentu.
Waktu adalah aset paling berharga bagi seorang manusia dan makhluk hidup. Semua manusia memilikinya, setiap manusia diberi waktu yang sama dan diberi kebebasan untuk menggunakannya. Itu kenapa menurut saya setiap orang harus paham bahwa waktu adalah harta paling berharga miliknya sebelum ajal menjelang.
Ketika seseorang paham bahwa waktu adalah aset berharga, maka pertanyaan berikutnya adalah tentang bagaimana menggunakannya.
Cara menggunakan tentu saja menjadi sangat beragam tergantung dengan tingkat wawasan dan tingkat pemahaman seseorang tentang cara kerja kehidupan.
Bagi yang tidak benar-benar memahami cara kerja waktu, akan jarang sekali yang mengerti bahwa kunci untuk menaklukkan waktu ada pada kebiasaan.
Jika bisa menguasai kebiasaan, maka waktu sering kali bukan lagi hambatan, malah menjadi kesempatan dan rekan kesuksesan. Itu sebabnya nilai ekonomi dari pelatihan, buku, seminar dan ilmu tentang bagaimana membangun kebiasaan begitu laris saat ini.
Begitu banyak cara dan metode yang disarankan oleh para ahli tentang bagaimana seseorang harus membangun kebiasaannya. Meski harus dipahami bahwa setiap orang memiliki cara masing-masing sehingga efektifitasnya begitu beragam.
Saya pun memahami bahwa kebiasaan adalah hal penting. Itu kenapa program membuat konten yang saya lakukan menuntut saya untuk bisa membangun kebiasaan.
Momentum yang patah, kerusakan dan kegelapan
Setelah berbulan-bulan membangun kebiasaan, lalu memutuskan berhenti, apa yang terjadi? Hasilnya adalah saya malah kehilangan momentum untuk melanjutkan kembali program konten di Instagram tersebut. Mulanya saya berhenti untuk bisa mengevaluasi apa yang menyebabkan saya gagal untuk mencapai tujuan.
Tapi nyatanya, saya malah kehilangan semangat karena merasa apa yang telah saya lakukan tidak ada artinya. Kegagalan telah mematahkan saya untuk kembali berjalan menjadi duri yang menghalangi.
Tidak hanya kehilangan semangat saya merasa menjadi orang yang tidak menarik bagi audiens. Ide-ide dan cerita yang saya sampaikan seperti tidak relevan bagi mereka. Secara bawah sadar seperti saya orang yang tidak berguna.
Pikiran dan bisikan seperti itu tentu sangat buruk untuk kesehatan dan juga kualitas hidup.
Dampaknya bukan hanya pada produktifitas tetapi juga pada kepercayaan diri untuk melangkah. Pekerjaan cenderung saya sepelekan, target-target pribadi dan kebiasaan di rumah juga banyak yang terbengkalai. Banyak hal baik yang sebenarnya saya harus lakukan malah tidak saya lakukan.
Lalu apa yang saya lakukan selama masa gelap seperti itu? Saya lebih banyak bermain game dan bersantai. Banyak waktu yang telah terbuang sia-sia karena saya tidak banyak melakukan sesuatu.
Saya tidak mengatakan bahwa bermain game adalah hal yang buruk dan harus ditinggalkan. Hal yang menjadi buruk adalah karena saya terlampau menyia-siakan waktu untuk sesuatu yang tidak sesuai tujuan kesuksesan.
Perilaku seperti ini sebenarnya pernah terjadi beberapa tahun lalu saat saya berusaha lulus kuliah sarjana. Menunda-nunda pekerjaan, lalu menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak mengantarkan saya pada tujuan.
Ingat dengan momentum? Momentum itu perlahan-lahan hilang dan sirna. Tidak lagi terpikirkan untuk kembali melakukan kebiasaan baik yang dulu pernah saya lakukan.
Kesadaran dan kembali ke jalan yang benar
Namun tanggung jawab dalam hidup kembali menyadarkan bahwa saya tidak bisa berdiam diri begitu saja. Kembali bangkit dan berfungsi kembali adalah keharusan. Menyadari bahwa saya pernah mencapai sesuatu yang cukup hebat dan menyenangkan adalah salah satu cara untuk mengapresiasi apa yang telah saya lakukan.
Kesadaran itu yang kemudian membuat saya kembali menulis di sini. Kembali dengan perlahan mengumpulkan upaya untuk bisa semangat lagi. Tidak mudah memang, tapi tentu tidak mustahil dilakukan. Karena saya hanya perlu untuk melakukan apa yang pernah saya lakukan.
Berjalan setapak demi setapak, konten demi konten, setiap hari setiap waktu. Tiap kata demi kata untuk berkomunikasi dan juga berinteraksi.
Saya kembali untuk menulis setiap hari, kemudian akan mengubahnya menjadi bentuk konten yang lain agar lebih menarik dan bisa bermanfaat untuk banyak audiens.
Untuk kamu yang sedang berjuang
Memang, ada kalanya kita harus berhenti. Tapi tidak perlu khawatir dengan orang lain yang sudah lebih jauh berdiri. Kamu hanya perlu untuk memahami diri. Menemani hati, kemudian berbicara sendiri.
Tujuannya adalah untuk jujur pada diri sendiri agar tahu apa yang seharusnya dilakukan kemudian beridiri kembali dan berlari. Tidak selalu harus berlari sih, kembali berdiri aja sudah bagus kok. Tapi jangan berdiam diri ya, karena waktu akan terus berdetik menemani.
Kembali ingat pada impian yang ada di ujung horison bumi menjadi kunci untuk kita bisa kembali. Bahwa akan ada surya yang menyinari dengan terang menemani perjalanan ini. Melihat dan mengamati, perjuangan yang telah kita lalui. Membersamai hingga matahari kembali bersembunyi.
Selamat berjuang lagi, inilah momentum yang kembali usai patah menjadi duri. Tidak lagi bisa menghalangi, untuk menuju mimpi yang akan menjadi jatidiri.