Menjadi Konyol Karena Pertemanan

Bersikap konyol untuk takdir yang tidak terelakkan

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
4 min readFeb 2, 2023

--

Photo by Aman Shrivastava on Unsplash

Jika ada pertanyaan tentang apa yang paling banyak mengganggumu dalam hidup? Jawabannya adalah pertemanan. Bukan teman, tapi konsep tentang pertemanan.

Konsep tentang ini adalah konsep mendasar tentang relasi sosial dalam hidup manusia. Lika-likunya tiada akhir dan selalu dinamis seiring waktu. Saya menganggapnya menjadi hal yang paling mengganggu karena, bahkan sampai mati pun kita bertanya tentang hal ini.

Siapa yang akan menemani? Siapa yang akan menjadi teman dalam dunia kematian bahkan berharap agar seseorang bisa disemayamkan di sisi kita.

Ada sebuah buku menarik yang menurut saya begitu penting untuk memahami konsep pertemanan ini. Buku itu berjudul Friends. Ditulis oleh Robin Dunbar yang kamu mungkin kenal dengan lingkaran dunbarnya yang begitu masyhur.

Saya tidak akan bahas buku itu lebih detil di sini. Sebab saya belum selesai membacanya dengan tuntas. Ketika saya selesai dengan buku itu, saya akan tulis ulasan panjang lebarnya. Sejauh yang saya baca, buku ini begitu berarti bagi saya. Buku kedua yang paling berarti setelah buku Give and Take dari Adam Grant. Buku yang akhirnya bisa mendefinisi seperti apa saya.

Di dalamnya begitu banyak kejadian-kejadian pertemanan yang kurang lebih saya alami. Serta saya menemukan jawaban, mengapa saya melakukannya. Di sana tidak hanya terbahas tentang mengapa kita mencari teman, tapi juga mengapa kita mencari teman romantis dan mengapa kita bisa menjadi konyol karena pertemanan.

Oke stop untuk bahas buku Robin. Sekarang mari bahas tentang mengapa saya pernah menjadi konyol karena pertemanan.

Teman, adalah sesuatu yang sangat berharga dalam ingatan saya. Selama usia hidup ini, rasanya tidak cukup banyak orang yang bisa atau lebih tepatnya saya pilih menjadi rekan teman. Entah mungkin karena saya yang tidak menarik, atau saya yang memang kurang pantas menjadi teman bagi orang lain. Apapun itu, nyatanya saya tidak seperti para populer yang bisa dengan mudah berteman dengan orang lain.

Dengan kesulitan inilah kemudian, usaha untuk mendapatkan teman harus dengan upaya yang begitu besar. Bertemu dengan orang baru dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Bukan cuma uang, tapi juga energi, waktu dan juga prioritas.

Saya pun akhirnya paham bahwa memang inilah harganya. Harga yang harus dibayar untuk mendapatkan apa yang saya butuhkan. Ya, diakui atau tidak pertemanan adalah hal yang kita butuhkan.

Tapi ternyata lebih dari itu. Ada harga lain yang juga harus dibayar untuk membuktikan apakah seseorang memang pantas menjadi teman kita. Lebih jauh menjadi sahabat atau bahkan pasangan. Harga itu adalah harga kekonyolan. Harga yang harus terbayar untuk membuktikan seberapa jauh seseorang balas membayar sumber dayanya untuk kita.

Jika kamu merasa bahwa apa yang kamu lakukan untuk rekanmu itu adalah pantas, barang tentu dia akan membalasnya dengan pantas. Meskipun kamu tidak juga harus mengharapkannya. Hal yang paling penting adalah, balasan itu bukan berupa sesuatu yang menyakitkan. Bukan pula keburukan. Memang, kita harus lebih banyak memberi daripada meminta. Apalagi menerima. Pertemanan juga akan bisa subur dengan cara seperti ini.

Hanya saja, kadang kala, atau bahkan sering kali. Kita harus melakukan banyak kekonyolan. Hal konyol yang jika kita pikirkan kembali, ternyata itu tidak seharusnya kita lakukan. Apalagi jika itu membuat jiwa kita terancam. Tergoncang bahkan mengalami trauma.

Seingat saya, saya berulangkali melakukannya. Untuk teman, untuk sahabat, dan juga calon pasangan kala itu. Bertingkah konyol yang orang lain kerap menertawakannya. Mungkin memang saya sebodoh itu. Tapi jangan harap saya akan mengubahnya. Sampai kapanpun, saya paham itu akan terus terjadi dan saya akan terus melakukannya. Untuk siapa? Bukan untuk saya, tapi untuk kamu, rekan, teman, sahabat dan juga pasangan saya.

Kekonyolan bukan sesuatu yang harus disesali. Bagi saya, berlaku konyol adalah harga yang perlu dibayar untuk mempertahankan, untuk menjaga, juga untuk melestari relasi yang tidak ada gantinya. Meski kadang menyakitkan, tapi itu hanya sesaat. Seiring waktu, kedewasaan dan juga rasa legawa juga akan memulihkan.

Sebenci apapun teman pada saya, seburuk apapun niat rekan pada saya. Selama saya bisa mengatasinya, saya akan terus memberi perhatian. Tidak ada satupun momen kebaikan yang akan hilang. Seluruhnya akan teringat dan suatu saat jika ada kesempatan, mari membahasnya dalam kebaikan-kebaikan baru di konteks, ruang serta status yang baru.

Sekarang, tentu tinggal bagaimana dia menanggapi. Sesuatu yang jelas di luar kendali diri. Bukan tanggung jawab kita untuk mengaturnya. Jika memang takdir membuat jalan kembali bertemu, biarlah keburukan masa lalu lenyap menjadi kekonyolan yang pantas untuk dipendam.

Pertemanan menurut Dunbar adalah takdir. Bukan lagi pilihan, apalagi kebetulan. Itu kenapa pertemanan perlu untuk diperjuangkan. Sekonyol apapun situasinya, sekonyol apapun timbal baliknya. Apalagi jika kita sadar, bukan hasil yang paling penting dalam perjalanan, tapi proses untuk terus berjuang yang paling mementukan.

Lagi-lagi, mungkin ini tulisan konyol lain yang saya tuliskan. Tidak perlu ditanggapi dengan keseriusan. Apalagi dengan kebaperan. Sering kali, kata hati yang konyol menemani pikiran untuk menghasilkan tulisan yang tidak jelas apa maksudnya. Santai saja dan nikmati tulisannya.

--

--

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata

Content Performer with over 7 years experience, I've led content teams for 10+ tech brands, achieving 500,000+ traffic. Reach me at bagusdr@teknoia.com.