Meromantisasi Kesedihan

Loh, gak bahaya tah? —

Gen Z. Generasi yang sedang dalam masa menuju dewasa. Generasi yang sedang melewati jatuh bangun kehidupan di paruh pertama masa mereka. Meromantisasi kesedihan bukan hanya soal patah hati, dan lagi, patah hati bukan hanya soal romansa percintaan.

Kesedihan bisa disebabkan oleh banyak hal, bisa sedih patah hati karena percintaan dengan pasangan atau yang cuma baru gebetan, sedih karena kecewa akan patahnya ekspektasi oleh realita, patah hati dan kecewa karena keluarga, dan masih banyak lagi jenis patah hati lainnya, yang tentunya menjadi penyebab kesedihan.

Banyak yang bilang gen Z adalah generasi yang lembek, mental tempe dan suka meromantisasi kesedihan. Mendengarkan lagu-lagu sedih, memposting foto-foto yang hanya dirinya sendiri yang paham akan maknanya, sampai membuat komunitas di berbagai platform untuk bisa berbagi kesedihan yang sama.

Tapi, bukannya penulis, film maker, motivator dan para pakar kesehatan mental menggunakan banyak kesedihan untuk bisa berkarya dan membantu orang lain memperbaiki mindest audiens (orang-orang yang membutuhkan) mereka, ya?

Meromantisasi kesedihan menurutku bukanlah hal yang buruk. Justru dengan cara itulah, terkadang kita bisa berdamai dengan kesedihan-kesedihan itu, menemukan hal ataupun nilai tersembunyi dalam hidup yang kita gak akan tahu kalau kita gak meromantisasinya, gak merasakannya, gak menerimanya.

Bukannya justru sekarang banyak ya, karya-karya indah yang lahir karena meromantisasi kesedihan itu sendiri? Supaya kita tahu, kita gak sendirian. Berbagi emosi, berdamai dengan cara masing-masing.

Mungkin memang begitulah caranya. Mengingat sekarang ini eranya digital, semua orang bisa melihat kesedihan dan kebahagiaan orang lain dengan mudahnya. Membuat kita mudah merasa tertekan, jadi ya.. kita sebagai generasi digital terkadang meromantisasi kesedihan kita untuk bisa berdamai dengan diri kita sendiri.

Karena kita, gak sendirian.

--

--